Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Hamdan POV
Selepas Ashar tadi, aku sengaja berjalan lebih pelan melewati aula masjid. Suara anak-anak mengaji sayup-sayup terdengar dari dalam. Suara Zayn juga terdengar pelafalannya masih berantakan, tapi entah kenapa yang terdengar di telingaku bukan usahanya, melainkan bisik dosa yang masih melekat padanya.
Aku menghela napas panjang.
“Kenapa dia bisa ada di sini?” gumamku pelan.
Aku menunduk, menatap debu di ujung sandal.
Ayah dan Ibu selalu bilang aku harus menjaga nama baik keluarga. Apalagi sebagai anak Ustadz dan Ustadzah di pondok ini. Nama baik pondok sama dengan nama baik keluarga kami.
Tapi Zayn… Dia seperti anak geng motor? Aku tidak bisa membiarkannya merusak ketenangan para santri di sini.
Aku berjalan cepat ke asrama, membuka pintu kamar perlahan agar tidak menarik perhatian. Di sudut kasur, ponsel lama yang selalu kusembunyikan di lipatan baju mengintip.
Aku duduk bersila, menatap layar ponsel yang redup.
'Aku harus mencari tahu ke Mas Robi,karena dia pasti punya banyak kenalan yang seperti dia.' batinku.
Jemariku gemetar ketika membuka chat dengan Kak Robi.
Aku: “Assalamu’alaikum, Mas. Maaf kalau ganggu. Saya mau cerita soal santri baru di pondok…”
Pesan terkirim. Rasanya jantungku makin kencang, seolah takut sendiri.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul.
Robi: “Wa’alaikumussalam. Ada apa, Dan? Cerita saja.”
Aku menelan ludah.
Aku: “Disini ada santri baru Mas,tapi badannya penuh tato. Di lehernya ada tato gambar bintang. Dan dia seperti anak geng motor."
Balasan datang cepat.
Robi: “Tato bintang?Kamu lihat langsung?”
Aku: “Iya, Kak. Saya lihat sendiri.Saya takut dia bawa pengaruh buruk ke para santri disini Mas. Mas tau nggak kira-kira dia siapa?"
Robi:"Kalau Mas boleh tahu namanya siapa?"
Aku:"Namanya Zayn,Mas."
Robi:"Oh Zayn. Hamdan Mas minta tolong boleh?"
Aku:"Boleh Mas."
Robi:"Tolong kamu awasin dia dan kasih tau ke Mas apapun yang dia lakuin selama di pesantren."
Aku:"Siap Mas."
Aku menghela napas panjang. Tanganku berkeringat.
Kupeluk lututku sendiri di ranjang. Hati kecilku bertanya-tanya, apa aku terlalu jauh mencampuri hidup orang?
Tapi… kalau Zayn hanya pura-pura tobat, lalu mencelakai Amira atau mencoreng nama pondok?
Aku menarik nafas dalam. “Semoga ini cara yang benar, Ya Allah…”
Hamdan Pov end.
---
Zayn POV
Suara pintu asrama berderit. Gue jalan keluar, nendang kerikil di halaman pondok. Angin malam dingin banget, tapi kepala gue makin panas.
Waktu nguping percakapan Kyai tentang surat wasiat kemarin, rasanya kayak dihantam palu di dada. Jodoh? Gue? Sama Amira?
Gue udah berusaha nerima. Tapi makin dipikirin, makin ribet.
Gue duduk di tangga serambi masjid. Jari-jari tangan gue genggam sarung kusut.
‘Kalau gue nurut, mau sampai kapan? Hidup gue diatur lagi. Diminta sholat, oke. Disuruh ngaji, ya udah. Sekarang disuruh nikah?’
Gue nyengir miris. Lucu aja.
Gue tatap langit yang kelabu. Suara jangkrik di kebun belakang pondok bikin hati makin sepi.
‘Tapi kalau gue nggak nurut, bokap gue bisa makin marah. Pondok ini juga tempat gue berteduh satu-satunya. Kalau gue nolak, kemana gue pergi?’
Sambil mikir, bayangan Amira muncul di kepala gue. Gadis itu polos, matanya sering nyuri pandang pas gue belajar ngaji. Kayak mau ketawa tapi nggak berani.
Tapi sekarang dia juga jadi korban. Sama kayak gue, dijebak surat wasiat.
Gue mendecak pelan.
‘Gue harus cari celah. Kalau emang beneran mau gue nikah sama dia, gue punya syarat. Gue nggak mau dikurung di sini terus.’
Gue bangkit, menendang kerikil lebih jauh.
‘Sekalian, kalau bener gue harus tanggung jawab, gue harus punya cara kabur. Minimal kabur elegan.’
Gue tarik napas panjang.
‘Syarat gue: nikah? Oke. Tapi gue harus boleh balik ke rumah. Amira ikut juga, biar dia tau siapa gue sebenarnya. Sekalian sekolah di tempat gue, sekolah yang nggak bakal bisa diatur sama orang pondok. Kalau nggak mau? Ya udah, batalin aja perjodohan konyol ini.’
Gue tertawa kecil.
‘Pasti Kyai nggak akan suka. Bokap juga bakal ngamuk. Tapi gue nggak peduli. Ini hidup gue, bukan hidup mereka.’
---
Amira POV
Malam ini angin pondok lebih dingin dari biasanya. Aku duduk di sudut kamar, memeluk sajadah yang masih hangat sehabis Isya’.
Bayangan suara Ayah sore tadi masih terngiang-ngiang di telinga. “Surat wasiat Almarhum… Zayn dan Amira tetap jadi amanah.”
Aku menunduk, jemariku meremas ujung mukena.
“Kenapa aku? Kenapa harus dia?” bisikku pelan.
Aku ingat wajah Zayn saat di teras rumah Kyai kemarin. Mata tajamnya seperti menuntut jawaban.
Tapi aku tak bisa menjawab apa-apa.
Andai dia benar-benar ingin berubah, kenapa hatiku masih gelisah?
Atau justru karena dia berubah, Allah ingin aku jadi jalannya?
Aku menatap ke arah jendela. Langit di luar gelap, tapi di dalam hatiku lebih gelap.
Apa aku sanggup jadi istri dari seseorang seperti Zayn?
Aku teringat Hamdan. Dia sempat bilang padaku,
“Amira, kamu hati-hati sama Zayn. Orang kayak dia nggak bisa ditebak. Kalau kamu butuh bantuan, bilang ke aku.”
Aku hanya mengangguk waktu itu. Tapi sekarang aku paham maksud Hamdan.
Zayn bukan hanya ujian untuk dirinya sendiri tapi juga ujian untuk orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku.
Aku menatap Al-Qur’an di rak kecil. Kubisik pelan.
“Ya Allah… kalau dia jodohku, bimbing aku. Tapi kalau bukan, jauhkanlah sebaik-baiknya.”
Amira Pov end.
---
Author POV
Di sudut pondok pesantren As-Syafir, tiga hati terpisah malam itu menahan gelisah.
Hamdan sibuk menahan rahasia, menyusun rencana dengan Robi Kusumo yang tak ia tahu bagian dari BRIGHTZONE.
Zayn merencanakan syarat yang bisa jadi pelarian, tapi juga bisa jadi perang baru dengan orang-orang yang berusaha menjebaknya.
Amira hanya bisa pasrah, menunggu jawaban Tuhan yang ia sendiri belum sanggup terima.
Tak ada yang benar-benar tidur malam itu.
Karena di balik pintu kayu, suara takdir pelan-pelan mengetuk menagih janji, membongkar rahasia, dan menebar luka yang akan mereka tanggung bersama.
---
Hamdan POV
Sudah hampir pukul 10 malam. Pondok pesantren As-Syafir pelan-pelan hening, lampu aula masjid satu per satu mulai dipadamkan.
Aku duduk di teras asrama, ponsel bututku gemetar di tangan.
Pesan Kak Robi belum sempat aku balas sejak tadi sore. Tanganku dingin.
Aku menarik napas. Kubuka percakapan terakhir:
Robi: “Kalau mau aman, kau harus cari tahu siapa yang sering Zayn temui. Siapa yang dekat dengannya. Kalau bisa cari tahu juga dia masih kontak gengnya atau tidak.”
Aku menggigit bibir. Tangan kiriku meremas ujung sarung. ‘Siapa yang dekat dengan Zayn? Ah… Falah, Khairi, Yusuf… mereka kayaknya cuma teman ngaji. Tapi kalau Amira?’
Aku teringat caranya Zayn menatap Amira waktu di serambi rumah Kyai. Bukan tatapan biasa.
Aku menulis cepat:
Aku: “Mas, saya rasa dia dekat dengan putri Kyai. Namanya Amira. Saya takut dia cuma manfaatin Amira.”
Tak butuh waktu lama, balasan datang.
Robi: “Bagus. Pantau Amira juga. Kalau ada hal mencurigakan, kabari Mas. Dan jangan bikin keributan di pondok. Kita main pelan-pelan.”
Aku menelan ludah, mengusap keringat dingin di pelipis. Dalam hati aku merapal doa, “Maafkan aku, Ya Allah… aku hanya ingin pondok ini bersih.”
Hamdan Pov End.
---
Zayn POV
Di kamar kecil yang lampunya redup, gue duduk di atas kasur tipis, bahu gue bersandar di dinding kayu yang dingin.
Suara jangkrik di luar masih sama bisingnya.
Tapi kepala gue lebih bising.
Gue nyengir tipis sambil muter-muterin tasbih kayu yang Falah kasih siang tadi.
‘Surat wasiat, ya? Nikah sama Amira, ya? Lucu. Bener-bener lucu.’
Gue bangkit, berjalan ke depan kamar Kyai. Gue tau Kyai masih ada di ruang tamu, ngobrol sama ayah gue di telepon.
Gue batuk kecil, mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum…” suara gue pelan.
“Wa’alaikumussalam. Zayn? Ada apa, Nak?” Kyai membukakan pintu, menatap gue dengan sorot lembut.
Sekilas hati gue nyesek. Tapi gue harus tahan.
Gue menghela napas, menunduk.
“Pak Kyai… saya mau nanya, kalau… kalau beneran saya dijodohin sama Amira… saya punya syarat.”
Dahi Kyai sedikit berkerut, tapi beliau tetap tenang. “Syarat? Syarat apa, Zayn?”
Gue berusaha tetap sopan. Gaya bicara gue masih berantakan.
“Kalau nikah… saya mau tinggal di rumah saya. Amira juga ikut. Saya mau dia sekolah di sekolah saya juga. Jadi saya bisa tunjukin saya bener-bener mau berubah… di tempat saya sendiri.”
Kyai menghela napas, menatap gue dalam. “Zayn, di sini kamu masih butuh bimbingan. Kalau kamu kembali ke kota, takutnya kamu kembali ke jalan lama.”
Gue senyum miring. “Kalau saya nggak dikasih, saya nggak mau nerima perjodohan, Pak Kyai. Saya nggak mau Amira jadi korban kalau saya tetap di sini tapi hati saya nggak ikhlas.”
Kyai terdiam. Suara detik jam dinding berisik banget di telinga gue. Gue menunduk lagi. “Saya mau tanggung jawab. Tapi saya juga mau punya ruang. Kalau nggak, maaf Pak Kyai, saya lebih baik nggak usah nikah.”
Zayn Pov End.
---
Amira POV
Aku mengendap di balik dinding ruang tamu. Entah kenapa langkahku justru membawaku mendekat ke arah suara Zayn dan Ayah.
Aku tidak bermaksud menguping. Tapi kaki ini seperti tertarik mendengar suaranya.
“…Kalau nikah, saya mau tinggal di rumah saya. Amira juga ikut. Sekolah di tempat saya…”
Aku terpaku. Dada ini makin panas. Apa maksudnya?
Kenapa Zayn mau bawa aku ke dunianya? Bukankah pondok ini seharusnya tempat dia bertobat?
Aku menahan napas.
“Kalau saya nggak dikasih, saya nggak mau nerima perjodohan, Pak Kyai.”
Kata-kata itu menamparku. Air mata nyaris tumpah. Jadi… dia benar-benar mau membatalkan ini semua kalau Ayah tak menuruti syaratnya?
Tanganku meremas kerudung. Sakit. Bingung. Tapi di sudut hati kecil, ada rasa penasaran. Seperti ingin tahu siapa dia sebenarnya di luar pondok.
“Ya Allah… kalau ini jalannya, beri aku kekuatan…”
Amira Pov end.
---
Author POV
Malam di pondok pesantren itu seolah makin dingin.
Di satu sisi, Hamdan masih berkutat dengan ponsel bututnya, mengintai celah kesalahan Zayn diam-diam menjeratnya dengan kabar yang disebar ke Robi, sang anggota Brightzone.
Di sisi lain, Zayn berdiri di depan pintu Kyai, separuh hatinya masih ragu, separuh lagi sudah pasang syarat.
Sementara Amira, dengan hati yang koyak, hanya bisa merapal doa di balik dinding kayu — takut, tapi juga penasaran, bagaimana takdir akan menjawab semuanya.
Malam itu, tiga hati kembali terikat dalam sunyi.
Mereka belum tahu, perang yang lebih besar diam-diam menunggu di luar pagar pondok — perang yang akan memaksa masing-masing dari mereka memilih: bertahan dalam lingkaran ini, atau terlempar ke kegelapan yang lebih luas.
--
To Be Continued..✨️