Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Setelah Tiara dan Arka masuk ke dalam rumah, Kirana masih berdiri di depan pintu, mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal karena panik tadi.
Baru saja ia hendak menutup pintu, suara langkah terdengar dari samping.
“Kamu kenal nggak yang tadi itu siapa, Kirana?” tanya Bu Rita, yang sejak tadi rupanya sudah berdiri tidak jauh dari sana. Begitu mobil Yuda menjauh, barulah ia berani mendekat.
Kirana menggeleng pelan. “Nggak tahu, Mbak. Tapi… kelihatannya orang sugih, ya. Dari mobilnya aja keliatan banget.”
Bu Rita mendengus sambil melipat tangan di dada. “Ya jelaslah. Dia itu pemilik pabrik tempat suami Mbak kerja! Masih muda, tapi duitnya udah numpuk. Dengar-dengar juga duda, loh…”
Kirana mengangkat alis tipis.
Belum sempat ia merespons, Bu Rita sudah melanjutkan dengan gaya khasnya yang suka menggoda.
“Bisa banget itu kamu embat, Ran. Kalau jadi kamu, udah Mbak pepet dari tadi. Sayang, Mbak masih punya suami, jadi nggak bisa, hehehe…”
Kirana mendesah kecil sambil tersenyum sopan, sudah terbiasa dengan keusilan tetangganya itu. “Ah, Mbak ada-ada aja. Anak-anakku sehat aja aku udah bersyukur, Mbak. Lagi pula aku nggak kepikiran mau nikah lagi.”
Bu Rita memutar mata dramatis. “Ya ampun, Kirana… kamu masih muda, cantik, masa mau sendiri terus? Nanti kalau ada yang cocok, ya udahlah… siapa tahu rezeki.”
Kirana hanya tersenyum kecil, tidak menjawab.
Dalam hati, ia tahu hidupnya sudah cukup berat. Ia tidak punya ruang untuk memikirkan lelaki lagi—apalagi lelaki kaya raya seperti Yuda. Mustahil dunia mereka bertaut.
Bu Rita menepuk lengan Kirana pelan. “Ya sudah, Mbak pulang dulu. Mau jemput anak. Kamu istirahat, ya.”
Kirana mengangguk sopan. “Iya, Mbak. Hati-hati.”
Bu Rita melangkah pergi sambil sesekali masih mengomel geli sendiri.
Kirana menghela napas panjang, lalu masuk ke rumah. Begitu pintu tertutup, kedua anaknya langsung menghampiri.
Arka duduk bersila di lantai, menunduk. “Bu… Arka janji nggak bakal tinggalin Tiara lagi.”
Tiara memeluk kaki ibunya. “Tiara juga janji nggak bakal pergi jauh-jauh lagi…”
Kirana berlutut, menarik keduanya ke dalam pelukan hangatnya.
“Ibu sayang kalian. Ibu cuma khawatir kalian kenapa-kenapa… yang penting kalian selamat,” ucapnya lembut sambil mengusap kepala keduanya.
"Sekarang kalian mandi dulu yaa..... Ganti baju. ibu mau masak dulu buat kita makan malam"
“Baik, Bu…” jawab Arka, menarik tangan Tiara menuju kamar mandi.
Kirana memperhatikan mereka sampai pintu kamar mandi tertutup. Barulah ia berbalik menuju dapur kecilnya. Ia membuka tudung saji, mengecek sisa tempe dari pagi dan beberapa bahan sederhana lainnya.
“Tempe goreng sama sambal kecap aja deh… cukup,” gumamnya.
Tangannya mulai bekerja—mengiris bawang, memotong tempe, memanaskan minyak. Suara desis minyak panas sedikit menenangkan pikirannya. Namun sesekali bayangan Tiara menangis di tengah jalan kembali terlintas di kepalanya, membuat dadanya kembali sesak.
Ia berhenti sejenak, bersandar di meja dapur sambil mengusap wajah.
“Hampir saja…” bisiknya lirih.
........
Yuda baru saja memarkir mobilnya di halaman ketika ibunya langsung muncul dari ruang tamu. Lasma berjalan cepat menghampirinya, wajahnya menyiratkan rasa ingin tahu.
“Yud… anak itu sudah sampai rumahnya? Gimana orang tuanya?” tanya ibunya begitu Yuda membuka helmnya.
Yuda mengangguk, meletakkan helm di meja dekat pintu. “Sudah, Bu. Saya antar sampai depan rumahnya tadi.”
Ibunya langsung mengembuskan napas lega sambil menepuk dadanya. “Syukur… dari tadi Ibu kepikiran terus, takut dia belum ketemu keluarganya.”
Yuda tersenyum kecil. “Ibunya ada di rumah. Waktu aku sampai, ibunya lagi panik banget karena anak-anaknya nggak ada. Tapi begitu lihat Tiara, langsung kelihatan lega banget.”
Lasma mengangguk-angguk memahami. “Ya Allah… pantes aja. Anak sekecil itu kesasar sendirian. Hati ibu mana yang nggak mau copot.”
“Bu, Arka itu masih kecil tapi sikapnya… dewasa banget.” Yuda berucap pelan. “Dia tadi sampai minta maaf berkali-kali, padahal yang kesasar adiknya.”
Lasma tersenyum lembut. “Ibu lihat tadi. Anak itu sopan sekali. Kelihatan banget mereka bukan anak nakal.”
Yuda mengangguk. “Kasihan mereka. Ibunya kerja, pulangnya jalan kaki. Pernah Yuda ketemu sama ibunya. Dia yang waktu itu minjamin uang buat aku isi bensin."
“Loh, ibunya kerja toh? Terus suaminya ke mana? Dibiarin istrinya kayak gitu?”
Yuda menggeleng pelan, wajahnya berubah lebih serius. “Yuda… nggak tahu, Bu. Lagian bukan urusan kita juga Bu"
“Ya ibu tahu,”
“Semoga suatu hari ibu bisa ketemu lagi sama ibu mereka,” gumamnya pelan. “Kayaknya orang baik…”
Lasma menoleh, menyadari perubahan ekspresi putranya. Wajah Yuda yang biasanya tampak tenang kini terlihat diselimuti mendung.
"Ada apa, Yud? Kok tiba-tiba diam?" tanya Lasma lembut.
Yuda menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh ke depan.
“Bu…” Yuda berbalik menghadap ibunya, sorot matanya penuh penyesalan. “Yuda minta maaf ya, Bu…”
Lasma mengerutkan kening. “Minta maaf kenapa, toh kamu"
Yuda menelan ludah. “Maaf, ya, Bu… kalau hidup Yuda sekarang begini. Rumah tangga gagal…Yuda juga ngga akan bisa kasih ibu cucu"
“Astaga, Yuda. Kenapa kamu mikir sampai sejauh itu?”
“Kamu nggak pernah gagal di mata Ibu. Itu semua sudah takdir, Nak.Kegagalan rumah tangga itu bukan hal yang kamu mau. Dan kamu nggak pernah bikin ibu repot. Ibu tahu kamu sudah berusaha. Lagipula, anak itu bisa datang dari mana saja. Kalau jodoh kamu datang, pasti ada jalannya.”
Yuda menunduk, mencoba mencerna kata-kata ibunya. “Tapi Yuda nggak tahu, Bu… Yuda capek memulai lagi. Mungkin lebih baik Yuda sendiri saja. Fokus sama pabrik. Siapa yang mau sama duda, yang tahu-tahu mandul juga?”
Lasma menggeleng tegas. “Nggak boleh ngomong gitu. Ibu cuma mau kamu bahagia, itu aja. Kalau kamu merasa belum siap, nggak apa-apa. Tapi jangan pernah menutup diri. Cinta itu nggak cuma butuh keturunan, Yud.”
Yuda tersenyum tipis
“Iya, Bu… makasih.”
“Sudah. Nggak usah dipikirin lagi.” Lasma menepuk bahunya. “Yang penting kamu membangun hidupmu lagi pelan-pelan. Ibu cuma mau kamu menemukan bahagia yang baru.”
Yuda menghela napas dalam, lalu mengangguk. “Semoga, Bu.”
Lasma tersenyum kecil, kali ini penuh harapan.
“Pasti ada. Kadang Tuhan kasih lewat cara yang nggak kita duga."