Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Tekad Roy
Allysa menghela napas panjang begitu berdiri di depan pintu kaca club yang mulai dipenuhi lampu-lampu sore. Langkahnya ragu, tapi pikirannya penuh oleh satu nama yang sejak tadi menyesaki dada: Roy.
Teman-temannya bilang Roy makin parah. Mabuk-mabukan tiap malam, kehilangan arah setelah mendengar kabar pernikahan Nadia. Itu cukup membuat hati Allysa tidak tenang—bahkan sedikit takut. Dia sudah mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi semakin dia menepis, semakin keras bayangan Roy muncul di kepalanya.
Maka malam ini, dia datang.
Begitu pintu terbuka, suara musik dan aroma kopi khas bar club itu menyambutnya. Allysa menoleh ke kiri dan kanan, mencoba mencari sosok Roy yang dia bayangkan sedang terhuyung-huyung atau setidaknya terlihat kusut.
Tapi justru pemandangan itu membuat langkahnya terhenti. Roy berdiri di balik counter, tubuhnya tegap, rambutnya rapi, wajahnya segar seperti orang yang baru bangun dari tidur yang panjang. Dia sedang meracik minuman sambil sesekali tersenyum kecil—bukan senyum dipaksakan, tapi senyum orang yang sudah berdamai dengan sesuatu yang dulu sangat menyakitkan.
Allysa tertegun. "Ini Roy yang katanya mabuk-mabukan?” batinnya bergetar.
Roy memutar tubuh dan mata mereka bertemu. Tidak ada tatapan kosong atau letih seperti dulu. Yang terlihat justru tatapan jernih, optimis, dan penuh kehidupan baru.
"Allysa?” Roy mengerutkan kening, terkejut tapi senang. Dia segera menghampiri, melepas sarung tangannya. “Kok lu di sini? Sudah lama nggak kelihatan.”
Allysa mencoba tersenyum, tapi hatinya campur aduk. "Gue… cuma mau lihat keadaan lu,” ujarnya pelan. “Gue dengar lu lagi nggak baik-baik saja.”
Roy tertawa kecil, bukan mengejek, tapi hangat. "Dulu iya. Tapi sekarang… gue capek jadi orang yang nyiksa diri sendiri. Ada banyak hal yang harus gue kejar, dan gue nggak mau hidup gue berhenti di satu titik.”
Allysa diam. Tubuhnya rileks, tapi dadanya justru makin sesak—bukan karena sedih, tetapi karena lega. Lega melihat Roy kembali jadi dirinya. Lega melihat dia bisa bangkit. Lega sekaligus cemas, karena dalam hati kecilnya, dia sadar: Dia tidak tahu apakah dia siap menghadapi Roy yang kini bergerak maju, sementara dirinya masih diam di tempat yang sama—menyimpan perasaan yang sebenarnya sempat diungkapkan saat Roy setengah mabuk. Dia gak yakin Roy masih ingat atau tidak tentang ungkapan perasaannya tersebut.
Tapi Roy tersenyum padanya, senyum hangat yang membuat ruangan terasa lebih terang. "Lu mau duduk dulu? Gue bisa bikinin minuman spesial buat lu.”
Allysa duduk di bangku bar yang dinginnya menembus tipis celananya. Roy kembali ke balik counter, mengambil gelas, lalu meracik minuman sambil sesekali melirik ke arahnya. Suasana club mulai ramai, tapi entah bagaimana, dunia seolah mengerucut hanya ke mereka berdua.
Roy meletakkan segelas minuman di depan Allysa "Gue senang lu datang,” katanya pelan.
Allysa menatapnya lekat-lekat. “Roy, lu beneran kelihatan beda. Jauh beda. Gue sampe ragu mau menyapa tadi. Apa yang bikin lu berubah?”
Roy menghela napas, menyandarkan kedua tangannya di meja bar. Matanya menerawang sebentar sebelum kembali menatap Allysa
"Gue sadar, gue nggak bisa terus hidup dengan bayangan seseorang yang sudah memilih jalannya sendiri. Gue sempat jatuh… iya. Sempat hilang kendali juga. Tapi ada satu titik di mana gue lihat diri gue sendiri di cermin dan mikir, "Sampai kapan mau kayak gini?"
Allysa diam, mendengarkan setiap kata dengan hati yang ikut bergetar.
"Aku ingat mimpiku,” lanjut Roy. “Ingat hidup yang harus gue bangun. Ingat apa yang dulu pernah bikin gue berjuang. Dan kalau gue terus tenggelam di masa lalu, gue cuma nyakitin diri sendiri dan nyakitin orang-orang yang peduli sama gue." Roy berkata sambil menatap Allysa. Roy tidak menjelaskan alasan sebenarnya kepada Allysa karena dia tahu Allysa mencintainya, juga Roy khawatir Allysa menceritakannya kepada Nadia, kalau dia akan memperjuangkannya, justru akan membuat Nadia berpikir yang bukan-bukan. Karenanya, dia yang akan menjelaskan semuanya sendiri tanpa campur tangan orang lain.
Allysa tertunduk. Kata “orang-orang yang peduli” menusuknya pelan.
Roy tersenyum samar. "Gue mulai bangkit. Pelan-pelan. Nggak gampang, tapi, gue belajar menerima.”
Allysa mengusap gelasnya dengan ibu jari, menimbang-nimbang sesuatu dalam hatinya. "Gue senang dengernya. Beneran. Tapi, entah kenapa, gue juga takut.”
"Takut kenapa?” Roy mencondongkan tubuh.
"Takut lu pergi terlalu jauh. Gue nggak bisa nyusul.” Suaranya hampir tidak terdengar.
Roy mengernyit lembut. “Allysa…”
Dia terdiam sebentar. Ada sesuatu di sorot matanya—berat, tulus, dan menyakitkan pada saat yang sama.
"Gue harus jujur,” ucapnya akhirnya. "Lu orang yang baik. Lu selalu ada waktu gue jatuh. Lu ngangkat gue tanpa pernah minta imbalan apapun." Roy menelan ludah, suaranya bergetar tipis. "Dan karena itu, gue rasa gue harus ngomong ini.”
Allysa mengangkat wajah, jantungnya berdetak tak karuan.
"Maaf!" Satu kata itu meluncur perlahan, tapi terasa seperti menghantam dadanya.
"Maaf karena gue nggak bisa balas perasaan lu.” Roy menatapnya tanpa lari, tanpa bersembunyi.
"Gue tahu lu sayang sama gue. Gue bukan nggak sadar. Tapi bagian dari hati gue masih belajar pulih. Masih belajar berdiri sendiri. Dan gue nggak mau nyeret lu ke dalam kekacauan yang masih tersisa.”
Allysa membeku. Ada kesakitan, tapi juga ada kelegaan karena akhirnya kata-kata itu terucap.
Roy melanjutkan dengan suara yang lebih lirih. "Gue nggak mau lu nunggu sesuatu yang mungkin nggak akan datang dari gue. Lu berhak dapat orang yang bisa ngasih hatinya penuh, bukan sisa-sisanya.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Musik di club terdengar jauh, kabur—seakan dunia memberi ruang untuk dua hati yang sedang belajar menerima kenyataan.
Allysa menarik napas panjang, menahan rasa perih di dadanya. “Gue ngerti meski sakit." Dia memaksakan senyum kecil. “Tapi gue lebih sakit kalau lu hancur dan gue cuma bisa lihat dari jauh.”
Roy menunduk, wajahnya lembut. “Terima kasih, Allysa. Lu salah satu alasan gue bisa bangkit.”
Kata-kata itu sederhana, tapi menampar lembut sisi hatinya yang paling rapuh.
Dan di tengah lampu club yang berkedip-kedip, Allysa sadar: Cinta kadang bukan tentang memiliki,tapi menerima bahwa seseorang yang kau cinta sedang memilih jalannya—meski bukan ke arahmu.
Allysa terdiam setelah mendengar penjelasan Roy tapi dia tahu, sesuatu masih disembunyikan. Ada cahaya lain di mata Roy, sesuatu yang tidak dia lihat sebelumnya.
Dia menatap Roy lirih. “Tapi, ada alasan lain kan? Kenapa tiba-tiba lu sekuat ini?”
Roy mengembuskan napas panjang, lalu menegakkan tubuhnya. Rahangnya mengeras, bukan karena marah—melainkan tekad yang baru.
"Ada,” ujarnya akhirnya. "Gue bangkit, karena gue tahu Nadia hamil.”
Allysa membeku. Kata-kata itu seperti mengguncang seluruh ruang.
Roy menatap meja sejenak sebelum kembali berkata ke Allysa. “Dan itu… anakku.”
Suaranya bergetar sedikit, tapi bukan karena takut. Lebih karena harapan yang begitu besar. Roy akhirnya mengungkapkan semuanya. Ternyata dia tidak bisa berbohong di hadapan Allysa.
"Lu tahu dari mana Roy?"
"Ada orang yang ngasih tahu gue, Sa."
"Siapa?"
"Lu gak perlu tahu dia siapa, yang pasti dia mendengar saat Nadia curhat kehamilannya kepada lu di sini, di tempat ini."
"Gue?" Allysa gelagapan.
"Ya lu Sa. Gue gak perlu nanya ke lu, kenapa lu menyembunyikan semuanya, karena gue tahu pasti Nadia melarangnya. Ya kan?" Roy menatap Allysa lekat. Allysa menunduk tak karuan.
"Maafin gue, Roy. Gue gada maksud apa-apa."
"Ya gue tahu, gue maklum kok."
"Sekarang apa yang akan lu lakukan, Roy?"
"Yang pasti gue akan bangkit. Gue sempat hancur waktu tahu dia menikah dengan Rizal.” lanjut Roy. “Tapi waktu gue tahu dia hamil anak gue, gue sadar gue nggak boleh jadi laki-laki yang cuma mabuk-mabukan. Gue bakal jadi ayah.” Roy tersenyum kecil, pahit tapi tulus. “Gue harus jadi seseorang yang bisa dia—andai suatu hari nanti—percaya lagi.”
Allysa mengatur napasnya, meski dadanya terasa sesak luar biasa. “Jadi, lu bangkit untuk memperjuangkan dia?”
Roy mengangguk perlahan. “Iya. Buat Nadia, buat anak kami, dan buat diri gue sendiri. Gue nggak tahu bagaimana akhirnya nanti. Mungkin dia tetap milih Rizal, mungkin nggak. Tapi gue harus berjuang. Setidaknya dia tau gue nggak lari dari tanggung jawab atau perasaan gue sendiri.”
Allysa menelan sesuatu yang pahit di tenggorokannya. “Roy…”
Roy tersenyum lembut—senyum yang dulu sering membuat Allysa yakin masih ada harapan untuk dirinya. Tapi kini, senyum itu seperti tanda perpisahan yang perlahan menutup pintu.
"Maaf, Allysa!” katanya lagi, suaranya kali ini lebih mantap, lebih jujur. “Maaf karena gue nggak bisa balas cinta lu. Hatiku masih penuh sama Nadia. Dan sekarang, dengan adanya anak itu, gue makin yakin apa yang harus gue lakukan.”
Dia menyentuh dadanya sendiri. “Perasaanku ke dia nggak pernah hilang. Dan tahu dia membawa anakku, rasanya seperti dunia bilang: ‘Bangun, Roy. Ini waktunya kamu nggak boleh menyerah.'
Allysa tersenyum, meski air matanya menahan di sudut mata. “Gue ngerti,” bisiknya. "gue ngerti, meski rasanya seperti kehilangan sesuatu yang nggak pernah benar-benar gue punya.”
Roy menatapnya lama, seolah ingin memastikan luka itu tidak lebih dalam dari yang seharusnya. "Lu orang baik, Allysa. Lu pantas dapat seseorang yang ngeliat lu, bukan bayangan orang lain.”
Allysa menarik napas panjang, menahan getaran suaranya. "Kalau gitu berjuanglah Roy, untuk dia. Untuk anak itu. Jangan setengah-setengah!”
Roy tersenyum—senyum penuh tekad yang bahkan membuatnya terlihat berbeda dari Roy yang dulu. "Gue janji.”
Dan untuk pertama kalinya, Allysa melihat Roy bukan sebagai laki-laki yang dia cintai dalam diam, melainkan sebagai seseorang yang akhirnya menemukan arah hidupnya. Meskipun arah itu bukan menuju dirinya.