Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Dilema Nayara
…Nayara POV…
Aku terbangun oleh suara gaduh yang tak kukenal. Cahaya pagi menembus jendela dengan tajam, memantul di lantai marmer dan menyorot wajahku hingga menyilaukan mata. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruang yang tiba-tiba terasa asing, aroma linen ranjang dan wangi parfum ringan yang entah dari mana bercampur menjadi satu.
Dan kemudian sosok itu muncul di penglihatanku.
Zevian.
Pria itu berdiri membelakangiku, tubuhnya kaku, tegap, seperti bayangan malam yang enggan pergi. Bahunya luas, siluetnya menutupi sebagian cahaya di belakangnya, memberi kesan dominasi yang sulit kuabaikan. Saat dia berbalik, mata itu—gelap, tajam, biasanya menahan semua emosi—kali ini menelanjangiku dengan amarah yang nyaris bisa ku rasakan di tulang.
“Akhirnya kau bangun juga,” suaranya rendah, dingin, bergema di dinding kamarku yang seketika terasa asing, hampir menekan dada. Aku terduduk di atas ranjang, menahan tubuhku yang gemetar, membetulkan posisi, merasa canggung.
Gugup.
“Ada apa?” tanyaku, suara serak meski aku tahu ini bukan percakapan biasa. Zevian melangkah mendekat, perlahan tapi pasti, langkahnya mantap, seolah setiap gerakannya sengaja menutup jalan mundur yang bisa kulakukan.
“Kau mempermalukan aku, di depan semua orang,” ujarnya, dan nada itu membuat jantungku berdetak cepat, hampir terasa di tenggorokan.
“Pertunangan itu berjalan lancar,” ucapku membela diri, suara agak gemetar. “Aku melakukan semuanya sesuai permintaanmu,” lanjutku, mencoba menenangkan diri meski tangan dan kakiku masih kaku.
“Tapi ekspresimu tak bisa kau kendalikan. Tatapanmu… seperti korban yang dipaksa menikah. Apa kau tahu apa artinya bagi reputasiku? Bagi keluargaku?” balasnya, bibirnya sedikit menekuk, wajahnya menegang, dan setiap kata terasa seperti belati yang menusuk udara di antara kami.
“Aku tidak bisa berpura-pura bahagia, Zevian. Kalau kau malu, batalkan saja semuanya,” sahutku cepat, menelan ludah, berusaha menguasai suaraku yang bergetar. Tatapan Zevian menggelap, matanya seakan menembus seluruh ruang dan hati. Dia melangkah lebih dekat, begitu dekat sampai aku bisa mencium aroma tubuhnya—tajam, maskulin, sedikit wangi aftershave mahal yang membuat dada terasa sesak. Dingin. Mewah. Menekan.
“Apa kau pikir aku akan melepaskanmu semudah itu?” desisnya, suara rendah, menggetarkan udara di antara kami.
Aku menatapnya tajam, berusaha menahan guncangan di dadaku.
“Jika kau tidak suka sikapku, kenapa tetap memaksa pertunangan ini terjadi?” ujarku, nadaku sedikit meninggi. Matanya menyipit, tatapannya menusuk hingga rasanya seperti menimbang setiap kata yang keluar dari bibirku.
“Karena kau terlalu bodoh untuk menyadari kalau dunia ini tidak pernah memberi ruang bagi perempuan keras kepala sepertimu untuk memilih,” ucapnya datar, tajam, namun nadanya membawa getar kekuasaan yang membuat udara di sekitarku terasa berat, hampir sulit dihirup.
“Kalau begitu aku lebih baik sendiri! Aku lebih baik pergi daripada terus bersama pria manipulatif sepertimu!” sergahku, suara meninggi, bergetar di dada. Zevian bergerak cepat. Tiba-tiba tangan kirinya menabrak dinding tepat di samping kepalaku—bunyinya keras, memantul di ruang sempit, membuat tubuhku tersentak dan jantungku melonjak.
“Jangan ucapkan kata ‘pergi’ jika kau tidak siap menerima konsekuensinya,” katanya dengan suara nyaris berbisik, tapi tatapan matanya begitu intens, menekan dadaku hingga sulit bernapas. “Aku bukan pria yang akan membiarkan milikku begitu saja pergi,” lanjutnya, setiap kata terasa menahan udara di sekitarku, membuat tubuhku membeku.
Aku bisa merasakan detak jantungku—di leher, di dada, di ujung-ujung jari—seperti menari tak teratur. Tapi lidahku tak mau kalah.
“Aku bukan milik siapa pun, Zevian. Bahkan jika kau mengikatku dengan cincin, kau tidak pernah benar-benar memiliki hatiku,” ujarku, suaraku gemetar tipis, tapi tekadku mencoba menahan diri. Ucapan itu seakan menusuk ego Zevian; untuk pertama kalinya, aku melihat rahangnya mengeras. Namun dia tidak mundur. Sebaliknya, dia menunduk lebih dekat lagi, napasnya nyaris menyentuh kulit pipiku, hangat dan tajam, bercampur wangi aftershave mahal yang menusuk hidungku.
“Kalau begitu, biarkan aku menghancurkannya dulu… sampai kau sadar hanya aku yang bisa membuatnya utuh.” Ucapannya seperti petir menggema di kepalaku, membakar setiap sudut pikiran yang mencoba tenang.
Aku mengatupkan mulut. Bukan karena takut, tapi karena aku tak tahu harus menanggapi pria sekeras itu dengan kata-kata apa. Tubuhku terjepit antara dinding dingin dan tubuhnya yang tinggi, kuat. Tangannya masih menahan di sisi kepalaku, menciptakan ruang sempit yang membuatku sulit bernapas—bukan sekadar posisi, tapi tekanan emosional yang menggantung di udara seakan menekan paru-paruku.
“Aku tidak takut padamu,” ucapku pelan tapi tegas. Suara itu nyaris bergetar, namun aku mencoba berdiri pada ketegasan terakhir yang kupunya. Zevian tertawa pendek, getir, suaranya seperti mengejek keberanian yang kubawa, bergema di kepala.
“Kau selalu terlalu pandai berbohong, Nayara. Bahkan pada dirimu sendiri,” ucapnya, tatapannya menusuk, membuatku terdiam sejenak, mematung di tengah ruangan.
“Kau bukan Tuhan yang bisa mengatur hidupku sesukamu!” balasku, meskipun nadaku bergetar karena ketegangan yang mulai merambat.
“Oh tentu. Aku bukan Tuhan, tapi dunia tak pernah menanyakan pendapatmu saat melemparmu ke dalam pelukanku, bukan? Sebanyak apapun kau menolak, dunia tetap berpihak pada laki-laki, tanpa sedikitpun bertanya pendapat perempuan,” ucapnya, mendekat lebih jauh hingga jarak wajah kami hanya sehela napas. Panas tubuhnya hampir menempel padaku, dan jantungku berdegup tidak karuan.
Aku menoleh, mencoba menghindar, tapi daguku ditahan paksa oleh jarinya. Sentuhan itu tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuatku tak bisa mengelak. Matanya menatap mataku—gelap, dingin, mendalam… dan aku gemetar, seluruh tubuhku kaku menahan getaran emosi.
“Lepaskan…” bisikku, suara nyaris tersedak.
“Kenapa? Karena kau takut padaku? Atau karena kau takut pada diri sendiri yang sebenarnya ingin menyerah di hadapanku?” Suaranya dalam, penuh dominasi, menembus setiap lapisan pertahanan hatiku.
Pernyataan itu mengguncangku, membuatku ingin menamparnya—atau menampar diriku sendiri karena sejenak, aku tak tahu lagi siapa yang benar.
“Karena aku muak denganmu!” bentakku, mencoba mendorong dadanya. Tapi Zevian tidak bergeming. Justru tangannya menggenggam pergelangan tanganku, menahan dengan cukup kuat hingga aku tak bisa bergerak.
“Kau bisa membenci seribu versi diriku, Nayara. Tapi tubuhmu tidak bisa berbohong,” suaranya rendah, seperti ancaman yang manis, mengguncang setiap inci keberanianku.
“Kau gila…” Aku menggeleng cepat, panik mulai menyeruak di tiap ujung sarafku.
“Aku… gila?” ucap Zevian, matanya liar sejenak, rahangnya mengeras seperti bertarung dengan sisi gelap yang tak ingin dilepas. Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku lebih kuat, hingga aku meringis, tetapi ia tak peduli. Nafasnya kasar, bibirnya bergetar, menahan amarah yang tak bisa diredam lebih lama.
“Jangan paksa aku untuk jadi pria yang kau benci, Nayara,” gumamnya rendah, suara serak namun tegas, menggema di telingaku, membuat bulu kuduk merinding.
Tapi itu bukan sekadar peringatan… atau mungkin juga ancaman yang menempel di udara, membuat setiap inci ruangan terasa berat dan menekan.
Detik berikutnya, bibirnya menabrak milikku—kasar, terburu-buru, dan membuatku terkesiap. Bukan ciuman yang hangat atau penuh kasih, tapi luapan emosi dan frustasi yang membakar, meninggalkan luka yang tak terucap. Lidahku menahan kaget, jantungku seakan ingin meloncat keluar dari dada.
Aku mencoba mendorongnya, menepisnya, tapi semakin aku melawan, genggamannya semakin kuat. Nafasku tercekat, paru-paruku terasa sesak, tubuhku bergetar hebat, rasa takut merambat dari ujung kaki hingga tengkuk, membuat seluruh syaraf ku menegang.
“Zevian… cukup apa yang kamu lakukan!” seruku, suara nyaris pecah, hampir menangis.
Aku terjebak. Dalam mimpi, dalam kekuasaannya, dalam kenyataan yang tak bisa kusebut cinta… tapi juga tak bisa kusebut benci. Setiap detik terasa seperti berjam-jam.
Namun suaraku seolah tenggelam di telinganya. Ia menunduk ke leherku, napasnya panas dan membakar kulitku. Aku bisa merasakan tangannya mulai bergerak di sekitar tubuhku—tidak kasar, tapi terlalu dominan, dan itu membuatku benar-benar panik.
“Lepaskan aku!!” teriakku lagi, suara pecah, hampir serak, dan…
Kriiinggg!
Tiba-tiba, suara alarm keras meledak di telingaku, memecah kesunyian pagi dini hari.
Mataku terbuka lebar, jantungku berdegup tak beraturan. Nafasku tercekat dan tersengal, dada naik turun dengan cepat. Aku terbaring di atas ranjang, keringat dingin membasahi pelipis dan punggungku. Tanganku bergerak tanpa sadar, menepis udara seolah masih ingin mendorong Zevian yang menahanku dalam mimpi.
Itu hanya mimpi.
Namun rasa takut, sesak, dan bekas tekanan emosionalnya terasa nyata… terlalu nyata. Aku menutup wajah dengan tangan, menarik napas panjang tapi gemetar, mencoba menenangkan diri. Lalu, dengan tangan yang masih gemetar, aku menatap jam di samping tempat tidur.
Pukul 04.00 pagi. Alarm berbunyi tepat waktu. Tapi mimpi itu—Zevian dalam mimpiku—masih menatapku di benak, matanya gelap, genggamannya kuat, aura dominasinya masih terasa di setiap serat tubuhku.
Jantungku masih berdetak kencang… bukan hanya karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih dalam mulai menyelinap ke hatiku: rasa penasaran yang menakutkan. Apakah itu hanya mimpi? Ataukah peringatan dari sesuatu yang nyata?
Aku terbaring di tempat tidur, tubuh masih bergetar setelah terbangun dari mimpi yang membekas itu. Kamar gelap, hanya diterangi cahaya redup layar ponsel di meja samping. Bayangan-bayangan malam menari samar di dinding, menguatkan rasa sunyi yang menekan dada.
Tanganku tanpa sadar meraih pergelangan, menyentuh cincin yang semalam ia pasang di jariku—cincin yang kuberikan dengan penerimaan, bukan dari hati penuh cinta, tapi karena rasa kasihan dan tekanan yang tak tertahankan.
Aku menatap cincin itu, tatapanku kosong, bayangan Zevian masih menghantui pikiranku. Ekspresi marahnya, genggaman tangannya yang kasar, ciumannya yang bukan ciuman kasih sayang, tapi tuntutan yang berat… semuanya terasa hidup kembali.
Di sudut hati, aku bertanya, “Apa ini yang sebenarnya aku inginkan? Ataukah hanya jebakan yang kubuat untuk diriku sendiri?”
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan hati yang bergejolak, tapi jawabannya belum kutemukan. Tubuhku menegang, tangan gemetar, tetapi mata menatap langit-langit kamar, berharap malam cepat berlalu, pagi segera datang, membawa ketenangan yang kucari.
Setelah mimpi buruk yang terasa begitu nyata itu, akhirnya Nayara kembali terlelap, meski napasnya masih tersengal sesekali, tubuhnya masih bergetar halus, seakan menahan bekas bayangan Zevian di mimpinya.