NovelToon NovelToon
TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu / Kekasih misterius
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: nandra 999

Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .

Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.

Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.

Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.

Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab - 35 Cahaya yang Di Pertaruhkan

Langit senja yang lembut di atas Rumah Cahaya Aira. DI dalam rumah itu, terdengar suara lembut seorang anak kecil. Suara yang selama ini jarang terdengar di rumah-rumah seperti ini.

Di ruang tengah malam harinya, Rani dan Aira duduk berdampingan. Di tangan Rani, catatan kecil berisi nama-nama perempuan yang sedang dalam proses pendampingan.

Nisa termasuk kasus berat. Anak - anak Nisa juga butuh terapi trauma anak secepatnya,” ucap Rani sambil membuka laptop.

"Aku udah coba hubungi teman psikolog dari LSM . Mereka bisa bantu,”

balas Aira.

Mereka tahu ini bukan sekadar menolong satu dua perempuan. Ini tentang membangun sistem yang bisa menampung luka banyak orang. Rumah Cahaya Aira kini bukan hanya rumah tapi menjadi pelindung bagi perempuan-perempuan yang selama ini hanya bisa bertahan dalam diam.

Esok Harinya..

Hujan belum reda ketika Aira kembali ke Rumah Cahaya. Hembusan angin membawa dingin yang menembus tulang, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Bukan juga karena pakaian basah yang melekat di kulit. Melainkan karena satu panggilan.satu kalimat. Yang mengguncang segalanya.

"Kasus ini… sangat sensitif. Suaminya termasuk dalam daftar pengawasan lama kami. Kami butuh bertemu. Segera."

Sinta, dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sudah menegaskan bahwa kasus Nisa bukan kasus biasa. Ini bukan sekadar tentang seorang ibu muda yang disiksa suaminya.

Ini tentang jaringan. Tentang kekuasaan.

Dan sekarang, Aira ada di tengahnya.

Ia berdiri di ambang pintu kamar kecil tempat Nisa dan anak-anaknya tinggal sementara. Rani, sahabat barunya duduk di lantai, memegang tangan Nadin yang baru tertidur. Di sampingnya, Rafa memeluk boneka kecil  yang baru saja diberikan donatur.

Wajah bocah itu masih menyimpan bekas trauma, mata lelah, bibir kering, dan gerakan yang selalu waspada.

Aira menarik napas panjang, lalu masuk pelan-pelan.

"Nisa sudah tenang?" bisiknya pada Rani.

Rani mengangguk.

"Tapi masih sering menangis diam-diam. Luka di tubuhnya belum sembuh, dan luka di jiwanya lebih dalam lagi."

Aira menatap tubuh kecil Nadin. Anak usia tujuh tahun itu tampak begitu rapuh. Ia tak pernah banyak bicara sejak pertama kali tiba, hanya sesekali menatap langit seolah menunggu seseorang datang menjemput. Sementara Rafa, yang baru berusia tiga tahun, selalu menggenggam baju ibunya seolah takut terlepas.

"Nisa mau bicara denganmu," ujar Rani pelan.

Aira mendekat ke sudut ruangan, tempat Nisa bersandar dengan selimut menyelimuti tubuhnya.

Mata wanita itu sembab, tapi sorotnya perlahan mulai pulih. Ada rasa percaya, meski masih penuh ketakutan.

"Aira," suara Nisa serak,

"aku tahu aku bawa masalah besar ke sini. Tapi aku… aku benar-benar tak punya tempat lain."

Aira duduk di sampingnya.

"Kamu tidak merepotkan, Nisa. Ini bukan salahmu. Justru kamu berani. Kamu selamatkan dirimu dan anak-anakmu."

Nisa menggeleng pelan.

"Tapi dia tidak akan diam. Aku tahu siapa dia. Apa yang dia bisa lakukan. Kalau dia tahu aku di sini, dia akan datang… dan menghancurkan semuanya."

Aira menggenggam tangan Nisa, mencoba memberikan sedikit kehangatan. Tapi di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bekerja keras. Suami Nisa, ternyata bukan sekadar pria kasar yang ringan tangan

Dia bagian dari jaringan kekuasaan yang punya pengaruh. Salah satu namanya bahkan tercantum dalam laporan lembaga perlindungan.

Kini, Aira sadar: Rumah Cahaya bukan sekadar tempat aman lagi. Ia bisa jadi target.

Aira baru saja mematikan telepon setelah berbicara dengan Sinta dari LPSK ketika suara ketukan keras di gerbang Rumah Cahaya membuat jantungnya berdegup kencang.

Deg.

Terlalu malam untuk kunjungan.

Rani segera keluar dari dapur, membawa sapu sebagai alat berjaga-jaga, walau mereka tahu itu tak akan berguna melawan ancaman sungguhan.

Aira menyuruhnya tetap di dalam bersama anak-anak, lalu melangkah ke pintu perlahan. Ia mengintip lewat celah jendela. Gelap. Tak ada siapa pun.

Namun ketika ia membuka pintu, ia menemukan sebuah benda tergeletak di depan tangga: boneka berlumuran cat merah, dengan kertas bertuliskan tulisan tangan kasar:

"Bungkam. Sebelum semua ini terbakar."

Aira mematung. Tangannya bergetar saat mengambil boneka itu.

Bukan hanya karena isi pesannya, tapi karena boneka itu… mirip dengan milik Rafa.

Apakah mereka sudah mengawasi dari dekat?

Ia segera mengunci pintu dan menarik semua gorden.

“Rani,” panggilnya lirih namun tegas. “Kita dalam bahaya nyata.”

Rani menatapnya dengan tatapan panik.

“Apa kita harus pindahkan Nisa dan anak-anak?”

Aira menggigit bibir. Hatinya berkecamuk.

“Kalau kita pindahkan sekarang, jejaknya bisa mudah dilacak. Tapi kalau tetap di sini… kita semua dalam risiko.”

Pagi harinya, Aira bertemu secara diam-diam dengan Sinta di sebuah tempat aman yang dijaga relawan LPSK.

Di sana, Sinta menunjukkan beberapa dokumen dan rekaman yang memperkuat bahwa suami Nisa terlibat dalam jaringan kekerasan dan perdagangan pengaruh.

Banyak korban perempuan yang bungkam karena takut. Beberapa saksi yang berani bicara…

“menghilang”.

“Kami sedang siapkan perlindungan khusus untuk Nisa dan anak-anak,” ujar Sinta.

"Tapi kamu juga, Aira… kamu bisa minta perlindungan.

Tempatmu ini sudah masuk radar mereka.”

Aira menatap Sinta dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau aku pergi, siapa yang jaga Rumah Cahaya? Siapa yang jaga mereka yang baru saja percaya lagi bahwa hidup itu masih bisa diperjuangkan?”

Sinta terdiam.

“Kadang… menjadi terang artinya siap dibakar.”

Kalimat itu menghantam Aira keras, namun ia tahu:

ini adalah harga dari pilihan.

Sesampainya di Rumah Cahaya, ia langsung memeluk Nadin yang sedang menggambar bersama Rafa. Gambar mereka sederhana,sebuah rumah kecil dengan pohon dan matahari. Tapi yang membuat Aira tertegun adalah sosok tiga perempuan yang digambar di depan rumah itu. Ada dirinya, Rani, dan Nisa.

Nadin menunjuk gambar itu, lalu berkata pelan,

“Di sini… tempat yang gak bikin mama nangis.”

Aira merasakan matanya panas. Ia mengusap kepala Nadin, lalu berdiri dan menghampiri Nisa.

“Aku dapat kabar. Mereka akan pindahkan kamu dan anak-anak ke tempat perlindungan khusus. Hanya untuk sementara, sampai situasinya aman.”

Nisa terlihat ketakutan.

“Kamu… akan ikut?”

Aira menggeleng pelan.

“Aku tetap di sini. Tapi aku akan pastikan kalian aman. Kamu tidak sendiri, Nisa.”

Malam itu, sebelum Nisa dibawa dengan pengawalan tim khusus, Aira duduk di depan laptop. Ia tahu tulisannya selalu menjadi suara bagi mereka yang tak bisa bersuara.

Maka ia menulis:

“Seorang anak kecil pernah menggambar rumah yang tak membuat ibunya menangis.

Tempat itu bukan istana. Bukan bangunan mewah.

Tapi tempat kecil, penuh pelukan, dan keberanian perempuan yang tak menyerah.

Jika hari ini aku diancam karena berdiri di sisinya, maka biarlah.

Karena diam berarti membiarkan. Dan aku… tidak akan membiarkan lagi.”

Ia menekan tombol publish. Dalam beberapa menit, tulisannya dibagikan ratusan kali.

Dan tak lama kemudian,

notifikasi masuk:

"Kami bersamamu."

"Terima kasih sudah menjadi suara kami."

"Jangan berhenti, Aira."

Namun saat tengah malam tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar: kaca jendela ruang depan pecah. Seseorang melempar batu dengan kertas terikat di dalamnya:

"Terakhir kali kami peringatkan. Diam. Atau Rumah Cahaya akan jadi abu."

Aira berdiri tegak.

Rani sudah menyalakan alarm darurat. Para relawan mulai berjaga.

Tak ada lagi ruang untuk mundur.

1
gaby
Jgn2 Gibran pasien RSJ yg melarikan diri.
gaby
Di awal bab Gibran selalu mengatakan cm Gibran yg mau menerima Aira yg rusak. Dan kata2 Aira rusak berkali2 di sebutkan di bab pertama. Maksud Rusak itu gmn y thor?? Apa Aira korban pelecehan atau korban pergaulan bebas??
gaby
Smangat thor nulisnya. Ternyata ini novel pertamamu di NT y. Tp keren loh utk ukuran pemula, ga ada typo. Dr awal bab aja dah menarik, Gibran si pria manipulatif
Robert
Suka banget sama cerita ini, thor!
nandra 999: Thks yeah 🥰
total 1 replies
Gấu bông
Terinspirasi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!