NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: Kepanikan Nayara

Tiba-tiba, dering ponsel dari saku Zevian memecah keheningan. Suara itu membuat Nayara terkejut dan langsung meraih ponsel yang bergetar itu. Terlihat jelas nama “Aditya” terpampang di layar.

Dengan tangan yang gemetar dan jantung berdegup kencang, Nayara mengangkat panggilan itu.

•••

“Halo Zevian, aku...” suara Aditya di sebrang sana.

“Tolong... tolong dia... dia terluka!! Aku mohon... dia terluka...” ucap Nayara tergugu, terisak-isak dengan napas yang memburu tak beraturan. Suaranya terdengar begitu panik, nyaris tak bisa dikenali karena tangis yang menyesakkan dadanya.

“Apa yang terjadi? Tidak apa-apa, katakan saja—kalian di mana?” tanya Aditya dengan nada panik yang meningkat, mendengar suara Nayara yang histeris.

“Di... di apartemennya... cepatlah, aku takut...” lirih Nayara. Tubuhnya gemetar hebat saat kembali menatap Zevian yang tergeletak lemah di bawah shower yang masih menyala. Dengan langkah terbata dan kaki berdarah, dia menjangkau keran dan memutar tuasnya, mematikan aliran air yang tak henti mengguyur tubuh pria itu.

Air berhenti, tapi genangan bercampur darah tetap mengendap di lantai, menjadi saksi bisu atas kekacauan yang terjadi.

Bayangan buruk langsung menyeruak di benaknya—bagaimana jika Zevian kehilangan kesadaran untuk waktu yang lama? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang lebih parah? Dan... bagaimana reaksi Indira nanti jika tahu bahwa anak laki-lakinya tergeletak seperti ini, bersimbah darah, bersamanya?

Entah mengapa, walau Nayara tahu bahwa dirinya belum bisa mencintai Zevian, jujur saja... belakangan ini, perasaan nyaman itu mulai tumbuh—perlahan tapi nyata. Sikap Zevian yang semaunya, kasar, dan arogan, memang sering menyakiti perasaannya, tapi di sela semua itu... selalu ada momen-momen kecil yang membuat Nayara merasa dilihat, dijaga, dan—anehnya—diperhatikan.

Kini, melihat pria itu tak berdaya, terkulai lemas, Nayara merasakan penyesalan yang amat dalam. Dia merasa bersalah. Sangat bersalah.

Apalagi saat pikirannya kembali mengingat momen pertama kali Zevian memperkenalkannya pada keluarga Steel. Wajah Tuan Steel yang datar tapi menunjukan penerimaan nya, tatapan tajam Ny. Indira yang penuh penilaian tapi menjadi alasan pertama nya mau menerima lamaran Zevian, serta Valen yang menyambut dengan senyum ramah meski tersirat tanda tanya.

“Zevian... bertahanlah, aku mohon...” bisik Nayara lirih sambil berlutut kembali di samping tubuh pria itu. Tangan kecilnya bergetar saat mencoba menekan luka di tangan Zevian dengan handuk kecil yang ia ambil dari rak.

“Cepatlah... Darah nya banyak sekali...” batinnya, berharap seseorang segera datang menyelamatkan pria yang kini mulai mengisi sebagian kecil hatinya, walau dia belum sepenuhnya sadar akan hal itu.

“Aku sampai di sana sebentar lagi... Jangan panik, katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Zevian?” tanya Aditya dengan suara berusaha tenang meski nada paniknya tetap terdengar. Dia mengemudi sambil mendengarkan suara isak tangis dari calon istri temannya itu, membuat dadanya ikut sesak.

“Aku mengerti... Tolong cepat... Dia pendarahan hebat... Aku takut dia kehabisan darah...” ujar Nayara dengan suara parau, napasnya tersengal-sengal karena kepanikan yang masih menguasai dirinya.

“Oke... Hentikan pendarahannya sebisa mungkin. Kamu kan mahasiswa kedokteran, ya? Di lantai bawah, di lemari kaca yang berisi pajangan, ada kotak P3K. Letaknya di laci paling bawah,” ujar Aditya memberikan instruksi dengan suara tegas sekaligus penuh harap.

“A... akan, aku cari,” jawab Nayara pelan sambil kembali berjalan tertatih. Meski kakinya terluka dan berdarah, dia sama sekali tak peduli. Jejak kaki merah yang berlumuran darah mengiringi langkahnya, seolah meninggalkan tanda di lantai apartemen yang sunyi itu.

“Jangan putuskan sambungan telepon, oke?” pinta Aditya dengan nada mendesak.

Nayara sibuk mencari kotak P3K yang disebutkan Aditya. Waktu terasa begitu lama saat dia membuka satu persatu laci dan rak, hingga akhirnya tangannya berhasil menyentuh kotak P3K kecil berwarna merah yang tersembunyi di laci paling bawah.

Sementara itu, di seberang sana, Aditya tidak tinggal diam. Sambil mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, dia segera mengirim pesan ke Joni, dokter keluarga Steel, memohon agar segera datang membantu.

“Bertahanlah...” lirih Nayara penuh harap, kini sudah kembali ke kamar mandi yang kacau. Dia ingin sekali memindahkan tubuh Zevian ke tempat yang lebih nyaman, tapi tenaga dan keberaniannya tidak cukup. Akhirnya, dengan tangan gemetar, dia mulai mengobati luka di tangan Zevian di kamar mandi yang penuh pecahan kaca dan genangan darah itu.

“Naya... masih di sana?” tanya Aditya dengan suara penuh kekhawatiran.

“I... iya... cepatlah, darahnya tidak mau berhenti... a... aku sudah mencoba menghentikan darahnya, tapi tidak berhasil. Lukanya sepertinya dalam. Maaf... aku tidak berani mencabut serpihan kacanya,” jawab Nayara dengan suara gemetar, membuat Aditya mengusap wajahnya kasar karena frustasi sekaligus prihatin.

“Tahan beberapa saat lagi, aku akan segera ke sana. Dokter juga sudah dalam perjalanan. Tetap jaga Zevian, ya,” kata Aditya berusaha menenangkan, meskipun hatinya juga berdebar tak menentu.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dugaan Aditya benar — dia sampai di penthouse milik Zevian. Tanpa membuang waktu, dia langsung berlari menuju kamar Zevian dan masuk ke kamar mandi. Di sana dia menemukan Nayara yang masih berjuang menghentikan pendarahan Zevian. Kapas dan botol alkohol berserakan di mana-mana, sementara pecahan kaca dan genangan air yang masih tersisa menciptakan warna merah muda samar, bercampur darah segar.

“Zevian... astaga...” ucap Aditya, masuk dengan sangat hati-hati agar tidak menginjak serpihan kaca yang tajam. Perlahan, dia membopong tubuh Zevian yang terkulai lemas, bajunya basah kuyup, bercampur darah yang mengering.

Dengan penuh kewaspadaan, Aditya membawa tubuh sahabatnya ke atas ranjang. Tanpa ragu, dia membuka pakaian Zevian yang sudah sangat basah oleh air bercampur darah, berusaha mengeringkan dan membersihkan luka yang ada. Setelah itu, dia menyelimuti Zevian dengan selimut tebal, menunggu kedatangan Joni, dokter keluarga Steel.

Setelah memastikan Zevian dalam posisi yang lebih nyaman, Aditya kembali ke kamar mandi dan melihat Nayara yang terdiam di sana. Penampilannya tak kalah berantakan daripada Zevian — rambutnya masih basah, air yang menetes perlahan dari helaian rambutnya menambah kesan bahwa mereka baru saja mengalami pertengkaran hebat yang melelahkan secara fisik dan emosional.

“Naya... ayo keluar... banyak pecahan kaca di sini,” ujar Aditya tanpa ragu sambil mengangkat tubuh Nayara dengan lembut. Dia tahu Nayara juga terluka karena saat menaiki tangga tadi, dia melihat jejak kaki penuh darah. Itu cukup untuk membuatnya yakin bahwa Nayara tidak baik-baik saja.

Dengan sigap, Aditya mengangkat tubuh Nayara, yang kali ini tak berdaya untuk berontak. Rasa sakit di kaki Nayara mulai terasa perih, padahal sebelumnya dia tak merasakannya. Air matanya masih terus mengalir, tapi kali ini tanpa suara, hanya menetes pelan di pipinya. Aditya meletakkan tubuh Nayara dengan hati-hati di atas ranjang, tepat di samping Zevian yang masih terpejam, wajahnya tampak rapuh.

Aditya kemudian melangkah ke walk-in closet, mencari bathrobe. Tidak lama kemudian, dia kembali keluar dengan membawa bathrobe lembut di tangannya.

“Dengarkan aku, ganti pakaianmu. Kamu akan sakit kalau terus pakai baju basah itu. Aku akan turun ke bawah sebentar, dan saat aku kembali, kamu harus sudah melepas pakaianmu, oke? Tolong jangan keras kepala kali ini. Mengerti, ya?” ujarnya dengan nada tegas, namun penuh perhatian, sambil meletakkan bathrobe itu di tangan Nayara.

Nayara mengangguk pelan, mengerti akan maksud Aditya. Dengan tangan gemetar, dia membuka pakaiannya yang basah dan menggantinya dengan bathrobe yang diberikan. Meskipun terasa tidak nyaman karena hanya memakai bathrobe, Nayara tidak terlalu memedulikannya. Sesekali matanya melirik ke arah Zevian yang masih tertidur di sampingnya, dengan wajah yang tampak sangat rapuh.

“Maaf... ini semua karena aku,” bisik Nayara lirih, seolah menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang terjadi.

Tak lama setelah itu, Aditya kembali membawa sebuah baskom berisi air di dalam mangkuk kaca kecil dan sebuah handuk kecil. Di belakangnya, seorang pria masuk membawa tas dokter, siap membantu.

“Obati Zevian dulu,” ujar Aditya tegas. Joni mengangguk mengiyakan, lalu berjalan menuju Zevian yang terbaring lemah di atas ranjang. Nayara kini duduk di samping, menyandar, masih terpaku dan tak mampu berkata apa-apa, hatinya dipenuhi rasa syok dan cemas.

Tanpa diduga, Aditya duduk di tepi ranjang, tepat di ujung kaki Nayara. Dengan hati-hati, dia mulai membersihkan luka di kaki Nayara tanpa ragu, membuat Nayara yang sedang sedikit melamun tersentak kaget.

“Aku hanya ingin membersihkan lukamu. Kamu pasti tahu, ini bisa jadi infeksi kalau tidak dibersihkan. Jadi tahan sedikit, ya,” ucap Aditya sambil menepuk-nepuk lembut kaki Nayara, kemudian membasuh lukanya dengan air hangat yang tadi dibawanya.

"Argh... Sakit..." Nayara merintih pelan, menahan sakit yang amat sangat. Meski dia berusaha keras menahan air matanya, namun akhirnya tangisnya pecah juga, suara isaknya kecil namun tidak bisa dibendung.

"Tahan ya... Sedikit lagi," ujar Aditya berusaha menenangkan.

Di sisi lain, Joni dengan penuh konsentrasi menangani Zevian yang masih tidak sadar. Dengan sabar dan profesional, dia membersihkan luka di tangan Zevian, mencabut beberapa pecahan kaca yang menancap di kulitnya, lalu mengobati luka itu dengan teliti. Proses itu memakan waktu cukup lama. Setelah semuanya selesai, Joni menghela napas panjang, tampak lega.

“Tidak apa-apa, jangan khawatir. Zevian akan baik-baik saja. Kamu berhasil menghentikan pendarahannya tadi, jadi dia tidak kehabisan darah,” kata Joni sambil tersenyum lembut. Dia lalu mengambil perban dan obat merah, kemudian mulai mengobati luka di kaki Nayara yang sudah dibersihkan oleh Aditya.

Nayara kembali meringis kesakitan saat obat merah itu menyentuh luka di telapak kakinya, namun dia berusaha kuat demi suasana yang sedang genting ini.

“Sudah selesai... lain kali katakan pada Zevian, kalau bertengkar jangan sampai merusak barang. Kebiasaannya memang sulit berubah, ya, Aditya?” ujar Joni sambil terkekeh, mencoba meredakan suasana yang dari tadi tegang.

“Sudah biasa... sifatnya memang tidak akan berubah, meskipun matahari tiba-tiba berubah jadi bongkahan es,” jawab Aditya dengan senyum tipis, ikut tertawa ringan.

“Wah... Galileo mungkin akan kecewa mendengar hal ini. Bayangkan saja, ia bahkan sampai diadili oleh gereja karena menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, namun kini masih ada yang mempercayai hal semacam itu.” ujar Joni sambil terkekeh kecil.

“Mungkin memang kita harus bersabar menunggu perubahan.” ujar Aditya yang membuat Joni mengangguk pelan penuh makna tersirat.

“Kita butuh waktu untuk melihatnya. Oh ya, aku sudah selesai dan harus kembali. Ini sudah cukup larut,” ucap Joni sambil mengemasi peralatan medisnya, diikuti anggukan dari Aditya.

“Aku akan mengantarmu. Nayara, tidak masalah kan kalau kamu tidur dengan bathrobe dulu? Aku akan carikan pakaian lain untukmu nanti. Tapi untuk sementara, pakai itu saja,” ujar Aditya pada Nayara yang sudah tampak lebih tenang.

Nayara hanya mengangguk pelan tanpa memberi respon berlebihan. Aditya mengangguk, lalu keluar dari kamar, menutup pintu rapat, membiarkan sahabat dan calon istrinya itu beristirahat.

Setelah pintu tertutup, Nayara melirik ke arah Zevian yang masih terbaring di sana. Pria itu tertidur tanpa pakaian, hanya mengenakan celana pendek yang tadi dipakaikan Aditya. Untuk pertama kalinya, Nayara merasakan sakit yang dalam melihat pria itu terluka. Padahal seharusnya dia biasa saja, tapi air matanya menetes pelan saat memandang kondisi Zevian. Dia terluka, dan itu semua karena dirinya.

1
Ramapratama
kupikir bakal 🤣
Araya
akhirnya sah😆
Ramapratama
benerr Bene gak tau bersyukur jadi cewek
Ramapratama
loh bab 3 6 ya ada 2? salah gak sih? kaya ke ulang?
Araya: loh iya baru sadar sangking terhayut nya gak sasar kalau double
total 2 replies
Dimas Ferdiansyah
kenapa jef tak jujur sama nay kl dia sangan cinta dan sayang sama nay seharusnya jef jujur sama nay tentang perasaanya agar nay tau kl dia sangat mencintai. nay
Ramapratama
mulut nya 😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!