Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Hal sia-sia
" Kenapa anda plin-plan sekali sih tuan." Hamis lama-lama juga kesal dengan tuannya yang suka plin-plan.
Yang katanya itu tidak masalah, lalu tiba-tiba harus bagaimana, yang katanya rindu, tapi bingung kalau bertemu.
" Kenapa kau marah?" Divon tidak mengerti.
" Siapa yang marah, saya hanya bilang anda itu plin-plan, bagaimana bisa anda tidak konsisten, mereka tidak bersalah, ayo kita pulang temui kedua orang itu tuan." bujuk Hamis.
" Hem, apa harus sekarang?" tanya Divon ragu .
" Tuan, cobalah membuka hati anda untuk nyonya." ujar Hamis.
" Tidak, aku tidak akan memberikan hatiku untuk siapapun mulai sekarang Hamis." tegas Divon.
" Aku akan tetap memperlakukan dengan baik mereka, tapi aku tidak bisa jatuh lagi pada kebodohan cinta." ujar Divon.
" Ya sudah lupakan itu, lihat ini saya dapat video dari Tuan Charles, nyonya sedang menangis merengek." ujar Hamis menunjukkan Video yang di kirimkan oleh Charles.
Terlihat Vania sedang menangis dengan duduk di rerumputan, entah apa yang anak itu rengekan, tapi Lenard tampak bingung menenangkan bayi besarnya yang suka tantrum itu.
Divon terkekeh lagi begitu melihat tingkah Vania dan juga Lenard.
" Sebenarnya apa yang dia rengekan?" tanya Divon penasaran.
" Heheh, katanya es cream yang lagi viral, dan nyonya sudah antri 2 jam itu jatuh ke tanah, heheh dan itu bisa dibeli lagi 3 hari lagi." jawab Hamis terkekeh.
" Hahahahah, bukankah Charles selalu bisa dengan mudah mendapatkan barang limit?" ujar Divon.
" Sepertinya pamor tuan Charles menurun karena setiap hari harus mengurusi istri dan anak anda Tuan." jawab Hamis.
" Hahahah, sebenarnya jiwa Tante dan keponakan itu apa tertukar sih Hamis, lihat Lenard seakan dia orang dewasa yang mencoba menenangkan dan memberi pengertian anaknya hahahaha." Divon tak habis tertawa melihatnya, bahkan sampai diputar-putar berkali - kali.
Melihat Divon terkekeh bahagia, Hamis pun ikut bahagia, Hamis selalu menginginkan kebahagiaan untuk tuannya itu.
Dan Hamis sangat yakin, kedatangan Vania di kediaman Sandreas adalah sebuah keajaiban, di mana keluarga itu hampir hilang karena kehampaan.
" Siapkan tiket pulang, dan jangan beritahu kepulangan ku, kau harus memberi tahu Charles." Pinta Divon.
" Baik, laksanakan!" Hamis dengan sangat senang segera melaksanakan perintah Divon.
Divon pun kembali dengan segera, entah bagaimana pun nanti situasinya dia sangat rindu pada 2 trouble maker itu.
Sampailah Divon di bandara.
" Mereka di mana?" tanya Divon.
" Saya belum mendapatkan jawaban dari Tuan Charles tu tuan." jawab Hamis.
" Bagaimana kalau kita langsung pulang Tuan?" tanya Hamis.
" Ya sudah, tapi aku tidak mau langsung ke kediaman, aku ingin berjalan-jalan di sungai kecil dekat kediamanku." pinta Divon.
Hamis pun mengantar tuannya untuk menenangkan pikirannya ke sungai dekat kediaman Sandreas.
Divon sangat suka air, dia suka berenang, melihat sungai yang mengalir itu selalu membuat hati dan pikirannya menjadi jernih, makanya sungai itu langsung di stempel milik keluarga Sandreas.
Hanya keluarga atau para pekerja saja yang bisa berada di sungai itu.
" Saya permisi dulu ya tuan, karena ada urusan." ujar Hamis berpamitan.
Divon pun berjalan menyusuri sungai itu, Sungai itu meninggalkan sejuta kenangan untuknya, apalagi di bawah pohon yang rindang itu.
Divon duduk di bawah pohon besar sambil mengingat masa-masa kecilnya bersama dengan Harun, dan juga Charles, betapa bahagianya saat itu sebelum mereka berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan tingginya.
Saat itu dia bertemu Laura juga di sungai dekat rumahnya.
" Tunggu, apa maksudnya Bella dengan mengenali orang yang pertama aku temui?" gumam Divon.
Divon berpikir keras, namun di sela dia berpikir begitu kerasnya, tiba-tiba ada cangcut lewat ( alias celana dalam ) yang terbawa arus.
" Hah?, dari mana celana dalam itu?" Divon terkejut.
Karena sungai itu sudah memiliki penyaring otomatis dari aliran luar kediaman.
" Ah, mungkin penyaringannya rusak, lama juga, aku tidak menyidak di tempat penyaringan." Gumam Divon, ya itu hal yang wajar namanya juga mesin kan.
Namun tiba-tiba ada kacamata wanita terbawa arus lagi (alias Bra)
"Apa penyaringan itu sejenis pria, kenapa dia pilih-pilih dalam menyaring." Ujar Divon kesal.
Divon pun berdiri dan hendak berjalan menuju ke penyaringan otomatis itu.
" Ah, di mana ya, seharusnya aku tidak melepasnya."
Mendengar suara yang tidak asing, Divon melihat ke arah di balik pohon rindang itu.
Bibir Divon sungguh tak bisa berkata-kata, matanya juga seakan tak percaya, Divon mengusap-usap kedua matanya.
" Vania, apa aku salah lihat?" Divon pun turun untuk memastikan.
" Aaaggggh tukang intip, tolong." Teriak Vania dia segera mengambil batu dan melemparkan ke arah Divon.
Batu itu tepat mengenai pelipis mata Divon.
" Ah, ..." Divon pun terjatuh.
" Hah?, Di-divon?" Ujar Vania yang baru tampak jelas melihat wajah Divon yang berdarah itu.
" Kapan kau pulang, lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vania.
Namun Divon malah gagal fokus dengan pemandangan indah di depannya karena tanpa Vania Sadari handuknya terlepas, wajah Divon langsung memerah melihat keindahan tubuh istrinya.
" Aaaggggh." Vania langsung berjongkok dan menutupi apa yang harus dia tutupi.
Divon segera bangkit, dan melepaskan mantelnya dan merangkapkan pada tubuh istrinya.
" Bagaimana bisa kau mandi di sungai dengan bertelanjang!, apa kau sudah gila Vania!" Divon tampak sangat marah.
" Kata Ibu di sini tidak ada orang yang akan datang, kecuali dirimu, ya aku merasa aman, karena beberapa kali aku mandi di sini tidak ada siapapun." ujar Vania begitu percaya diri.
Divon menepuk jidatnya.
" Sekarang pakai bajumu dan pulang!" tegas Divon.
" Iya, celana dalam dan ehmmm, itu dalaman ku hilang Divon." ujar Vania mencari -cari.
" Sudahlah!" Divon langsung menggendong istrinya yang dibalut rapat dengan mantelnya.
" Divon kau berdarah, maafkan aku ayo diobati dulu." Ujar Vania merasa bersalah.
" Diamlah Vania, kau itu sedang telanjang, aku akan membawamu pulang dan berpakaian yang benar, mulai besok jangan mandi di sungai lagi!" tegas Divon marah.
Vania terdiam patuh, tapi dia kan tidak telanjang bulat kalau mandi dia masih pakai kain juga.
" Maaf ya aku lancang memasuki sungai milikmu." ujar Vania.
Divon hanya diam saja, sebenarnya Divon marah juga tidak tahu kenapa, dia hanya kesal bagaimana jika tadi Hamis melihatnya sedang mandi, memang tidak ada yang boleh memasuki area itu tanpa ijin Divon.
Vania memegangi dahi Divon yang masih mengucur deras darah akibat ulahnya.
" Maafkan baku Divon aku melukai mu." ujar Vania merasa bersalah.
" Yah, benar yang di katakan Hamis, istriku memang hanya bisa melakukan hal-hal yang sia-sia saja." ujar Divon menghela nafas panjang.
" Maaf ..." Vania merasa hari ini hari sialnya.
Tapi Vania juga kesal sekali dengan Divon pergi tanpa pamitan, dan datang juga tanpa memberi kabar.