Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Hyeong?"
Ulang Hyun-jae datar, seolah kata itu menyentak telinganya. Tatapannya menajam, menusuk Harin yang refleks menyusutkan tubuhnya ke belakang sofa.
"Aku ... karena kamu nggak mau di-di panggil oppa, hyeong nggak apa-apa kan? Soalnya Sean sering manggil kamu begitu," jawab Harin gugup, suaranya kecil sekali, seperti anak yang tertangkap basah melakukan kesalahan.
Hyun-jae tidak menanggapi. Ia kembali menunduk, memoles salep di jari Harin dengan gerakan perlahan. Namun justru sikap diamnya membuat suasana semakin menegangkan. Setiap kali jarinya menyentuh kulit Harin, gadis itu menahan napas, ia masih kesakitan tapi di tahannya.
"Kau harus lebih hati-hati."
Akhirnya pria itu berbicara, suaranya rendah tapi tegas.
"Pintunya tidak salah. Kau yang ceroboh."
Harin langsung manyun, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku lagi buru-buru... ya namanya juga manusia, bisa salah. Pintunya juga salah. Jangan nyalahin aku aja. Masa kamu nggak kasihan," Harin merutuk dalam hati. Dia kenapa sih? Kok bisa berani ngomong begitu di depan si aktor?
Hyun-jae berhenti sebentar, lalu mengangkat wajah. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Harin, membuat gadis itu seperti membeku di tempat.
"Aku tidak suka berpura-pura. Rasa kasihan tidak akan menyembuhkan jarimu."
Perkataan itu membuat Harin terdiam, bibirnya terbuka tapi tak keluar kata. Ada rasa kesal, tapi juga rasa kagum yang aneh.
Setelah selesai mengoles salep, Hyun-jae mulai membalut perban di jari Harin dengan keterampilan yang rapi. Tangan besarnya bergerak telaten, tidak gemetar sedikitpun. Harin sampai tertegun.
"Kamu... kayak dokter aja."
"Bukan dokter. Tapi cukup tahu cara menolong." jawabnya singkat.
"Aku kira aktor cuma tahu akting, ternyata bisa juga jadi dokter gadungan." Harin berusaha bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Namun bukannya tersenyum, Hyun-jae malah mengangkat alisnya, menatap dingin
"Kalau aku mau, aku bisa membuatmu berhenti bicara hanya dengan satu tatapan."
Harin tercekat, lalu buru-buru menutup mulutnya dengan tangan kanan. Tapi kemudian ia tertawa kecil, meski kecut.
"Serem banget. Kamu tuh kayak bos mafia, bukan artis."
Tidak ada reaksi dari Hyun-jae. Ia merapikan perban terakhir, lalu melepaskan jemari Harin dengan hati-hati.
"Jangan banyak gerak. Biarkan obatnya bekerja."
Harin menunduk, memperhatikan jari yang kini terbalut rapi. Rasanya nyeri masih ada, tapi jauh berkurang.
"Te-terimakasih." katanya lirih.
Hyun-jae hanya mengangguk sekali, lalu bersandar ke sofa dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatapannya lurus ke depan, seolah Harin tidak lagi ada di sana.
Suasana hening. Hanya suara napas Harin yang masih tersengal karena tangis sebelumnya. Ia melirik sekilas, memperhatikan garis wajah pria itu dari samping. Terlalu dingin, terlalu jauh. Seakan-akan ada tembok besar yang memisahkan mereka.
Namun entah mengapa, justru sikap dingin itu membuat Harin semakin penasaran.
"Aku masih nggak percaya," gumamnya tiba-tiba, lebih ke dirinya sendiri tapi tetap terdengar di telinga Hyun-jae.
Pria itu menoleh singkat.
"Apa lagi yang tidak kau percaya?"
"Bahwa orang setampan kamu ... nggak pernah pacaran. Itu kayak nggak masuk akal. Sean bilang kamu terlalu sibuk kerja, tapi... masa iya? Nggak ada cewek yang bikin kamu sedikitpun tertarik? Jangan-jangan hyeong beneran gay?!"
Okey. Kali ini pertanyaannya terlalu lancang. Itu keluar begitu saja dari mulutnya tapi sudah tidak dapat dia tarik kembali. Hufft.
Harin, kamu kenapa sih hari ini?
Tatapan Hyun-jae menusuk, membuat Harin menelan ludah dan tersenyum kaku. Tatapannya berubah gelap, tajam bagai bilah pisau. Harin bisa merasakan jantungnya berdegup tak karuan, menyesali kalimatnya barusan. Ia bahkan sempat ingin menyumpal mulutnya sendiri dengan bantal sofa.
"Apa kau baru saja ..." suara Hyun-jae berat, rendah, membuat bulu kuduk Harin berdiri.
"Menyebutku gay?"
Harin buru-buru mengangkat kedua tangannya, melambaikannya panik.
"N-nnggak! Maksudku bukan begitu! Aku cuma, pertanyaan itu sebenarnya ingin aku tanyakan pada temanku, wajah hyeong agak mirip dengan wajah temanku, aku pikir tadi hyeong dia. Hahah. Hahah."
Harin makin ngelantur. Hatinya menjerit-jerit malu, ingin menghilang saja dari tempat ini. Laki-laki itu dinginnya melebihi kutub. Tapi, kalau dia keluar dari tempat ini, dia bisa kemana?
Uang tidak ada, otomatis tidak bisa sewa tempat tinggal yang murah sekali pun. Pekerjaan, baru rencana dia cari besok. Pinjam duit ke Sean buat cari kos-kosan baru? Ah tidak. Dia tidak mau merepotkan pria itu lagi. Ia sudah terlalu banyak menyusahkan Sean. Lebih baik bertahan saja dengan si aktor dingin ini. Dari pada melarat dan hidup di jalanan.
"Sekali lagi kau sebut aku gay, angkat kakimu dari sini."
Hyun-jae menatapnya tajam, sedang Harin tersenyum semanis mungkin. Matanya masih bengkak akibat menangis tadi. Ketika pandangannya menatap ke atas, ia kaget karena ada cicak di tembok sedang menatap ke arahnya.
Harin yang penakut hewan itu reflek melompat ke tubuh Hyun-jae, menempel bak koala. Kakinya melingkar di pinggang pria itu.
"Ada cecak! Ada cecak! Hiihhh!"
Hyun-jae menutup matanya dalam-dalam. Seharian ini dia sudah kelelahan. Ia pikir dirinya bisa beristirahat dengan damai begitu tiga di apartemennya, tetapi malah di pertemukan dengan spesies kayak perempuan ini.
"Turun," perintahnya. Suaranya rendah.
"Nggak, cecaknya masih ada." Harin menggeleng. Kepalanya dia benamkan dalam-dalam di bahu Hyun jae.
Hyun-jae menarik napas panjang, mencoba menahan diri. Tubuh mungil Harin yang menempel erat membuatnya sulit bergerak, apalagi kakinya melilit pinggang seperti lem kuat.
"Aku bilang, turun."
"T-tapi ... dia masih di sana! Matanya melotot ke aku!" Harin menunjuk ke arah tembok dengan jari tangan yang masih bebas, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di bahu pria itu. Tubuhnya gemetar seperti anak kecil yang ketakutan.
Hyun-jae mendongak sebentar, melihat cicak mungil itu diam saja, tak bergerak. Wajahnya mengeras. Masa harus berantem sama cicak juga malam ini? batinnya mendengus.
Hyun-jae bisa merasakan detak jantung Harin yang kacau menempel di dadanya. Aroma shampo manis samar tercium dari rambutnya. Gadis itu benar-benar menempel erat, seakan dunia akan runtuh kalau ia di lepas.
Hyun-jae menutup mata, menahan emosi.
"Kau menyusahkan."
Harin tidak peduli di bilang begitu, selama dia selamat dari cicak.
Hyun-jae akhirnya berjalan mendekati tembok sambil tetap menahan Harin yang masih menempel di tubuhnya. Ia menatap cicak itu dengan sorot dingin.
Dengan gerakan cepat, Hyun-jae mengambil majalah yang tergeletak di meja dan plek! Ia berhasil mengusir cicak itu keluar jendela.
"Sudah hilang, turun sekarang." katanya masih tetap dengan nada dingin seperti tadi.
Harin membuka matanya perlahan untuk mengecek. Setelah melihat cicak itu betul-betul sudah tidak ada, dia pun turun perlahan.
Malu? Jangan di tanya lagi.
"Lain kali kalau kau berani naik ke tubuhku seperti tadi, angkat kaki dari apartemen ini." kata Hyun-jae lalu berjalan melewati gadis itu masuk ke kamarnya.
Harin memukul kepalanya.
Harin, selamat. Kamu membuat kesan jelek pada kakaknya Sean.
Setelah mengatakan itu, dia ikut masuk ke kamarnya, maksudnya kamar Sean yang akan dia tempati sementara.
ketahuan kamu Luna ...😁😂😂
tunggu aja kalo udh ketauan semuanya lenyaplah kamu dari muka bumi 🤣🤣