Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29.
"kenapa lagi anda menelpon istri saya? " ucap Samudera dengan ketus. Saat ini dia memang tengah memegang ponsel Zahra.
"apa aku tidak boleh menelpon anakku sendiri, dimana Zahra. Samudera? " ucap Zulhan di seberang sana.
Samudera yang berada di tepi lapangan melihat sekilas Zahra yang tengah bermain Voli dengan persit lain. perempuan itu tampak riang seperti tak ada beban.
Wajah Samudera lalu mengeras, dia menekankan lebih dekat ponsel istrinya itu ketelinganya.
"dia tidak bisa di ganggu, kalau ayah mertua hanya ingin merusak moodnya lebih baik tidak usah bicara dengan istri saya" tegas Samudera.
"aku tidak ingin merusak moodnya, dimana dia. aku ingin bicara" kukuh Zulhan di seberang sana.
"saya sudah bilang istri saya tidak bisa di ganggu, bilang saja padaku. apa yang mau di bicarakan" pungkas Samudera.
Hening sejenak, Zulhan tak kunjung bicara membuat Samudera sedikit heran dia melihat sekilas layar ponsel yang masih terhubung.
"ayah ingin minta uang, berapa? " tebak Samudera karena Zulhan tak kunjung bicara.
"nggak, uangnya masih. aku hanya ingin minta tolong, tolong bilang Zahra untuk menelpon Juan" ucap Zulhan lirih. pria itu terdengar tak enak mengatakan itu.
"Juan? siapa.. "
"suami Zera, nak Samudera ayah mohon bilang ke Zahra untuk menelpon Juan. bilang kalau dia harus pulang anaknya mencarinya" ucap Zulhan.
"itu suami Zera kenapa Zahra yang kau suruh menelpon nya. aneh" sinis Samudera.
"ya tanya saja dengan Zahra, kenapa Juan masih mengharapkan padahal sudah menikah dengan Zera. " ucap Zulhan.
Samudera mendengar itu diam, dia tak habis pikir dengan ucapan ayah mertuanya tersebut.
Samudera mengeratkan rahangnya. Jemarinya menggenggam ponsel makin kuat. Matanya menatap lurus ke arah Zahra yang kini tertawa lepas bersama ibu-ibu Persit lainnya. Perempuan itu tak sadar bahwa namanya baru saja disebut dalam percakapan yang tidak mengenakkan—lagi-lagi melibatkan masa lalu yang seharusnya sudah ditutup rapat.
“Jadi... sekarang ayah menyuruh istri saya untuk menelpon mantan tunangannya, yang kini sudah menjadi suami adiknya sendiri?” suara Samudera pelan, nyaris seperti gumaman, tapi jelas berisi ketegasan yang dingin.
“Sam... ini bukan soal itu. Ini demi Zera dan cucu ayah. Juan nggak pulang-pulang, anaknya sakit, Zera makin stres, dan—”
“Dan ayah pikir, Zahra itu solusinya?” potong Samudera tajam. “Ayah sadar tidak, seberapa sakitnya Zahra waktu dipaksa mundur dari hubungan yang dia bangun sendiri? Dipaksa melihat mantan tunangannya dinikahkan dengan adik kandungnya sendiri? Lalu sekarang ayah pikir dia bisa dengan mudah terlibat lagi?”
Zulhan tak langsung menjawab. Di seberang sana, terdengar helaan napas berat.
“Ayah tahu... ini mungkin keliru. Tapi siapa lagi yang bisa Juan dengar kalau bukan Zahra?”
Samudera menatap lantai lapangan yang kering dan keras. Pikirannya berkecamuk. Ia merasa muak.
“Saya akan bicara dengan Zahra. Tapi saya tidak akan memaksa dia,” ucap Samudera akhirnya. “Kalau dia menolak, ayah jangan salahkan siapa-siapa. Dan jangan coba-coba menyalahkan dia lagi. Cukup. Saya di sini sekarang. Dia istri saya, dan saya tidak akan biarkan siapa pun menyakitinya lagi, bahkan keluarganya sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban dari Zulhan, Samudera memutus sambungan telepon. Nafasnya berat, dadanya naik turun menahan emosi. Ia memandangi layar ponsel sejenak, lalu melirik lagi ke arah Zahra yang tampak bahagia.
***