“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Angin laut berhembus lembut, menyapu dinding bambu rumah nelayan yang sederhana namun bersih.
Di dalam ruangan tercium aroma obat-obatan dan asin garam laut bercampur, menyatu dengan keheningan yang tegang.
Aditya duduk di tepi dipan kayu, menggenggam tangan Risa yang masih lemah terbaring.
Tubuhnya dibalut selimut tipis, wajahnya pucat, dan napasnya masih tak stabil.
Luka-luka dari peristiwa itu masih belum sepenuhnya sembuh.
Aditya menatap wajah istrinya dengan mata sembab dan sesekali ia menyeka air matanya sendiri, mencoba tetap kuat meski hatinya hancur berkeping-keping.
“Sayang, maafkan aku." gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
“Aku gagal melindungi kamu. Aku gagal… jaga anak kita.”
Suara ombak memecah keheningan jendela kecil rumah nelayan itu, terlihat langit biru yang damai. Damai yang terasa palsu setelah apa yang mereka lalui.
"Risa, kamu sadar?" Aditya langsung mendekat, mencium tangan istrinya.
Kelopak mata Risa perlahan terbuka dan pandangannya buram, tapi ia tahu siapa yang ada di sampingnya.
“M-mas… kita di mana?” tanyanya lirih.
“Di rumah nelayan yang nemuin kita. Kamu selamat, Sayang. Kita selamat.”
"Iya Mas, kita selamat."
Aditya mengangguk pelan dan menahan suara tangisnya agar tidak pecah.
Ia memalingkan wajahnya ke dinding, lalu menutup matanya.
Aditya memeluknya dari belakang, meski ia tahu tubuh Risa masih sakit.
“Aku di sini. Aku nggak akan pergi. Kita akan lewati ini sama-sama.”
Dalam keheningan itu, suara radio kecil milik nelayan menyala. Ada suara berita.
“Ledakan besar terjadi pagi ini di halaman kantor polisi utama. Tiga kendaraan meledak, diduga dirancang oleh Elyas, tersangka utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan Risa A. Elyas juga dikabarkan menyerahkan diri, namun… polisi belum menyadari bahwa dua korban belum ditemukan…”
“Mas… mereka kira kita… meninggal dunia ?” bisik Risa.
“Tidak. Kita belum selesai. Aku akan bawa kamu pulang. Dan kali ini aku pastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi.”
Di dalam rumah sederhana itu, dua jiwa yang hancur mulai menyusun kembali kekuatan untuk melawan.
Suara alat monitor detak jantung berdenting pelan. Aroma antiseptik menusuk hidung siapa pun yang masuk ke dalam ruang perawatan intensif itu.
Stefanus terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa perban menutupi lengan dan luka-luka bakar ringan di tubuhnya.
Ledakan mobil yang dirancang oleh Elyas nyaris merenggut nyawanya, dan kini ia tengah dalam masa pemulihan fisik maupun mental.
Matanya terbuka perlahan. Ruangan putih menyambut pandangannya.
Langit-langit rumah sakit yang membosankan justru memberinya kesadaran bahwa ini nyata.
"Aditya... Risa..."
Tubuhnya refleks bergerak, namun nyeri di bahu kiri membuatnya meringis.
Seorang sersan muda segera masuk setelah melihat lampu indikator di ruangan menyala.
“Pak Stefanus, tenang dulu. Luka Anda belum sembuh betul.”
“Di mana Aditya dan Risa?” suara Stefanus serak, matanya menatap penuh tuntutan.
“Kami belum menemukan mereka, Pak. Mobil Risa ditemukan kosong. Elyas sudah menyerahkan diri tapi…”
“Tapi itu cuma trik,” potong Stefanus.
Ia mencoba duduk lebih tegak meski tubuhnya masih gemetar.
“Dia menyerahkan diri untuk mengalihkan perhatian kita.”
“Kami sudah mengerahkan tim pencari, tapi belum ada jejak. Pelabuhan, hutan, rumah-rumah sewa, semuanya nihil. Sepertinya… mereka menghilang.”
Stefanus menatap ke luar jendela ruangan. Hatinya memberontak.
“Mereka tidak menghilang. Mereka dibuang,” bisiknya penuh tekanan.
“Cek semua laporan nelayan. Cari desa pantai yang terpencil. Elyas bukan hanya pembunuh, dia pemain psikologis. Dan dia belum selesai.”
“Kami akan terus mencari, Pak. Kami percaya mereka masih hidup.”
Stefanus memejamkan mata. Tubuhnya memang lemah, tapi pikirannya terus bekerja.
Ia tahu, jika Aditya dan Risa benar-benar masih bernapas mereka akan mencari jalan pulang. Dan jika Elyas masih berkeliaran meski menyerahkan diri, maka permainan belum berakhir.
Sementara itu Truk tua berwarna biru pudar itu menderu pelan melewati jalanan desa yang berliku.
Di bak belakang, angin laut yang masih terasa asin menyapu wajah Aditya yang tak henti-hentinya memeluk tubuh istrinya, Risa.
Meski tubuh wanita itu masih lemah, kulitnya pucat, dan tatapannya kosong, namun detak jantungnya yang perlahan kembali stabil menjadi satu-satunya alasan Aditya terus bertahan.
“Sedikit lagi, Sayang... Kita pulang,” bisiknya, suara parau menahan air mata.
Risa hanya bisa bersandar di dadanya dan matanya setengah terbuka, namun pikirannya masih terombang-ambing antara kenyataan dan trauma yang tak kunjung usai.
Luka-luka di tubuhnya masih segar, dan bekas infus di tangan kanannya belum benar-benar kering.
Tapi saat tangan suaminya mengusap lembut kepalanya, ada secercah hangat yang masuk ke dada rapuhnya.
Truk itu terguncang setiap kali melewati batu atau lubang, namun sopir nelayan di depan tetap hati-hati.
Lelaki tua berwajah keras namun berhati lembut itu menatap sesekali ke kaca spion, memastikan dua orang di belakangnya tidak kenapa-kenapa.
Ia tahu, ia tidak hanya mengantar dua tubuh yang setengah selamat tapi juga dua jiwa yang hampir hancur.
“Maafkan aku…” suara Aditya terdengar nyaris seperti napas.
Risa mendengar itu dan ia terlalu lelah untuk menjawab.
Namun dengan pelan, ia menggenggam tangan Aditya yang membalut bahunya.
Jalanan berubah dari tanah berpasir menjadi aspal kota.
Mereka sudah hampir sampai. Aditya memejamkan mata, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya.
Ia tidak tahu seperti apa kehidupan mereka setelah ini. Ia tidak tahu apakah trauma Risa akan sembuh.
Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti kalau ia tidak akan pernah membiarkan perempuan ini sendirian lagi.
Setibanya di gerbang kota, truk berhenti di pinggir jalan utama.
Aditya menurunkan tubuh Risa dengan sangat hati-hati.
Langit sore memerah, menyinari wajah pucat istrinya. Risa menatap langit untuk pertama kalinya sejak kejadian itu. Tangis pelan meluncur dari matanya.
“Kita, masih hidup?” gumamnya pelan.
Aditya mengangguk, menahan isaknya.
“Kita pulang, Ris. Kita benar-benar pulang.”
Ia menggendong tubuh lemah itu menuju taksi yang disiapkan oleh nelayan tersebut.
Langit mulai gelap saat taksi berhenti di ujung jalan kecil tempat rumah itu dulu berdiri.
Aditya turun lebih dulu, lalu dengan sangat hati-hati menggendong Risa yang masih bersandar lemah di bahunya.
Suasana jalan sepi dan tidak ada suara anak-anak berlarian seperti biasanya. Tak ada aroma masakan tetangga yang ada hanya bau debu dan abu yang menggantung di udara.
Langkah kaki Aditya terhenti dan ia membelalakkan matanya saat melihat rumah mungil penuh kenangan sudah rata dengan tanah.
Debu masih mengepul di beberapa titik. Puing-puing kayu, batu bata, dan serpihan kaca berserakan.
Pintu pagar tergantung satu sisi, terbakar sebagian. Pohon bunga kertas yang dulu ditanam Risa di halaman, kini hangus dan rubuh. Rumah itu… sudah rata dengan tanah.
Risa memeluk dada Aditya erat-erat. Nafasnya mulai sesak. Matanya berlinang. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang ingin meledak.
“Tidak, ini tidak mungkin."
Aditya berdiri membeku, dadanya naik turun. Kedua matanya menatap tak percaya.
Tangannya gemetar memeluk tubuh istrinya, seolah dengan pelukan itu ia bisa melindungi sisa-sisa hidup mereka.
Tiba-tiba suara klakson terdengar dari arah berlawanan.
Sebuah mobil berwarna gelap meluncur cepat dan berhenti tak jauh dari mereka. Stefanus keluar dari dalam mobil, masih dengan perban di kepalanya dan lengan kirinya dibalut.
Wajahnya pucat saat melihat keduanya berdiri di depan reruntuhan itu.
“Aditya, Risa. Ya Tuhan…” ucap Stefanus tergagap, hampir tak percaya.
“Kau tahu tentang ini?” tanya Aditya.
“Aku pikir hanya kantor polisi yang jadi target… Elyas dan dia menghancurkan semuanya.”
Risa tak kuat lagi dan ia menangis di pelukan Aditya. Tangis yang begitu lirih namun memilukan. Ia tidak punya tempat untuk kembali.
Semua kenangan, semua cinta, semua harapan yang dibangun di rumah itu kini hanya tinggal abu.
“Kau bilang kami harus hati-hati… Tapi ini…” katanya lirih, “Dia membakar hidup kami, Stefanus.”
Stefanus tidak menjawab dan ia melangkah mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Aditya.
“Kalian selamat itu yang paling penting. Kita bisa bangun semuanya lagi. Rumah bisa dicari. Tapi kalian tidak bisa tergantikan.”
Aditya menganggukkan kepalanya dan ia mengajak istrinya untuk masuk ke dalam mobil Stefanus.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending