#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Berkenalan di tengah malam
.
Amelia menunjukkan alamat yang sudah diminta dari Bu Sukma kepada sopir taksi. Pria itu memandangnya, mata terbelalak. “Ini sangat jauh, Nona! Mungkin tengah malam kita baru sampai ke sana,” ucapnya dengan nada heran.
Amelia tersenyum lembut. “Tidak apa, pak. Nanti kalau Bapak lelah, kita bisa istirahat di rest area,” tambahnya, tekadnya tidak goyah.
Sopir mengangguk dengan ragu, lalu memulai perjalanan.
“Nanti kalau melewati ATM tolong berhenti sebentar ya, Pak,” pinta Amelia, yang kembali dijawab dengan anggukan kepala oleh pak sopir.
Jalanan semakin jauh dari kota, gedung-gedung tinggi digantikan oleh sawah dan pepohonan yang tinggi menjulang.
Waktu terus berjalan, siang berganti sore, dan sore berganti malam. Hingga akhirnya, taksi itu tiba juga di jalan untuk masuk ke desa tempat Bu Sukma ketika malam hampir larut.
Namun, ketika taksi baru saja akan masuk ke jalan desa yang sepi, ponsel milik sopir berkali-kali berdering. Amelia melihat wajah pria itu yang cemas, lalu berkata, “Pak, silakan angkat saja dulu teleponnya.”
Sopir mengucapkan terima kasih, kemudian menghentikan taksi di pinggir jalan dan mengangkat panggilan. Suara paniknya segera mengusik ketenangan malam. “Ada apa, pak?” tanya Amelia dengan khawatir.
Sopir menutup telepon dengan tangan yang gemetar. “Maaf, Nona. Ini istri saya yang menghubungi. Katanya… anak kami sedang sakit karena jatuh waktu di sekolah tadi siang. Dia minta saya pulang cepat,” katanya, matanya penuh kesedihan.
Amelia memejamkan matanya. Mereka belum sampai di rumah Bu Sukma, tapi dia tidak tega meminta sopir untuk melanjutkan. Apalagi dia memang melihat sopir itu tampak gelisah sejak tadi siang. Setelah berpikir sebentar, dia memutuskan. “Pak, silakan saja Bapak kembali ke kota. Saya akan turun di sini.”
Sopir merasa tidak enak. “Tapi Nona, ini belum sampai tujuan.”
“Tidak masalah, pak. Jangan khawatir, saya akan tetap memberi bintang lima untuk Bapak. Lagipula, ini sudah dekat,” ucap Amelia, meskipun sebenarnya dia sendiri belum tahu di mana letak rumah Bu Sukma. Tapi dia berpikir, dari sini sampai ke kota tempat tinggal sopir itu sangat jauh, sedangkan kondisi anak pak sopir lebih darurat. Ia tak sampai hati.
“Terima kasih, Nona. Anda sangat baik. Semoga Anda bertemu orang baik juga," ucap pak sopir.
"Aamiin, Pak. Hati-hati dalam mengemudi, ya. Anak dan istri Bapak menunggu Bapak pulang dengan selamat.” Amelia segera membuka pintu taksi dan turun dengan membawa kopernya setelah memberikan uang kepada pak sopir.
“Nona, ini terlalu banyak," seru pak sopir setelah menghitung uang yang ia terima. Jumlah yang diberikan oleh Amelia bahkan tiga kali lipat dari argo yang tertera. Ia ingin mengembalikannya.
Amelia tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Ini rezeki bapak, pak. Gunakan untuk berobat anaknya,” ucap Amelia dengan senyum.
Sopir mengucapkan terima kasih dengan suara terisak, lalu melajukan mobilnya setelah berpamitan.
Amelia berdiri sendirian di pinggir jalan, menatap kepergian taksi itu dengan mata nanar, melihat cahaya lampu mobilnya semakin menghilang di kejauhan. Desa yang sunyi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang jarang. Kopernya terasa berat di tangannya, dan kegelapan malam menyelimuti sekitarnya.
Dia memejamkan mata sejenak, mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Kemudian dia memperhatikan sekeliling, sangat sepi, mungkin karena sudah malam.
“Di mana ini? Aku sedang ada di mana?” gumamnya pelan, kepalanya berputar mencari tanda-tanda apa pun. “Aku harus ke arah mana untuk bisa sampai di rumah Bu Sukma?”
Dia memperhatikan sekitar sekali lagi, benar-benar sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat, tidak ada seorang pun untuk ditanya. Hanya bunyi serangga malam yang terdengar riang, memecah keheningan. Amelia mengambil ponselnya dari tas selempang untuk menghubungi Bu Sukma. Tapi naasnya, ponsel itu telah mati karena kehabisan daya.
“Astaghfirullah …” gumamnya lalu menyimpan ponsel kembali.
Setelah mengambil nafas panjang, Amelia melangkah perlahan sambil menengok ke kiri dan ke kanan, berharap menemukan warung atau toko yang mungkin masih buka hingga malam, supaya dia bisa bertanya. Namun, sejauh ia melangkah, yang ia temui hanya kesunyian. Semua pintu tertutup rapat.
Langkahnya semakin lambat seiring waktu, kaki mulai terasa pegal, dan rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Dia sudah berjalan cukup jauh tapi tidak menemukan apapun.
Hingga ketika dirinya berhenti dan duduk di pinggir jalan untuk beristirahat, suara sebuah sepeda motor dari kejauhan menyapa telinganya. Bunyinya semakin jelas, mendekat. Amelia segera berdiri tegak, melambai tangan dengan harapan pengendara sepeda motor itu mau berhenti.
Pengendara sepeda motor yang adalah seorang pemuda mendekat dan berhenti di depan Amelia. Dia menurunkan topinya, melihat gadis itu dengan tatapan penasaran. “Maaf, mbak. Ini siapa ya? Mau ke mana? Kenapa terlihat bingung sekali?” ucap pemuda itu yang sebenarnya sudah memperhatikannya sejak tadi.
Amelia segera tersenyum, rasa harapan kembali muncul. “Saya baru saja datang dari kota, Mas. Dan saya ingin pergi ke rumah Bu Sukma yang ada di desa Karangsono, tapi tidak tahu jalannya.”
“Oh, rumah Bu Sukma?” tanya pemuda itu sambil menganggukkan kepala, wajahnya terlihat mengenal. Kemudian dia tersenyum. “Ah, aku tahu rumah Bu Sukma! Tapi, Mbak ini siapanya Bu Sukma?” tanya pemuda itu.
“Oh, iya. Kenalin, Mas." Amelia mengulurkan tangannya. “Saya Amelia keponakannya Bu Sukma."
"Saya Raka,” ucap pemuda itu menyambut uluran tangan Amelia. "Rumah saya tidak begitu jauh dari Bu Sukma. Saya bisa mengantar Mbak ke sana.”
“Beneran, Mas?" Wajah Amelia yang semula suram berubah menjadi cerah, tapi segera digantikan oleh rasa bimbang. Dia tidak mengenal pemuda ini, bagaimana jika ternyata penipu? Dia melihat sekeliling sekali lagi, benar-benar tidak ada tanda kehidupan.
Dan akhirnya, dia hanya mengucapkan “Bismillah” dalam hati dan pasrah kepada Allah. Dia tidak punya jalan lain selain menerima tawaran Raka.
“Terima kasih banyak, Mas Raka,” ucapnya dengan senyum yang sedikit ragu tapi penuh harapan.
Raka tertawa ringan. “Sama-sama, Mbak. Nah, silakan naik ke belakang.” Dia menggeser pinggulnya sedikit maju agar Amelia bisa duduk dengan lega.
“Sini, kopernya taruh saja di depan. Bisa kok,” jawab Raka. Dia membantu meletakkan koper Amelia di depan, di antara dua kakinya, dan memastikannya aman.
Amelia dengan senang hati naik ke belakang.
Setelah itu, Raka menyalakan mesin sepeda motor. “Siap, mbak? Kita berangkat, ya!”
Amelia mengangguk, memegang pinggang Raka dengan lembut agar tidak terjatuh. “Siap, mas!”
Sepeda motor melaju perlahan di jalan desa yang berliku-liku, diterangi oleh lampu depan yang menyinari jalanan. Udara malam desa segar menyentuh wajah Amelia. Duduk di boncengan orang asing, tapi entah kenapa dia merasa aman.
bentar lagi nanam padi jg 🥰