NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 7

“Hmm… selalu saja seperti ini,” gumam Alin pelan. Ia menatap punggung suaminya yang membelakanginya di ranjang, diam, tenang, seolah dunia di sekitarnya tak lagi penting.

“Mas…” suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara detak jam dinding.

“Kenapa sih?” lanjutnya dengan napas berat. “Aku seneng loh, malam ini Mas pulang lebih cepat. Tapi… tetap aja, rasanya kayak aku gak ada di sini.”

Tangannya meremas ujung selimut. Ada getir yang tak bisa ditahan.

“Sebenarnya, Mas nikahin aku karena apa, sih? Karena orang tua? Karena kasihan? Atau cuma biar kelihatan ‘normal’ di mata mereka?”

Ia menunduk, menatap lantai, menahan sesuatu di dadanya yang terasa penuh.

“Kenapa Mas terima perjodohan kita waktu itu… kalau hatinya masih di tempat lain.”

Alin menarik napas pelan. Suara hujan di luar jendela terdengar lembut, tapi di dadanya terasa sesak.

Ia menatap punggung Jodi yang masih terbaring membelakanginya,  tubuh yang sama, tapi terasa begitu jauh.

“Mas selalu begini…” bisiknya lirih. “Baik, royal, sopan, perhatian… tapi entah kenapa rasanya kosong. Kayak semua itu cuma kewajiban, bukan karena cinta.”

Ia tersenyum tipis, pahit.

“Tiap hari Mas bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam, nanyain kabar aku… tapi gak pernah benar-benar ada di sini.”

Tangannya menyentuh lengan Jodi perlahan, lalu menariknya kembali, takut membangunkan tapi juga takut pada sunyi yang menggantikan.

“Aku gak butuh banyak, Mas,” katanya lagi, suaranya bergetar. "Cuma pengen… Mas lihat aku bukan cuma sebagai istri yang harus dijaga. Aku pengen dicintai. Ingin merasakan, sentuhan hangat kamu mas”

Di luar, angin menggoyangkan tirai jendela. Alin memejamkan mata, menahan air yang mendesak di pelupuk.

“Kenapa Mas… apa aku .. aku gak cukup cantik? Atau… ada hati lain yang sedang kamu jaga?”

Suara Alin nyaris seperti bisikan, pecah di antara helaan napasnya sendiri.

Ia menatap punggung suaminya yang tetap diam, napasnya teratur, seolah tidur nyenyak, atau pura-pura.

“Kadang aku ngerasa kayak cuma tamu di hidup kamu, Mas…” lanjutnya lirih. "Semua yang kamu lakukan terasa benar, tapi juga dingin. Panggilan sayang kamu terasa hambar ditelingaku.”

Tetes air mata akhirnya jatuh, membasahi bantal di bawah pipinya.

“Kalau aja kamu tahu, seberapa pengennya aku cuma… dipeluk.”

Ia menarik napas dalam, mencoba menahan suara tangis yang hampir pecah. Bahunya bergetar pelan, tapi ia berusaha tetap diam, tak ingin membangunkan suaminya, atau mungkin… tak ingin mendengar alasan yang sama lagi.

“Mas Jodi…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Aku capek ngerasa sendirian, padahal kamu ada di sini.” 

Isakan tangis akhirnya terdengar, pelan tapi menyayat. Alin menutup mulutnya dengan punggung tangan, takut suaminya terbangun, meski dalam hatinya… ia justru berharap Jodi mendengar.

“Mas, aku cuma pengen kamu lihat aku…” suaranya pecah di antara sesenggukan. “Lihat aku sebagai perempuan yang juga bisa butuh dicintai… bukan cuma dijaga.”

Ia menatap punggung Jodi lagi yang tetap diam. Tubuh pria itu tenang, napasnya pun teratur.Alin tersenyum miris di sela air matanya.

“Kenapa sih, Mas… rasanya kamu lebih hidup waktu di rumah sakit daripada di sini.” Suara itu lirih, nyaris tenggelam dalam isak yang tertahan.

Ia mengusap air matanya kasar, tapi tak mampu menghentikan alirannya..

Jodi akhirnya terbangun tiba-tiba. Ia mendengar suara tangis,  samar, lembut tapi nyata.

Jodi menoleh ke sisi ranjang. Alin, istrinya, terbaring memunggunginya, bahunya berguncang kecil.

Tangannya menggenggam erat ujung selimut, seperti berusaha menahan sesuatu yang hampir pecah.

“Lin…” panggil Jodi pelan, suaranya serak.

Alin buru-buru mengusap wajahnya, berpura-pura tidur. Tapi suara isak yang tersisa mengkhianatinya.

“Alin, kamu nangis?” tanya Jodi lagi, kali ini sedikit lebih dekat.

Alin tetap diam. Ia hanya menggeleng pelan, membelakangi Jodi.

“Enggak, Mas. Cuma mimpi,” katanya cepat, berusaha menahan suara agar terdengar datar.

“Coba sini mas lihat, kamu kenapa?”

Alin menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang sudah terlalu penuh di dada. Ia masih membelakangi Jodi, pura-pura menyesuaikan posisi tidur, padahal matanya kembali basah.

“Nggak usah, Mas. Alin nggak apa-apa,” ucapnya pelan. Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.

Namun Jodi tak menyerah. Ia mendekat sedikit, tangannya perlahan menyentuh bahu Alin.

Dingin.

Tubuh itu menegang seketika, seolah tersentuh oleh sesuatu yang asing, bukan oleh suaminya sendiri.

“Lin…” panggil Jodi lembut, suaranya ragu tapi tulus. “Kalau ada yang ganggu pikiran kamu, bilang aja. Jangan dipendam.”

Butiran air mata jatuh lagi. Alin menutup wajahnya dengan kedua tangan, tapi suara tangis kecil tetap lolos di sela-sela jemarinya.

“Aku capek, Mas…” suaranya pecah. “Capek pura-pura baik-baik aja. Capek nunggu sesuatu yang nggak pernah datang.”

Jodi membeku.

Ia menatap punggung istrinya, menelan perasaan bersalah yang terasa seperti batu di tenggorokan.

“Alin…” suaranya pelan, tapi tak ada kata berikutnya.

“Aku tahu Mas baik,” lanjut Alin, suaranya masih bergetar di antara isak, “Mas kerja keras, nggak pernah marah, nggak pernah kasar. Tapi Mas juga nggak pernah benar-benar ada buat aku. Aku di sini, Mas… tiap malam nunggu kamu, tapi rasanya kayak sendirian.”

Jodi menunduk. Tangannya yang tadi menyentuh bahu Alin kini perlahan terlepas.

Ia ingin bicara, ingin menjelaskan sesuatu, tentang perasaan kosong yang bahkan tak bisa ia mengerti sendiri. Tapi lidahnya kelu.

Alin terisak pelan, lalu berkata nyaris berbisik,

“Mas Jodi… aku ini istrimu. Tapi kenapa mas tidak pernah memberikan hak itu padaku mas?” 

Jodi memejamkan mata sejenak.

Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Ia tahu, cepat atau lambat, pertanyaan itu akan keluar juga. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari bibir Alin membuat dadanya seperti diremas.

Ia membuka mata perlahan, menatap punggung Alin yang masih membelakanginya. Napasnya berat, dada terasa sesak oleh sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu namanya.

“Alin…” ucapnya pelan, suaranya nyaris pecah. “Mas nggak pernah berniat buat nyakitin kamu.”

“Tapi Mas juga nggak pernah nyentuh aku,” sahut Alin lirih, masih tanpa menoleh. “Setiap malam Mas tidur di sebelahku, tapi rasanya… kayak jauh banget. Aku bisa denger napas Mas, tapi aku tahu hati Mas nggak pernah di sini.”

Jodi menelan ludah, menunduk dalam-dalam.

Tangan kirinya mengepal di atas lutut, sementara tangan kanannya bergetar pelan.

Ia tahu tak ada alasan yang cukup untuk membenarkan sikapnya. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan kekosongan yang tidak bisa ia kendalikan?

“Bu-bukan karena Mas nggak mau…” suaranya nyaris tak terdengar. 

“Lalu kenapa mas?”

Jodi terdiam. Wajahnya pucat, matanya kosong menatap punggung Alin 

Pertanyaan itu menembus pertahanannya paling dalam, menyentuh sesuatu yang selama ini ia hindari untuk diakui, bahkan kepada dirinya sendiri.

“Alin…” suaranya parau. “Tolong jangan seperti ini?”

“Kenapa?” potong Alin cepat. “Karena itu bikin Mas nggak nyaman? Karena Mas takut aku tahu kenyataannya?”

Alin berbalik, menatap Jodi dengan mata basah. “Aku udah berusaha, Mas. Aku dandan, aku masak, aku nungguin Mas pulang tiap malam. Tapi Mas nggak pernah benar-benar lihat aku. Seolah aku cuma bayangan di rumah ini.”

Jodi menggeleng pelan. “Bukan itu, Lin. Aku cuma…”

Ia menarik napas dalam, menunduk. “Aku nggak bisa.”

“Kenapa nggak bisa?” suara Alin pecah, meninggi, tapi juga penuh luka.

“Mas sakit? Mas benci aku? Atau—”

Ia terhenti. Tatapannya menajam, seolah menemukan sesuatu dalam diam Jodi.

“Mas memikirkan perempuan lain?”

Jodi mematung. Seluruh tubuhnya menegang, nyaris tak berkedip.

Alin mendekat, suaranya menurun jadi lirih tapi tajam.

“Siapa dia, Mas? Siapa perempuan yang selalu ada di kepala Mas setiap kali Mas lihat aku?”

Jodi menatapnya. Ada sesuatu yang bergetar di matanya, campuran antara rasa bersalah, bingung, dan takut. Tapi ia tidak menjawab.

Dan keheningan itu… jauh lebih menyakitkan daripada kata apa pun.

Alin menatap suaminya lama, menahan napas yang tercekat di dada. “Berarti benar,” katanya lirih. “Ada seseorang di antara kita.”

Ia mundur, air mata jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan. “Mas nggak perlu ngomong apa-apa. Tatapan Mas udah cukup kasih tahu semuanya.”

Jodi menunduk. Ia ingin memanggil nama Alin, tapi bibirnya seperti dikunci.

Sampai akhirnya, Alin berkata pelan, hampir berbisik, “Aku cuma pengen Mas tahu, yang paling aku takutkan bukan kehilangan Mas… tapi tahu kalau Mas nggak pernah benar-benar jadi milikku.”

“Alin… sayang…” suara Jodi nyaris bergetar, seperti seseorang yang baru sadar akan kesalahan yang terlambat disesali.

Namun Alin langsung menoleh, matanya merah dan lembap, tapi tatapannya tegas.

“Jangan ucapkan kata sayang itu padaku, Mas,” ucapnya lirih namun tajam.

Kalimat itu terdengar pelan, tapi menghantam seperti pukulan di dada.

“Kalau nyatanya Mas nggak benar-benar menyayangiku… jangan pakai kata itu buat menutupi yang Mas sendiri nggak rasain.” 

Mendengar itu, Jodi seketika memeluk Alin erat, seolah berusaha menahan sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.

“Maaf… maaf, Lin,” bisiknya parau di dekat telinganya. “Mas nggak tahu harus gimana… mas cuma.. mas takut nyakitin kamu lebih dalam lagi.”

Alin terdiam di pelukannya. Tubuhnya kaku, tidak membalas, tapi juga tidak menolak.

Air matanya jatuh, membasahi bahu Jodi.

“Kalau Mas takut nyakitin aku,” suaranya bergetar, “kenapa Mas malah biarin aku terluka terus begini?”

Tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, Jodi mengusap lembut air mata di pipi Alin dengan punggung jarinya. Gerakannya pelan, nyaris ragu, seolah setiap sentuhan bisa membuat perempuan itu pecah.

Lalu, tanpa berpikir panjang, ia menunduk lalu mengecup bibir Alin,  perlahan, penuh kehati-hatian. Hanya satu kecupan singkat, tapi sarat makna yang tak sempat diucapkan dengan kata.

Udara di antara mereka seolah berhenti bergerak.

Bibir Alin terasa dingin, tapi detak jantungnya justru berpacu cepat, seperti takut kehilangan sesuatu yang belum sempat benar-benar ia miliki.

Namun begitu Jodi melepas ciumannya, mata Alin menatapnya, bening, lembap, dan penuh tanya.

“Kamu tahu, Mas…” bisiknya pelan, “aku bisa ngerasain… itu bukan ciuman dari cinta, tapi dari rasa kasihan.”

Kalimat itu membuat napas Jodi tercekat.

Ia tak bisa membantah, karena di dalam hatinya, ia tahu Alin benar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Tak ada yang lebih sunyi dari tidur di sebelah orang yang kita cintai, tapi tahu hatinya tak pernah benar-benar ada di sana.”

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!