NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34 SI MERAH YANG LAPAR

Berbeda dengan Zia yang perlahan menghangat, Viren masih tetap sama—dingin, tajam, dan tak terjamah. Ia berjalan menembus lautan manusia dengan langkah pasti. Musik keras dan aroma alkohol tak mampu menyentuh ketenangannya. Matanya lurus menuju pojok ruangan.

Samuel masih di tempat yang sama. Wanita-wanita muda bergelayut di sisinya, tertawa genit dan bersandar manja, seperti hiasan yang hanya berfungsi untuk dipamerkan. Salah satu dari mereka membelai dagu Samuel, berusaha menarik perhatiannya yang mulai memudar.

Viren hanya mendecak pelan. Kakaknya memang belum berubah. Gila kenikmatan dan mudah kehilangan arah. Wajah Samuel memang tampak ramah dan mengundang, tapi di mata Viren, itu hanyalah topeng murahan—tak berharga dan membosankan.

“El...” gumam Samuel begitu melihatnya. Mata yang tadi setengah terpejam kini terbuka penuh.

Viren berdiri di hadapannya, tinggi dan tenang. Jas putih yang semula dikenakannya entah ke mana. Kini hanya kemeja hitam dengan lengan tergulung yang membalut tubuhnya, memperlihatkan otot lengan yang tertarik kaku. Matanya menusuk tajam.

Seketika para wanita itu berdiri dan menjauh, seperti tahu bahwa kehadiran pria ini bukan untuk bersenda gurau.

“Kau selalu mengacaukan kebahagiaanku,” gerutu Samuel, masih dengan nada malas.

“Jika yang kau cari hanya kesenangan, cari tempat lain,” sahut Viren dingin. Nadanya datar tapi menusuk seperti ujung pisau.

Samuel mengangkat gelas yang tinggal setengah isinya dan meneguknya. “Baiklah. Mari kita mulai satu per satu.”

Jake muncul dari balik kerumunan. Langkahnya tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi, menyeka tangan dengan tisu basah. Ia mendekat, lalu berbisik ke Viren, “Manuel sudah diposisi.”

Viren hanya mengangguk lalu berbalik. Ia melangkah keluar dari tempat itu, diikuti oleh Jake dan Samuel yang kini sudah kehilangan minatnya pada apapun yang ada di ruangan tadi.

Dari salah satu meja, seorang pria memperhatikan kepergian mereka. Namun teriakan tiba-tiba dari arah lain mengalihkan perhatiannya.

“Sial,” desis pria itu saat kalah taruhan. Ia tak menyadari bahwa kekalahannya barulah permulaan.

Di luar, Manuel sudah berdiri di sisi mobil. Begitu ketiga pria itu mendekat, ia membuka pintu. Tanpa banyak kata, Viren dan Samuel masuk ke dalam, duduk bersisian.

Baru beberapa detik setelah Viren dan Samuel duduk di kursi belakang, suara pertama terdengar—jeritan. Diikuti derap langkah panik.

Dari balik kaca mobil, kilauan api mulai memantul di mata mereka. Nyala merah menjilat langit malam. Tapi wajah Viren tetap dingin. Tak ada kegembiraan, apalagi rasa puas. Hanya diam. Menonton.

“Ini rencanamu?” tanya Samuel pelan, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk.

“Jika ini rencanamu,” sahut Viren sarkastik, “hasilnya pasti tidak semenarik ini.”

Samuel tertawa kecil, tapi hanya sebentar. Karena dari balik kaca, mereka bisa melihat—orang-orang mulai berlarian, sebagian besar berhasil keluar. Tapi sebagian lagi tetap di dalam. Para pria yang duduk di meja taruhan... tak satu pun bergerak. Tubuh mereka terjebak, kursi mereka tak bisa bergeser. Hanya bisa berteriak sia-sia.

Kursi mereka tak bergerak. Lem industri yang dipasang diam-diam telah menahan mereka di tempat. Kini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menatap lidah api yang semakin mendekat.

Api menyambar langit-langit. Beberapa ledakan kecil mulai terdengar. Asap naik seperti tirai penutup dari pertunjukan terakhir. Klub malam itu berubah menjadi tempat kremasi diam-diam. Tidak ada yang mencurigakan—hanya bencana yang datang di malam sial.

“Sudah cukup.” Viren menutup pintu mobil. “Ayo pulang.”

Samuel menghela napas, lalu mengikuti. Tapi sebelum mobil itu benar-benar pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah kobaran yang membakar habis dosa-dosa para penjudi itu.

Di kejauhan, Jake dan Manuel masih di lokasi. Mereka tidak hanya memastikan situasi terkendali, tapi juga menghapus semua jejak agar peristiwa ini tercatat sebagai kecelakaan. Tak ada Cinderline. Tak ada perintah. Hanya api, dan kesalahan manusia.

...----------------...

Mobil bergerak perlahan di halaman batu yang luas. Sorot lampu depan menyapu rerumputan dan bebatuan kecil yang tertata tanpa cela.Deretan pengawal Cinderline telah berbaris rapi di depan pintu kendaraan. Seorang di antaranya maju, menarik gagang pintu tanpa suara.

Satu kaki melangkah keluar—hitam mengilap dan tegas menapak lantai dingin yang ditumbuhi lumut tipis. Ia menundukkan kepala sejenak, lalu berdiri tegak, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan celana putihnya.

Ketampanannya tersembunyi dalam bayangan topi hitam, namun auranya membuat setiap orang yang dilewatinya menunduk. Diam. Tunduk. Bukan karena takut, tapi karena tahu bahwa inilah sosok yang tidak pernah main-main.

Samuel menyusul di belakangnya. Penampilannya kontras—kemeja yang dibuka dua kancing atas, langkah santai, wajahnya tak menunjukkan tekanan apa pun. Namun malam ini, ia hanya menjadi bayangan pendamping dari pria di depannya.

Viren masuk lebih dulu ke ruang data. Cahaya biru dingin menyambut tubuhnya, menguar dari puluhan layar yang menggantung dan menempel di dinding ruangan. Di layar terbesar, rekaman CCTV dari klub malam masih berputar, memperlihatkan kerusuhan dan ledakan yang kini tinggal abu. Suara ketikan keyboard menyatu dengan desis server, menciptakan irama yang menghantui ruang itu.

Viren berdiri di belakang para operator. Tangannya masuk ke saku celana, tubuhnya tegak namun santai. Ia tak berbicara. Hanya menatap layar—menganalisis setiap bingkai yang sedang dipoles. Bukan dihapus. Bukan dihilangkan. Tapi dimanipulasi dengan halus, seolah semua kejadian adalah kecelakaan alami. Api. Korsleting. Kericuhan biasa. Bukan pembantaian yang disusun rapi oleh organisasi yang selama ini dianggap telah mati.

Sudah dua malam Viren berdiri seperti itu—membisu, memperhatikan. Dan kehadirannya cukup membuat ruangan itu sesak. Para analis menahan napas, seolah takut jika satu gerakan jari mereka membuatnya bicara.

“Kau tidak akan istirahat?” suara Samuel memecah udara, datar tapi mengandung kepedulian.

“Aku akan istirahat di rumah,” jawab Viren singkat, tanpa menoleh.

Samuel tertawa kecil, tak benar-benar tertawa. “Sampaikan salamku pada adik ipar kita yang imut itu.”

Tak ada jawaban. Viren masih menatap layar. Tak ingin hal yang sama terulang. Tak ingin ada kesalahan sekecil apa pun. Bagi Viren, celah adalah musuh yang paling berbahaya.

Langkahnya bergeser perlahan. Ia mendekati Dem, pria berperawakan kurus yang bertugas di bagian penyaringan data visual. Ia menunduk saat Viren mendekat.

“Laporkan langsung padaku, apa pun,” bisik Viren pelan.

“Baik, Tuan,” jawab Dem tanpa berani menatap.

Viren berbalik, berjalan ke sudut ruangan dan menyandarkan tubuh di dinding dingin. Tangannya tetap tersembunyi di saku, kepalanya sedikit menunduk. Matanya kosong, tapi pikirannya penuh. Penuh benang kusut yang tak tahu mana pangkal dan ujungnya. Penuh rasa frustrasi yang ditahan rapat di balik wajah tenang itu.

Hari ini ia telah menghabisi mereka—orang-orang yang dengan berani mempermainkan Samuel. Mereka mencuri sembilan ton pasokan minuman, membayarnya dengan uang cetakan. Awalnya, Viren meminta Samuel menyelesaikannya secara damai. Bertanya baik-baik. Memberi mereka kesempatan.

Tapi mereka terlalu bodoh untuk menyadari bahwa Cinderline tak lagi sepenuhnya dipimpin oleh orang yang lunak. Mereka tak tahu, di balik Samuel yang sering tampil, ada seseorang yang lebih senyap dan lebih mematikan. Sosok yang tak segan menjadikan tubuh mereka pesan berdarah bagi siapa pun yang berani mencoba hal serupa.

Dan malam itu, pesan itu sudah dikirimkan. Dalam bentuk potongan tubuh, dalam bentuk bangunan yang terbakar habis, dalam bentuk wajah-wajah ketakutan yang hanya terekam oleh kamera internal.

Viren mendekati salah satu meja kosong. Ia duduk. Menyalakan komputer pribadi yang langsung menampilkan layar hitam dengan garis-garis hijau. Sahabat lama. Hal yang selalu menenangkan pikirannya sejak bertahun-tahun lalu.

Jarinya menari di keyboard, mengakses rekaman internal dari berbagai kamera pengintai.

Wajah Zia tidak muncul di satu pun layar.

Ia diam beberapa detik, lalu bersandar lebih dalam ke kursi. Itu pertanda baik. Wanita itu pasti sudah tertidur.

Viren melirik jam di layar. Ia menghitung mundur waktu ke pagi hari. Saat Zia akan turun dari kamar dan mencarinya seperti biasa—dengan langkah pelan, mata masih setengah mengantuk, dan suara lembut yang mengusik sunyinya.

Tak butuh waktu lama. Lima jam kemudian..

Akhirnya, ia melihat wanita itu keluar—pelan, lalu berdiri sejenak setelah menutup pintu kamarnya. Gerakannya masih sama seperti biasa, mengendap-endap dan mengamati sekeliling seperti pencuri yang tak ingin meninggalkan jejak.

Rambut panjangnya digulung asal, tetapi helaian-helaian depan tetap membangkang, jatuh liar menutupi sebagian wajahnya. Jaket crop top cokelat membalut tubuh mungilnya, dan rok kulit berwarna gelap menggantung sepaha, menambah kesan santai tapi tak terduga.

Dari kejauhan, Viren tersenyum tipis.

Ia memperbesar tampilan layar yang menampilkan aktivitas Zia pagi itu, meskipun ia sudah tahu pola harinya tak akan banyak berubah—turun untuk sarapan, lalu berangkat kerja seperti biasa.

Namun pagi ini sedikit berbeda.

Zia hanya masuk ke dapur beberapa detik, lalu kembali dengan dua buah apel di tangan. Satu langsung ia gigit sambil berjalan, dan satu lagi dimasukkan ke dalam tas kerjanya.

Jam digital di sudut layar menunjukkan pukul tujuh pagi saat mobil yang ia tumpangi perlahan menjauh dari Caligo.

Viren akhirnya bangkit dari duduk. Ia menuju salah satu ruangan, lalu muncul kembali beberapa menit kemudian dengan wajah yang sedikit lebih segar, meskipun bayangan lelah di matanya tidak bisa sepenuhnya disembunyikan. Dua hari tanpa tidur meninggalkan bekas yang sulit ditutupi, bahkan untuknya.

Kini jas berwarna hitam sudah membalut tubuhnya. Rambut yang semalam tertutup topi kini rapi tersisir, dan kacamata bening sudah kembali bertengger di wajahnya.

Ia tampak berbeda—lebih formal, lebih siap, lebih seperti pencipta SPEKTRA yang namanya tersebar diam-diam dalam lingkaran rahasia dunia.

Di luar, Jake sudah menunggu.

Penampilannya juga tak kalah rapi. Setelah semalaman mengenakan jaket kulit hitam dan menyusup dalam gelap, kini ia tampil bersih dengan jas navy yang pas di tubuhnya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi bola matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia belum benar-benar pulih dari malam sebelumnya.

Kejadian semalam telah berlalu, seolah hanya lembar lain dalam buku yang biasa mereka baca.

Berita pagi hanya menyebutkan satu hal: Sebuah kebakaran misterius melahap satu bangunan tua di pusat kota. Lima investor dinyatakan tewas, terjebak di dalam bangunan sebelum sempat menyelamatkan diri.

Tak ada yang menyebut tentang keberadaan mereka. Tak ada yang tahu tentang malam yang jauh lebih panas daripada api yang terlihat di layar televisi.

Udara pagi menyeruak lembut lewat jendela mobil yang sengaja dibuka.

Zia mencondongkan tubuh sedikit, menghirup aroma pagi dalam-dalam. Dingin, segar, dan sedikit getir. Senyuman kecil terlukis di wajahnya, polos dan ringan seperti anak kecil yang baru saja mencicipi kebebasan.

“Manuel, apa kau mencium bau bensin?” tanyanya tiba-tiba.

Manuel tak langsung menjawab. Di balik setelan hitamnya yang masih beraroma asap, matanya menyimpan jejak malam tadi—ketika tangannya menyiramkan bensin ke tiap sudut klub, ketika percikan terakhir ia lemparkan sebelum memutus kabel listrik utama. Semua ia susun agar terlihat seperti kecelakaan alami. Ia belum tidur. Bahkan mengganti baju pun belum sempat.

“Mungkin karena kacanya dibuka, Nyonya,” jawabnya singkat, nadanya tenang tapi tak ramah.

Zia mengangguk, bibirnya membentuk huruf ‘O’ kecil. Ia tak mendesak. Baginya, pagi ini terlalu indah untuk dipertanyakan.

.

.

.

Hayolo, jangan lupa dikasih like yaa karena itu gratis dan bikin aku semangat🤗🤗

Disclaimer!

Bagian ini hanya rekayasa, tidak untuk ditiru ya teman-teman semuanya!

1
Denni Siahaan
bagus b ya
Laruan
Kalo udah gini menurut kalian lanjutannya bakalan kayak gimana? coba kasih tau aku pendapat kalian dong
Rima Putri Melaty
aku kaya lagi bca puisi ... pemilihan bahasanya punya nilai kualitas yg tinggi.
Rima Putri Melaty
penasaraann sekali kaka... jngan lupa up setiap hari yaaa...
semangaatt dari tegal. 🤗
Laruan: Aku usahain up tiap hari ya, jadi terus support karya aku yaa🤗 ohiya untuk visualnya, coming soon..
total 1 replies
Rima Putri Melaty
luar biasa.
Rima Putri Melaty
penulisannya keren, bahasanya tinggi, the best pokonya...
Enz99
bagus
Enz99: makasih
Laruan: Aku udah up 2 bab, hadiah buat kamu karena udah support karyaku🤏❤️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!