NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan dengan Ratu Ular

Ancaman itu menggantung di udara, lebih dingin dari porselen retak yang tergeletak di atas meja. Hwa-young menatap garis-garis pecah pada cangkir itu, sebuah metafora yang begitu gamblang dan kejam. Di kehidupan sebelumnya, ancaman seperti ini akan membuatnya gemetar, memohon ampun, dan menelan racun apa pun yang disodorkan padanya demi keselamatan keluarganya.

Sekarang, yang ia rasakan hanyalah api. Api dingin yang membakar di dasar perutnya.

"Saya mengerti maksud Ibu Suri," jawab Hwa-young. Ia mengangkat pandangannya dari cangkir yang hancur itu dan menatap lurus ke mata Matriarch Kang. "Keluarga adalah hal yang paling berharga. Sekaligus yang paling rapuh."

Senyum tipis kembali terukir di bibir Matriarch Kang. Ia mengira Hwa-young telah menangkap pesannya. Ia mengira gadis itu sudah takluk. "Aku senang kau mengerti, menantuku. Ayahmu adalah seorang abdi negara yang hebat. Ia telah melayani kekaisaran dengan baik. Akan sangat disayangkan jika kesetiaannya selama puluhan tahun ternoda hanya karena putrinya terlalu kaku untuk belajar membungkuk."

"Tentu saja," Hwa-young mengangguk pelan, seolah menyetujui. Ia mengambil sumpitnya, tetapi tidak menyentuh makanan di mangkuknya. Ia hanya memainkannya di antara jari-jarinya yang ramping. "Saya sering memikirkan tentang kesetiaan dan kerapuhan, Ibu Suri. Terutama akhir-akhir ini."

Matriarch Kang bersandar di kursinya, melipat tangan di depan dada. Ia menikmati momen ini. Momen penaklukan. "Oh ya? Pikiran yang cukup berat untuk seorang pengantin baru."

"Mungkin," Hwa-young mengangkat bahu dengan ringan. "Tapi ibu saya pernah berkata, bahkan benda yang paling kuat pun memiliki titik lemah. Seperti reputasi. Dibangun selama puluhan tahun, tetapi bisa hancur dalam sekejap karena satu rahasia kecil yang terungkap."

Alis Matriarch Kang sedikit berkerut. Arah percakapan ini mulai berbelok. “Sayang sekali ibumu pergi begitu cepat."

"Sangat disayangkan," Hwa-young setuju, nadanya kini mengandung lapisan makna yang baru. "Tentang hal-hal yang ia lihat."

Keheningan yang tegang mulai merayap kembali ke dalam ruangan. Para pelayan di sudut ruangan seolah menahan napas, merasakan pergeseran atmosfer yang berbahaya.

"Ibu Suri," Hwa-young memulai, "berbicara tentang barang-barang yang bisa retak, saya jadi teringat sebuah cerita lama dari ibu saya. Tentang kiriman upeti batu giok dari Khotan, mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu."

Wajah Matriarch Kang membeku. Senyumnya lenyap seketika. Hanya matanya yang bergerak, menyipit tajam menatap Hwa-young. Nama 'Khotan' adalah sebuah lonceng alarm yang berdentang di benaknya.

Hwa-young melanjutkan, seolah tidak menyadari perubahan ekspresi ibu mertuanya. "Menurut cerita ibu saya, itu adalah kiriman giok putih terindah yang pernah dilihat kekaisaran. Hadiah untuk mendiang Ibu Suri Agung. Tapi kapal itu ... dilaporkan tenggelam di Laut Kuning. Seluruh muatannya hilang. Sungguh sebuah tragedi."

"Itu adalah sejarah lama," desis Matriarch Kang. "Kenapa kau mengungkitnya?"

"Oh, bukan apa-apa," jawab Hwa-young dengan riang yang dibuat-buat. "Hanya saja, ibu saya menyebutkan sebuah detail yang aneh. Beliau bilang, bahkan barang sekeras giok pun bisa 'retak' dan menghilang di lautan. Terutama jika kapalnya tidak pernah benar-benar berlayar."

DUG.

Matriarch Kang meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan sedikit hentakan. Suara porselen yang beradu dengan kayu terdengar seperti letusan senjata di ruangan yang sunyi itu. "Apa yang coba kau katakan, Putri Mahkota?"

"Saya tidak mencoba mengatakan apa-apa, Ibu Suri," balas Hwa-young, tatapannya tetap lugu, tetapi matanya berkilat penuh kemenangan. "Saya hanya seorang menantu yang ingin berbagi cerita dengan ibu mertuanya. Cerita itu memiliki akhir yang lebih aneh lagi. Beberapa tahun setelah 'tragedi' itu, beberapa pedagang sutra di perbatasan utara tiba-tiba menjadi sangat kaya. Mereka menjual ukiran-ukiran giok yang sangat mirip dengan deskripsi upeti dari Khotan."

Setiap kata adalah tusukan belati. Ini bukan sekadar tuduhan. Ini adalah paparan fakta yang hanya diketahui oleh segelintir orang di lingkaran terdalam istana saat itu. Sebuah skandal yang bisa menghancurkan legitimasi Keluarga Kang jika terungkap. Dana dari penjualan giok ilegal itulah yang membiayai kenaikan pesat keluarga mereka, membeli loyalitas para pejabat dan jenderal.

"Cukup!" bentak Matriarch Kang. Wajahnya yang biasanya tenang kini memerah karena amarah yang tak bisa ditahan. Para pelayan tersentak kaget dan langsung bersujud, wajah mereka menempel ke lantai.

Hwa-young tetap duduk tegak, tidak terintimidasi.

"Kau pikir kau siapa?" desis Matriarch Kang, mencondongkan tubuhnya ke depan. Auranya yang mengancam kini terasa seperti badai yang siap mengamuk. "Beraninya kau mengarang cerita fitnah seperti itu di hadapanku?"

"Mengarang cerita?" Hwa-young memiringkan kepalanya. "Saya tidak yakin, Ibu Suri. Tapi ibu saya adalah orang yang sangat teliti. Beliau bahkan menyebutkan bahwa peti-peti giok itu tidak disegel dengan lambang kekaisaran. Peti-peti itu ditandai dengan ukiran bunga kamelia. Simbol pribadi keluarga Anda, bukan?"

Pukulan terakhir. Telak dan mematikan.

Matriarch Kang terhuyung ke belakang di kursinya seolah baru saja ditampar. Wajahnya pucat pasi. Rahasianya yang paling kelam, fondasi berdarah dari kekuasaan keluarganya, baru saja dibisikkan kembali kepadanya oleh seorang gadis yang seharusnya menjadi pion tak berdaya.

Bagaimana? Bagaimana gadis ini bisa tahu? Informasi itu seharusnya sudah terkubur bersama semua orang yang terlibat. Hanya ada satu sumber yang mungkin ... Ratu sebelumnya. Wanita itu selalu menjadi duri dalam dagingnya, dengan jaringan pedagang dan informannya yang misterius. Matriarch Kang mengira ia telah menghancurkan semua warisan wanita itu. Ternyata ia salah.

"Kau..." Matriarch Kang mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. Ia menatap Hwa-young dengan campuran kebencian, ketakutan, dan kekaguman yang aneh. Menantunya ini bukan domba. Ia adalah seekor ular berbisa yang selama ini menyembunyikan taringnya.

"Saya hanya ingin mengatakan," Hwa-young melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, seolah ingin menghibur, "bahwa saya setuju dengan Anda, Ibu Suri. Keluarga memang rapuh. Reputasi juga. Kita semua harus berhati-hati agar tidak ada yang 'retak' karena kesalahpahaman kecil."

Ia telah membalikkan ancaman itu seratus delapan puluh derajat. Kini, dialah yang memegang pisau di leher Matriarch Kang.

Matriarch Kang menatap Hwa-young lama dalam keheningan yang mencekik. Perang di matanya berkecamuk. Instingnya berteriak untuk membunuh gadis ini sekarang juga. Tetapi logikanya menahannya. Jika Hwa-young tahu tentang giok Khotan, apa lagi yang ia ketahui? Rahasia apa lagi yang ditinggalkan ibunya? Membunuhnya sekarang bisa melepaskan badai informasi yang akan menenggelamkan mereka semua.

Ia kalah. Untuk saat ini.

"Sarapan sudah selesai," kata Matriarch Kang tiba-tiba, suaranya serak dan dingin. Ia bangkit dari kursinya dengan gerakan kaku. "Aku merasa tidak enak badan."

Tanpa menoleh lagi ke arah Hwa-young, ia berjalan keluar dari ruang makan, jubahnya berdesir marah di belakangnya. Para pelayan yang ketakutan bergegas mengikutinya, meninggalkan Hwa-young sendirian di meja besar yang penuh dengan makanan yang tak tersentuh.

Hwa-young menghela napas panjang. Kakinya terasa lemas di bawah meja. Ia berhasil. Ia telah menatap mata sang Ratu Ular dan membuatnya mundur. Ia telah membeli waktu.

"Yang Mulia," seorang pelayan tua yang tersisa di ruangan itu membungkuk dengan gemetar. "Apakah ... apakah Anda membutuhkan sesuatu?"

Hwa-young menatap pelayan itu, lalu ke makanan lezat di hadapannya. Nafsu makannya telah kembali. "Ya," katanya dengan senyum kecil. "Tolong hangatkan lagi buburnya. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar."

Kembali di Paviliun Bulan Baru, Hwa-young merasa energi dari kemenangannya mulai memudar, digantikan oleh kewaspadaan yang menusuk. Matriarch Kang tidak akan tinggal diam. Kekalahan ini hanya akan membuatnya semakin ganas dan berhati-hati. Serangan berikutnya akan lebih mematikan.

Ia harus bergerak cepat. Ia harus mengaktifkan Chungmae.

Ia duduk di dekat jendela, membiarkan angin pagi menerbangkan rambutnya yang tergerai. Saputangan bersulam bunga plum dengan kode rahasia di baliknya terasa hangat di dalam lengan bajunya. Itu adalah satu-satunya senjatanya saat ini, tetapi ia belum tahu bagaimana cara menggunakannya. Kepada siapa ia harus menunjukkannya? Di mana?

"Yang Mulia Putri Mahkota."

Hwa-young menoleh. Seorang dayang muda yang tidak ia kenali berdiri di ambang pintu, membungkuk dalam-dalam. Wajahnya biasa saja, mudah dilupakan, yang justru membuatnya mencurigakan di istana ini.

"Ada apa?" tanya Hwa-young.

"Ada titipan untuk Anda," kata dayang itu. Ia maju dan meletakkan sebuah kotak kayu kecil yang dipernis hitam di atas meja di depan Hwa-young. Kotak itu sederhana, tanpa ukiran apa pun. "Seorang pedagang keliling yang menjual pernak-pernik menitipkannya pada penjaga gerbang. Katanya ini adalah hadiah pernikahan yang tertunda dari seorang kerabat jauh."

Hwa-young menatap kotak itu dengan curiga. "Kerabat jauh? Siapa namanya?"

"Pedagang itu tidak menyebutkan nama, Yang Mulia. Ia hanya mengatakan bahwa Anda akan mengerti," jawab dayang itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Sebuah jebakan? Mungkin dari Matriarch Kang, untuk mengujinya?

"Baiklah. Kau boleh pergi," kata Hwa-young.

Dayang itu membungkuk sekali lagi dan mundur tanpa suara. Hwa-young menunggu sampai langkah kakinya benar-benar hilang. Ia sendirian.

Tangannya terulur ke arah kotak itu, tetapi berhenti beberapa senti di atasnya. Mungkinkah berisi racun? Ular? Sesuatu yang akan melukainya? Ia mendorong kotak itu perlahan dengan ujung jarum sulamnya. Tidak ada suara aneh. Tidak ada getaran.

Dengan napas tertahan, ia mengangkat tutupnya.

Tidak ada ledakan. Tidak ada bau aneh.

Di dalam kotak yang dilapisi beludru merah pudar, hanya ada satu benda.

Sebuah jepit rambut. Terbuat dari kayu eboni yang dipoles hingga berkilau. Ujungnya diukir dengan sangat halus membentuk seekor burung.

Seekor burung layang-layang.

Jantung Hwa-young berhenti berdetak. Matanya terpaku pada ukiran itu. Burung itu digambarkan sedang dalam posisi terbang, sayapnya terbentang anggun. Kecuali satu detail kecil yang mustahil dilihat oleh orang biasa.

Sayap kanannya. Di bagian ujungnya, sehelai bulu terukir dalam posisi terlipat ke dalam.

Simbol yang sama persis dengan yang ia temukan di bawah meja rias. Simbol yang sama persis dengan yang kini tersembunyi di balik sulaman bunga plumnya.

Napasnya kembali dengan terkesiap. Ini bukan jebakan dari Matriarch Kang. Ini bukan kebetulan.

Ini adalah jawaban.

Chungmae masih hidup. Dan jaringan itu baru saja menghubunginya.

Getaran menjalari tubuhnya, bukan karena takut, melainkan karena harapan yang meluap-luap. Ia tidak sendirian dalam perang ini.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil jepit rambut itu. Terasa ringan, tetapi bobotnya serasa seluruh masa depan kekaisaran. Saat ia mengangkatnya dari kotak, selembar kertas kecil yang terlipat rapi jatuh dari bawahnya.

Jantungnya berdebar kencang. Ia membukanya dengan tergesa-gesa.

Kertas itu kosong. Tidak ada satu pun goresan tinta di atasnya.

Kekecewaan melandanya sesaat. Apakah ia salah? Apakah ini hanya kebetulan yang aneh? Ia membalik kertas itu, memeriksanya di bawah cahaya. Tetap tidak ada apa-apa.

Frustrasi, ia hendak meremas kertas itu ketika matanya menangkap sesuatu. Sebuah noda samar di sudut kertas. Bukan tinta. Seperti bekas minyak.

Ia mendekatkan kertas itu ke hidungnya. Aroma yang sangat samar tercium. Aroma bunga ... bunga plum.

Sebuah ingatan lain dari ibunya melintas. “Tidak semua pesan ditulis dengan tinta, Hwa-young. Beberapa pesan hanya akan muncul jika kau tahu cara membacanya.”

Panas. Pesan yang ditulis dengan sari bunga tertentu akan muncul jika dipanaskan.

Tanpa berpikir dua kali, ia bergegas ke meja tempat sebuah lilin kecil menyala. Dengan hati-hati, ia memegang kertas itu di atas nyala api, menjaga jarak agar tidak terbakar. Ia menggerakkannya perlahan, matanya terpaku pada permukaan kertas yang putih bersih.

Perlahan, seolah-olah oleh sihir, huruf-huruf berwarna cokelat samar mulai muncul. Bukan kalimat panjang. Hanya tiga kata.

Toko Teh Wangi.

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!