NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kau ternyata hebat

Kei memperhatikan ekspresi ketiga gadis itu. Wajah mereka berubah pucat, mata membelalak, napas tersendat.

“Ada apa? Kenapa kalian begitu?” tanyanya heran.

Fandi merogoh saku.

Ia baru sadar—ponsel Epi masih ada padanya.

Layar ponsel itu menyala, notifikasi pesan berjejer.

Dahi Fandi mengeras. Ia menoleh pada ketiga gadis itu.

“Kalian dipecat. Semuanya. Bahkan Epi—katanya sudah lama tidak masuk kerja.”

Ia memperlihatkan layar ponsel itu.

Epi langsung merebutnya dengan tangan gemetar.

“Hah? Dipecat?” Kei membelalak. “Kalian nggak izin?”

“Aku nggak sempat…” suara Rami bergetar. “Kami baru ambil ponsel kemarin di kontrakan. Kalau Epi, kami sudah bilang dia di rumah sakit. Bahkan kami kirim fotonya… tapi kenapa langsung dipecat semua?”

“Sudah,” kata Rora cepat sambil menarik tangan Epi. “Kita pulang dulu. Itu urusan nanti.”

Mereka tak menunggu jawaban.

Ketiga gadis itu berjalan cepat keluar.

Tak lama kemudian, taksi yang mereka pesan berhenti. Mereka masuk tanpa menoleh lagi. Mobil itu melaju, meninggalkan rumah sakit.

Di dalam taksi, suasana hening menyesakkan.

“Aku kesal sama yang namanya Alfin,” geram Rora.

“Aku juga,” sahut Rami dingin. “Dia nggak pernah hidup susah, makanya mulutnya begitu.”

“Sudahlah…” Epi menunduk. “Sekarang kita kehilangan pekerjaan. Maaf… ini semua salahku.”

“Bukan salahmu,” kata Rora lembut. “Kita cari kerja lagi. Kamu istirahat dulu.”

Taksi terus melaju hingga berhenti di depan kontrakan mereka.

Begitu masuk, pintu langsung dikunci.

Ketiganya duduk di sofa kecil dengan tubuh lelah dan pikiran kacau.

“Apa kita harus pindah kontrakan?” tanya Epi pelan.

“Sepertinya iya… demi keamanan,” jawab Rami.

Epi menunduk lebih dalam.

“Andai aku nggak melihat kejadian itu… kita pasti masih aman. Masih punya pekerjaan.”

“Bukan salahmu,” Rora menggeleng. “Ini mungkin takdir. Kita masih punya tabungan.”

“Tapi kita baru bayar sebulan lalu,” Rami menghela napas. “Bahkan kita sudah lunasi setahun ke depan.”

“Aku juga berat pindah,” sahut Epi.

“Aku juga,” Rora ikut mengiyakan. “Kita sudah lama di sini.”

Rami terdiam sejenak. Lalu matanya menyipit.

“Aku punya ide… supaya kita tetap aman tanpa pindah.”

“Apa?”

“Gimana?”

Epi dan Rora bersamaan menoleh.

“Mandi dulu,” kata Rami berdiri. “Nanti aku jelaskan.”

Beberapa menit sebelumnya

Tak lama setelah ketiga gadis itu pergi, Fandi melangkah cepat ke arah mobilnya.

Kei dan Alfin mengikutinya.

Mobil Fandi melaju, menjaga jarak, mengikuti taksi yang ditumpangi ketiga gadis itu.

Mereka melihat dengan jelas—taksi berhenti, para gadis turun, lalu masuk ke kontrakan.

Sekarang, mereka masih memantau dari kejauhan.

“Fan, serius mau mantau sampai jam berapa?” keluh Alfin.

“Sampai benar-benar aman,” jawab Fandi tenang.

“Aku nggak ngerti lagi,” Alfin mendecak. “Kita sudah nolong, mereka juga nolak. Udah cukup, kan?”

Fandi menoleh.

Tatapannya datar—namun tajam.

“Itu karena mulutmu,” katanya dingin. “Mereka tersinggung.”

Ia kembali menatap kontrakan.

Alfin terdiam.

Kei di kursi belakang tak peduli. Jemarinya sibuk di layar ponsel.

Satu jam berlalu.

Namun Fandi tak juga ingin pergi.

Di dalam kontrakan

Ketiga gadis itu keluar dari kamar masing-masing setelah mandi.

“Sekarang jelaskan,” kata Rora. “Apa rencanamu?”

Epi duduk mendekat, penasaran.

“Aku berpikir,” ucap Rami pelan, “kita pasang sistem pengamanan tinggi di sekitar kontrakan ini.”

“Maksudmu?” Epi mengernyit.

“Sengatan listrik,” jawab Rami. “Di pagar dan tembok. Tidak mematikan—hanya melumpuhkan. Kecuali kalau listriknya terlalu tinggi. Tapi kita pakai daya rendah.”

“Itu harus orang ahli,” kata Rora ragu.

“Dan pasti mahal,” tambah Epi.

Rami tersenyum tipis.

“Aku bisa membuatnya.”

“Apa?!”

Epi dan Rora berseru bersamaan.

“Kalian lupa?” Rami tersenyum lebih lebar. “Aku memang ahli di bidang ini.”

Rora menatapnya tak percaya.

“Kau serius?”

“Iya. Bahannya murah. Kita cuma perlu beli.”

Epi menggeleng pelan.

“Aku baru tahu kau secerdas ini…”

Rami hanya tersenyum.

“Ayo,” katanya berdiri. “Siapa ikut beli? Kita naik motor saja.”

“Aku di rumah,” kata Epi.

“Kau nggak apa-apa sendirian?” tanya Rora khawatir.

“Aman. Aku kunci pintu dan kamar. Kalian kabari aku kalau sudah pulang.”

“Baik,” kata Rami.

“Hati-hati,” ucap Epi.

Rami dan Rora pergi naik motor.

Epi menutup dan mengunci pintu, lalu masuk kamar dan menguncinya lagi. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran kacau.

Di luar kontrakan

Fandi, Kei, dan Alfin masih di sana.

Mereka melihat Rora dan Rami pergi menggunakan motor.

“Kenapa mereka meninggalkan Epi sendirian?” gumam Fandi.

“Mungkin beli keperluan,” jawab Kei santai.

Fandi tak menjawab.

Matanya terus tertuju pada kontrakan itu.

“Sampai kapan kita di sini?” tanya Alfin lagi.

“Sampai mereka kembali,” jawab Fandi singkat.

Ia menatap tanpa berkedip.

Tiba-tiba—

Triiing… Triiing…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!