Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!
Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!
Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.
Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?
Update setiap 2 hari satu episode.
Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Bayangan mengintai Jakarta
Pagi menyapa Villa Starlight dengan cahaya lembut keemasan. Kabut tipis masih bergelayut di pepohonan pinus di kejauhan, sementara burung-burung kecil berkicau riang dari ranting taman belakang. Aroma tanah basah setelah embun membuat udara terasa segar menusuk paru-paru.
Di lantai dua, tirai kamar Lyra bergoyang perlahan, menari bersama semilir angin pegunungan yang menyelinap dari jendela terbuka. Suasana begitu tenang, hanya terdengar jam antik berdetak di meja sudut.
" Masuk Zen"
Di sisi ranjang, layar transparan sistem muncul perlahan seperti kabut yang membentuk huruf.
(Ding, Hadiah harian: +10 poin. Keterampilan baru: Etika Dasar.)
Lyra membuka mata malas, bulu matanya bergetar. Rambut hitam panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah. Ia bangkit duduk, selimut sutra krem melorot hingga sebatas pinggang. Pandangannya jatuh pada layar itu.
“Serius, Zen? Hanya sepuluh poin? Dan… keterampilan etika dasar?” suaranya serak pagi, tapi penuh protes. “Kau bercanda?”
Suara Zen masuk ke dalam pikirannya, dalam nada ringan yang seperti menahan tawa.
(Kau tidak sadar, ya? Kau sudah menjadi wajah publik sekarang. Artikel bisnismu mendominasi berita, video konferensimu viral, bahkan investor asing sudah menjulukimu Lady Azure. Semua mata memperhatikanmu. Hadiah terbaik bukan kekuatan baru… tapi kemampuan menjaga image-mu.)
Lyra mengusap wajahnya, lalu menutupinya dengan bantal. “Aku pengusaha, bukan murid TK yang belajar sopan santun.”
Zen menimpali dengan cepat, kali ini nadanya agak tajam.
(Justru itu. Bahkan ratu bisa jatuh kalau lupa etika. Kau harus menjaga cara bicara, senyum, bahkan cara menolak sesuatu. Ingat, Lyra, orang sering kali tidak jatuh karena kekuatan lawan, tapi karena satu kata yang salah tempat.)
Lyra mengangkat bantal dari wajahnya, menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran kayu jati. Diam beberapa detik, lalu tertawa kecil. Jemarinya mengacak rambutnya sendiri dengan santai. “Dasar sistem… mungkin kau benar. Tapi tetap saja, ‘Etika Dasar’? Kedengarannya konyol.”
Zen terdengar datar tapi mengandung peringatan.
(Konyol, tapi mungkin menyelamatkanmu suatu hari nanti. Kau akan mengingat kata-kata ini ketika saatnya tiba.)
Lyra mencondongkan tubuh ke tepi ranjang, menurunkan kakinya menyentuh karpet bulu lembut yang hangat. Cahaya pagi menimpa wajahnya, memperlihatkan sorot mata yang masih malas, namun terselip tekad.
Ia tersenyum tipis. “Baiklah, Zen. Kalau memang etika jadi senjata, mari kita lihat… seberapa tajam senjata itu di tangan seorang Lady Azure.”
...----------------...
Setelah mandi air hangat yang mengusir sisa kantuk, Lyra berdandan sederhana namun memikat. Ia memilih kemeja putih satin dengan potongan elegan, dipadukan celana panjang high-waist hitam yang menonjolkan siluet rampingnya. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai lembut, hanya disisir rapi dengan sedikit kilau alami. Riasannya tipis: foundation ringan, sentuhan blush peach di pipi, eyeliner tipis, dan lipstik nude yang membuat senyumnya semakin memikat.
Kecantikannya tidak mencolok, tapi justru memancarkan pesona alami seorang wanita yang tahu dirinya berharga.
Begitu turun ke ruang makan, aroma nasi uduk hangat dan sayur asam menyeruak, bercampur dengan wangi roti panggang. Meja marmer panjang dipenuhi hidangan pagi, cahaya matahari dari jendela kaca besar menyorotinya dengan hangat.
Bi Asih, wanita paruh baya dengan kebaya sederhana, bergegas menghampiri sambil membawa sendok sayur. “Nona, sarapan dulu. Biar energinya penuh. Jangan kebanyakan kerja, ya.”
Bi Reni menyusul, membawakan piring lengkap. “Hari ini kami buatkan favoritmu, sayur asam kampung. Katanya Nona Lyra kangen masakan rumah.”
Lyra tersenyum lembut, duduk dengan anggun. “Terima kasih, Bi. Kalian selalu tahu caranya membuat rumah ini terasa… rumah.”
Roy berdiri tegak di dekat pintu, setelan abu-abunya rapi, ekspresi datarnya tak pernah berubah. Suaranya terdengar tenang tapi mekanis. “Jadwal padat hari ini. Sarapan penting agar Lady Azure tetap fokus sepanjang hari.”
Di sisi lain, Serena dengan kacamata tipis menatap data di tabletnya, tapi suaranya tetap tegas. “Nutrisi seimbang penting untuk menjaga performa otak. Jangan lewatkan jus jeruk itu, Lady.”
Lyra menoleh, menatap mereka sambil mengangkat alis. “Kalau kalian terus mengawasi sarapanku seperti ini, aku bisa merasa seperti anak kecil.”
Kai, yang berjaga di sisi ruangan dengan tangan bersedekap, tersenyum tipis. “Anak kecil paling berbahaya di negeri ini, Lady.”
Tawa ringan terdengar. Elias, yang duduk lebih jauh dengan postur santai, ikut menimpali. “Sejujurnya, aku belum pernah melihat orang yang bisa menegosiasikan kontrak triliunan, tapi masih dipaksa minum jus jeruk setiap pagi.”
Lucian, si pengawal berwajah dingin dengan rambut pirang pucat, menyambung datar, “Kalau Lady Azure tidak minum jus, aku sendiri yang akan memastikan gelas itu kosong. Entah dengan cara baik atau tidak.”
Lyra hampir tersedak karena menahan tawa. “Kalian ini… terlalu serius untuk hal sepele.”
Zane yang sejak tadi berdiri dengan ekspresi kalem akhirnya angkat suara, nadanya sedikit bercanda. “Tugas kami memastikan keamanan, termasuk mencegah Lady kelaparan. Itu juga ancaman bagi negeri ini, bukan?”
Tawa pecah sekali lagi.
Di tengah kehangatan itu, Lyra menyuapkan sendok nasi uduk ke mulutnya, lalu melirik semua orang satu per satu. Senyumnya mengembang, hangat. “Kalau begini caranya, aku tak perlu lagi mencari keluarga. Kalian sudah cukup.”
Suasana sejenak hening bukan karena canggung, tapi karena setiap orang di ruangan itu menyadari kebenaran kata-katanya.
...----------------...
Beberapa jam kemudian, Lyra tiba di Imperial Tower, gedung pencakar langit kebanggaannya. Lift kaca yang melesat naik menampilkan panorama Jakarta dari ketinggian lampu-lampu jalanan, kepadatan kota, dan siluet gedung-gedung lain yang tak ada satupun setinggi miliknya.
Pintu lift terbuka langsung ke lantai tertinggi: ruang rapat utama, sebuah ruangan megah dengan dinding kaca melingkar yang menampilkan pemandangan kota. Ratusan orang hadir, sebagian duduk langsung di kursi hitam panjang, sebagian lagi muncul sebagai hologram transparan dari cabang-cabang perusahaan di seluruh negeri bahkan luar negeri.
Roy berdiri di sisi panggung, menayangkan grafik tunjangan dan bonus di layar raksasa. Suaranya datar, mekanis, tapi jelas:
“Laporan akhir tahun menunjukkan kenaikan laba 18% dari Aurora Plaza, 11% dari sektor teknologi Innovatek, dan stabilitas dari Imperial Grand Hotel. Proyeksi tunjangan dan bonus dapat diberikan tanpa mengganggu kas inti.”
Serena berdiri dengan tenang di sisi lain, membaca laporan anggaran. “Anggaran cadangan masih tersisa 6,3 triliun. Cukup untuk bonus, sekaligus menyiapkan dana investasi awal tahun depan. Risiko rendah.”
Suasana ruangan hening, semua mata akhirnya beralih pada sosok yang duduk di kursi utama: Lyra.
Ia berdiri perlahan, melangkah ke depan panggung. Kemeja putihnya tampak sederhana, tapi sorot matanya penuh kuasa. Saat ia membuka suara, nada tenangnya justru membuat semua orang menahan napas.
“Akhir tahun adalah waktunya kita melihat kembali kerja keras semua orang. Tanpa kalian, Aurora Plaza, Imperial Grand, Luminare, Innovatek, dan seluruh perusahaan kita tidak akan pernah mencapai titik ini.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke hati semua orang.
Layar besar menampilkan grafik laba. Lyra menatapnya sejenak, lalu kembali menoleh pada hadirin.
“Kita tumbuh cepat. Tapi pertumbuhan bukan alasan untuk lupa. Aku ingin setiap cabang menambahkan program kesejahteraan karyawan: subsidi kesehatan, bantuan pendidikan anak, dan asuransi keluarga. Perusahaan besar bukan hanya mesin uang, tapi keluarga besar yang harus saling menopang.”
Beberapa kepala mengangguk, beberapa wajah terkejut mendengar keputusan seberani itu.
Kemudian, Lyra kembali berbicara dengan nada tegas namun hangat.
“Karena itu, aku putuskan… setiap karyawan akan mendapatkan bonus 110% gaji, serta tunjangan tambahan untuk keluarga. Mulai berlaku bulan ini.”
Sejenak ruangan hening lalu ledakan tepuk tangan dan seruan bahagia terdengar. Beberapa karyawan yang hadir langsung berdiri, wajah mereka bercahaya. Bahkan hologram dari cabang-cabang jauh terlihat menunduk penuh rasa hormat.
Di tengah riuh itu, seorang manajer muda dari cabang Surabaya memberanikan diri berdiri. Suaranya terdengar gugup, tapi tulus.
“Lady Azure… jika boleh usul, mungkin perusahaan juga bisa mengadakan program pelatihan digital untuk anak-anak karyawan. Biar mereka punya masa depan lebih baik. Itu akan membuat kami bangga, karena perusahaan bukan hanya memikirkan kami… tapi juga keluarga kami.”
Suasana ruangan langsung hening. Semua menoleh ke arah Lyra.
Lyra menatap manajer muda itu dengan sorot mata tajam tapi penuh penghargaan. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Itu ide yang sangat baik. Aku suka cara berpikirmu. Mulai bulan depan, buatkan aku proposal lengkap, dan kau akan memimpin proyek itu.”
Wajah manajer itu memerah, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Lady Azure!”
Gemuruh tepuk tangan kembali pecah, kali ini lebih hangat.
Saat rapat berakhir, notifikasi dari grup internal perusahaan membanjiri layar tablet: emoji terima kasih, doa, dan kalimat-kalimat penuh rasa syukur.
Beberapa karyawan muda yang masih takjub akhirnya berani bersuara ketika Lyra berjalan keluar ruangan.
“Kerja di perusahaan lain bonus besar, ya sudah. Tapi di sini…” salah satu berbisik sambil senyum-senyum, “…bosnya secantik malaikat. Rasanya betah lembur tiap hari.”
Temannya menahan tawa. “Hei, hati-hati. Kalau kedengaran Roy, bisa habis kau.”
Lyra yang lewat di dekat mereka hanya melirik sambil tersenyum tipis, jelas ia mendengar. Keduanya langsung menunduk dalam-dalam dengan wajah merah padam, tapi setelah ia pergi, mereka malah saling dorong kecil sambil tertawa.
Saat Lyra meninggalkan gedung, banyak karyawan menyapanya dengan senyum tulus.
“Terima kasih, Lady Azure!”
“Semoga sukses selalu, Nona Lyra!”
“Kami akan selalu mendukungmu!”
Lyra hanya membalas dengan anggukan tenang, langkahnya ringan, tapi hatinya hangat.
Zen berbisik dalam pikirannya, suara lembut penuh keyakinan.
(Inilah kekuatan yang tidak bisa dibeli, Lyra: kepercayaan. Kau telah mengikat hati mereka. Dan kepercayaan, sekali kau genggam, akan lebih kuat dari emas manapun.)
...----------------...
Siang itu, Mall Crystal Avenue dipenuhi cahaya lampu gantung raksasa dan aroma parfum mahal. Lyra berjalan anggun di antara butik-butik mewah, ditemani dua pengawalnya yang menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Ia mengenakan blouse satin putih dengan celana panjang high-waist hitam, riasan simpel namun elegan, membuat banyak mata menoleh tanpa ia berusaha.
Di tengah atrium, terdengar suara cempreng yang dibuat-buat.
“Oh, lihat siapa ini,” Lina bersuara keras, melangkah maju dengan gaun merah muda mencolok yang terlalu ramai untuk siang hari. Di sampingnya, tiga orang gadis tertawa cekikikan: Nadine, putri pengusaha properti kelas menengah; Cynthia, anak pengacara terkenal; dan Maya, gadis manja dari keluarga pejabat daerah.
Lina menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat. “Si pengusaha kecil yang sok kaya. Katanya punya villa satu, ya? Hahaha… pantesan masih belanja sendirian.”
Nadine menimpali dengan senyum sinis. “Dia bahkan tidak bisa beli satu tas di sini. Lihat, semua butik premium tidak ada yang berani dia masuk.”
Cynthia menambahkan, pura-pura berbisik tapi suaranya dibuat keras. “Paling juga nebeng sama laki-laki. Perempuan seperti ini kan cuma bisa manja, bukan berdiri sendiri.”
Tawa keras pecah. Beberapa orang yang lewat berhenti melirik.
Lyra berdiri tegak. Mata hitamnya yang tenang berkilat, menatap mereka satu per satu. Senyumnya tipis, bukan marah, tapi seolah berkata: kalian tak ada artinya. Ia tidak membalas satu kata pun. Hanya melangkah pelan melewati mereka, seolah tawa mereka hanyalah dengungan serangga.
Lina mendengus kesal karena diabaikan. “Hei! Paling kalau keluar dari mall ini, naik mobil pinjaman, kan?” teriaknya keras-keras, membuat pengunjung lain menoleh.
Namun Lyra tak berhenti. Tumit sepatunya berdenting ringan di lantai marmer, semakin menjauh dari mereka.
Begitu keluar mall, Lyra masuk ke mobil hitamnya. Roy sudah menunggu di kursi depan, sementara Serena memantau dari layar hologram kecil.
Lyra menyilangkan kaki, lalu membuka tablet ringkasnya. Suaranya datar, tanpa emosi. “Roy, catat nama-nama mereka.”
Roy mengangguk. “Lina Kandiswara, Nadine Surya Putra, Cynthia Arman, Maya Dewantara.”
“Bagus,” jawab Lyra tenang. “Siapkan hadiah kecil untuk keluarga mereka. Nadine punya ayah yang baru saja berutang untuk proyek properti, kan? Pastikan utangnya membengkak lebih cepat.”
Roy menatap data hologram. “Bisa diatur. Dalam seminggu, bank akan menagih lebih keras.”
Lyra melanjutkan. “Cynthia, ayahnya seorang pengacara. Cari kasus lama yang bisa diganggu agar reputasinya goyah.”
Serena ikut menyahut dengan nada analitis. “Ada dua klien lama yang pernah mengeluh soal penyalahgunaan dana. Bisa diekspos di media.”
Lyra tersenyum samar. “Lakukan. Lalu, Maya… ayahnya pejabat. Cari tahu kontrak tender apa yang sedang dinegosiasikan. Pastikan ada tawaran lebih baik dari pihak lain sehingga dia kehilangan peluang besar.”
Roy menjawab dengan suara datar. “Perintah diterima. Eksekusi dimulai malam ini.”
Lyra bersandar, matanya dingin menatap jalanan kota. “Pastikan mereka tahu siapa yang mereka hina… tanpa pernah tahu dari mana asalnya.”
Zen berbisik lembut dalam pikirannya. (Kau tidak pernah membalas dengan kata-kata, Lyra. Kau membalas dengan dunia itu sendiri. Dan itu jauh lebih kejam.)
Senyum Lyra semakin tipis, hampir tak terlihat. “Biarkan mereka belajar. Lidah mereka murah, tapi harga yang harus dibayar keluarganya… tidak akan ringan.”
...----------------...
Sore itu, restoran Crystal Étoile dipenuhi tamu-tamu bergaun elegan. Lampu gantung kristal menjuntai di langit-langit, memantulkan cahaya hangat ke dinding kaca yang menghadap jalanan ibu kota. Musik piano lembut mengisi udara, menambah kesan mewah.
Pintu kaca otomatis terbuka, dan langkah Lyra masuk ke ruangan.
Namun bukan hanya dirinya yang membuat orang-orang menoleh. Tujuh pengawalnya mengikuti dalam formasi longgar, bagaikan bayangan yang elegan namun tak terbantahkan karismanya.
Begitu mereka masuk, kegaduhan kecil langsung terdengar. Para tamu berbisik-bisik, ada yang buru-buru mengambil ponsel untuk mengabadikan.
“Itu Lady Azure, kan?”
“Cantik sekali… dan pengawalnya seperti model semua!”
“Rasanya restoran ini tiba-tiba jadi catwalk.”
Lyra tetap berjalan tenang, tak terpengaruh oleh tatapan. Aura dingin namun anggunnya justru membuat suasana semakin hening di setiap langkahnya.
Di sudut ruangan, Hera dan Gea yang sudah menunggunya spontan berdiri.
Hera, dengan rambut coklat ombre bergelombang, mengenakan mini dress merah marun yang ceria. Ia memang tipe yang penuh energi, matanya berkilau begitu melihat Lyra. “Lyra!” serunya keras, tak peduli orang-orang menoleh.
Sementara Gea, sahabat yang lebih pemalu, mengenakan blouse putih dengan rok pastel biru. Rambut hitamnya dikuncir setengah, wajahnya merona begitu banyak mata menoleh ke arah mereka. “Aduh, Hera… jangan berisik, semua orang lihat ke sini,” bisiknya gelagapan, meski senyum kecil tetap menghiasi wajahnya.
Begitu Lyra sampai di meja mereka, Hera langsung memeluknya erat tanpa peduli formalitas. “Kau benar-benar sulit ditemui sekarang!”
Gea ikut mencubit lengan Lyra sambil cemberut manja. “Kami kira kau sudah lupa teman lama.”
Lyra tersenyum hangat, memeluk keduanya bergantian. “Mana mungkin. Kalian tahu aku selalu sibuk, tapi kalian tetap ada di pikiranku.”
Pengawal Lyra mengambil posisi di dekat meja, berdiri tegak tapi tak mengganggu. Para tamu lain masih mencuri pandang, seolah adegan itu seperti potongan film yang nyata.
Mereka bertiga kemudian duduk. Hera mulai heboh menceritakan gosip Jakarta, tangannya sering kali bergerak riang seolah tak bisa diam. Gea sesekali menyelutuk, tapi sering salah tingkah sendiri terutama ketika tanpa sengaja melirik ke arah Elias yang tersenyum ramah padanya, membuat pipinya makin merah.
Obrolan mengalir ringan: tentang kasus viral di media sosial, rumor politik yang menggelikan, sampai trend fashion terbaru. Lyra mendengarkan sambil sesekali tertawa, wajahnya yang biasanya tegas berubah lembut.
Menjelang pulang, Lyra mengeluarkan kotak kecil beludru hijau dari tasnya. “Ini untuk kalian.”
Begitu kotak dibuka, gelang giok berkilau di dalamnya memantulkan cahaya lampu kristal. Hijau muda dengan urat putih lembut, jelas bukan giok biasa.
Hera menutup mulutnya, matanya membesar. “Lyra… ini giok langka, kan? Astaga, kau serius?”
Gea menelan ludah, hampir menjatuhkan sendoknya. “Ya Tuhan… ini pasti mahal sekali. Aku… aku takut memakainya.”
Lyra hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh ketulusan. “Anggap saja pengingat kalau aku selalu ada untuk kalian. Kalian sahabatku, dan itu tidak akan berubah.”
Mata Hera dan Gea memerah. Mereka tahu Lyra bukan lagi sekadar sahabat lama ia kini adalah seseorang yang berdiri di puncak dunia bisnis, namun masih menoleh ke mereka.
Hera menggenggam tangan Lyra erat. “Aku bangga sekali padamu.”
Gea, dengan suara lirih tapi jujur, menambahkan, “Aku senang kau masih… Lyra yang dulu.”
Dan untuk sesaat, di bawah lampu kristal yang berkilau, mereka bertiga tertawa lagi seperti dulu, seakan tidak ada jarak di antara dunia mereka.
...----------------...
Setelah rapat malam itu selesai, Lyra memutuskan untuk pulang lebih cepat. Mobil hitam panjang dengan kaca gelap melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berkelip, hujan tipis menetes di kaca, menciptakan bayangan redup.
Di dalam mobil, Lyra duduk bersandar, Zen masih berbisik lembut di pikirannya. (Kau terlalu tenang. Padahal tadi, aku bisa merasakan anomali yang sama di dekat kota ini. Seperti... sesuatu menarik perhatian kita ke arah tertentu.)
Lyra hanya tersenyum samar. “Kalau memang takdir ingin mempertemukanku dengan pelaku… aku tidak akan menolak.”
Roy yang duduk di depan menoleh sedikit, nada suaranya mekanis tapi sarat kewaspadaan. “Sensor menangkap aktivitas mencurigakan di jalan alternatif menuju villa. Lady, izinkan saya periksa lebih dulu.”
Namun Lyra mengangkat tangan ringan. “Tidak. Kita lanjutkan. Aku ingin melihat sendiri.”
Beberapa menit kemudian…
Mobil melambat di sebuah jalan kecil yang sepi. Pohon-pohon di sisi kanan kiri bergoyang diterpa angin, cahaya lampu jalan remang-remang, sebagian bahkan mati.
Tiba-tiba, Serena yang berada di mobil belakang bersuara lewat komunikasi internal. “Ada gerakan di depan. Sosok… diseret keluar dari mobil.”
Lyra segera mencondongkan tubuh, menatap keluar kaca. Matanya langsung menyipit. Seorang wanita muda dengan gaun merah diseret kasar oleh dua pria bertopeng, ke arah mobil lain yang menunggu di bayangan.
Kai, yang berada di mobil pengawal, sudah membuka pintu. “Perintah, Lady?”
Lyra menatap lurus, nada suaranya dingin namun tenang. “Selamatkan wanita itu. Jangan beri mereka kesempatan kabur.”
Para pengawal Lyra, dipimpin Elias dan Lucian, bergerak cepat. Bunyi dentuman terdengar di jalanan kosong. Tinju logam menghantam keras, tubuh-tubuh terhempas ke aspal. Sementara itu, Lyra tetap duduk di mobilnya, mata tajamnya tak lepas dari wanita yang kini pingsan di tanah.
Roy kembali dengan cepat, membawa tubuh wanita itu dengan hati-hati. “Target aman. Dia masih hidup, hanya tidak sadarkan diri.”
Lyra menatap wajah pucat wanita itu beberapa detik, lalu suaranya terdengar pelan. “Cantik… dan usianya sekitar… dua puluh lima.”
Zen berbisik di telinganya, (Kau tahu apa artinya, Lyra. Mungkin malam ini, kita baru saja menyentuh bayangan pembunuh itu…)
Lyra menatap para penyeret yang kini ditahan pengawalnya. Bibirnya melengkung tipis, senyum dingin yang membuat udara seakan beku. “Bawa mereka. Kita lihat… siapa yang berani bermain-main dengan nyawa di kotaku.”
...----------------...
Ruang gawat darurat Rumah Sakit Metropolitan dipenuhi hiruk pikuk. Bau antiseptik menusuk, suara monitor detak jantung bercampur dengan langkah cepat para perawat. Lyra berdiri di samping ranjang pasien, tubuhnya tegak namun matanya lembut saat memandang gadis muda yang baru saja ia selamatkan.
Gadis itu pucat, rambut panjangnya kusut, dan ada bekas luka sayatan di lengan serta leher. Namun dokter memastikan kondisinya stabil. Lyra menepuk ringan tangan korban, memberi kekuatan.
“Tenanglah,” ucap Lyra dengan suara rendah. “Kau sudah aman sekarang.”
Salah satu perawat menyingkap selimut pasien, lalu bergumam pelan, “Ya Tuhan... dia ini kan Adinda Prameswari... putri Wakil Menteri Dalam Negeri.”
Seisi ruangan sejenak terdiam. Mata para staf rumah sakit melebar, sadar bahwa gadis yang hampir menjadi korban pembunuh berantai itu bukan orang sembarangan.
Roy yang berdiri di pintu ikut menegaskan dengan suara datar, “Media tidak boleh tahu malam ini. Tutup rapat identitasnya.”
Serena mengangguk sambil mengetik cepat di tablet hologram. “Aku akan pasang firewall berita. Tidak akan ada bocoran ke luar.”
Lyra menatap Adinda yang setengah sadar. Sekilas, mata gadis itu terbuka dan menatap Lyra dengan pandangan penuh rasa takut bercampur rasa terima kasih. Jemarinya gemetar saat menggenggam tangan Lyra, seolah tidak ingin dilepaskan.
“Aku akan pastikan pelakunya tidak bisa menyentuh siapa pun lagi,” bisik Lyra.
Tak lama kemudian, di halaman belakang rumah sakit, sebuah mobil tak bertanda berhenti. Dari dalam, dua petugas polisi keluar, namun langkah mereka terhenti begitu melihat sosok yang diseret oleh Roy dan dua pengawal Lyra.
Pelaku itu seorang pria bertubuh kurus, wajahnya pucat dengan mata cekung. Rambut hitam acak-acakan, ada noda darah kering di bajunya. Tangan dan kakinya sudah diikat dengan borgol khusus. Senyum aneh masih terpatri di wajahnya, senyum yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
“Namanya Raka Wiratama,” ujar Roy dingin. “Pekerja paruh waktu di beberapa klub malam, dikenal sering menghilang tiba-tiba. Polisi sudah lama mencurigainya, tapi tak punya bukti.”
Raka tertawa kecil, suara seraknya mengerikan. “Cantik sekali... Lyra... hahaha. Kau penyelamat wanita malang itu? Kau pikir kau pahlawan? Tidak ada pahlawan. Semua wanita sama... mereka harus dibungkam.”
Polisi menelan ludah, wajah mereka pucat.
Lyra hanya menatap dingin. Tatapannya cukup membuat Raka kehilangan tawa untuk sepersekian detik.
...----------------...
Di kantor polisi, ruang interogasi dipenuhi cahaya lampu neon yang menyilaukan. Kamera rekaman sudah menyala. Dua perwira tinggi duduk di seberang Lyra, sementara Raka duduk di kursi besi, tangannya terborgol ke meja.
Lyra dengan tenang menjelaskan kronologi bagaimana ia mengikuti insting dan menemukan korban tepat waktu, bagaimana ia melawan Raka tanpa senjata api, hanya mengandalkan strategi dan kecepatan. Setiap kalimatnya direkam.
Petugas berulang kali mengangguk, ekspresi mereka bercampur kagum dan heran.
“Terima kasih, Nona Lyra,” ujar salah satu perwira dengan nada serius. “Anda baru saja menyelamatkan putri Wakil Menteri. Tanpa Anda, kasus ini bisa meledak menjadi skandal nasional.”
Perwira lain menambahkan dengan nada lebih tegas, “Kota ini sedang ketakutan. Tujuh korban sebelumnya membuat masyarakat panik. Kami butuh bantuan Anda. Jika Anda bersedia... bekerjalah bersama kami.”
Ruangan itu seolah menahan napas, menunggu jawaban Lyra.
Lyra menyandarkan tubuh, senyum tipis menghiasi wajahnya. Sorot matanya tenang, namun di dalamnya ada api yang tak bisa dipadamkan.
“Aku akan membantu,” ucapnya akhirnya.
Kalimat sederhana, tapi suaranya membawa bobot janji. Janji bahwa teror di kota ini sebentar lagi akan berubah arah.
Zen berbisik dalam pikirannya, (Kau tidak hanya akan membantu, Lyra. Kau akan mengendalikan permainan ini... dan mereka semua akan bergantung padamu.)
...----------------...
Malam itu, balkon villa Lyra diselimuti hawa dingin khas pegunungan. Kabut tipis turun perlahan, menutupi sebagian lampu kota jauh di bawah sana. Dari kejauhan, suara jangkrik bersahutan, menambah kesunyian malam yang nyaris magis.
Lyra berdiri di balkon lantai dua dengan balutan kimono satin tipis, rambut panjangnya terurai hingga bahu. Tangannya menggenggam pagar besi yang dingin, matanya menatap langit yang bertabur bintang.
Suara Zen bergema lembut di kepalanya, kali ini terdengar lebih serius dari biasanya.
(Lyra... aku merasakan sesuatu. Ada celah di dunia ini yang terbuka. Kesadaran realitas terdistorsi. Pembunuh yang kau lihat tadi... mungkin hanya sebuah pintu.)
Alis Lyra berkerut. “Pintu? Maksudmu... dia bukan dalang utama?”
(Benar. Kehadirannya hanya permukaan. Seperti riak kecil di atas air, yang menandakan ada sesuatu jauh lebih besar di kedalaman. Dan celah itu... makin melebar.)
Lyra menarik napas panjang, tatapannya kembali ke bintang. “Aku sudah terbiasa dengan ancaman, Zen. Tapi kali ini... terdengar berbeda. Seolah ada sesuatu yang mengintip balik padaku.”
(Itu yang membuatku khawatir. Aku tidak bisa membaca semuanya. Ada ‘gangguan’ sesuatu yang bahkan menembus jangkauan sistem. Tapi satu hal jelas: ini bukan sekadar kasus kriminal. Dunia sedang diuji.)
Lyra menutup matanya sejenak, merasakan dingin menusuk kulitnya. Lalu senyum tipis terlukis di wajahnya. “Kalau dunia ini mau mengujiku... biar saja. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri: aku tidak akan mundur.”
(Jadi, kau siap?)
Lyra membuka mata, sorotnya tegas meski angin malam berembus keras. “Aku selalu siap. Apa pun yang datang, Zen... kita hadapi. Bersama.”
(Baiklah, Lady Azure. Maka bersiaplah. Malam ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.)
Bintang di langit terasa berkelip lebih terang, seolah ikut menyaksikan tekad Lyra yang membara dalam diam.
Terima kasih sudah mendukung author dengan membaca cerita ini. Jangan lupa like dan komen agar author semangat untuk melanjutkan ceritanya. Nantikan kelanjutan cerita Lyra mencapai puncak dunia
semangat thop up nya
lagi asyik ngikuti alurnya..🤭💪
...