Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sadewa duduk di sofa, menahan desis pelan saat Shanaya dengan hati-hati membersihkan luka di sudut bibirnya. Bau antiseptik memenuhi ruangan, menyatu dengan keheningan yang terasa jauh lebih hangat dibanding suasana tegang di restoran tadi.
“Auhh…” keluh Sadewa lirih sambil meringis.
Shanaya tersenyum simpul, matanya menatap luka itu sejenak. “Tahan sedikit. Biar cepat kering, Pak.”
Sadewa mengangguk pelan. “Kamu sendiri gimana? Mukamu…”
“Udah nggak terlalu sakit,” sahut Shanaya cepat, meski jelas pipinya masih bengkak.
Sadewa menghela napas, lalu berdiri untuk mengambil kapas bersih. Kali ini gantian ia yang mendekat. Tanpa berkata apa-apa, ia membungkuk dan mulai membersihkan memar di pipi Shanaya dengan gerakan pelan.
Shanaya terdiam. Ia bisa mencium aroma tubuh Sadewa—maskulin tapi menenangkan. Nafasnya sempat tercekat saat tangan pria itu menyentuh wajahnya agak lama.
Beberapa saat sebelumnya, mereka memutuskan ke apartemen Wina setelah kejadian di restoran tadi, untuk merawat luka akibat ulah Reno. Shanaya menyadari, ada sisi dari Sadewa yang aneh, tapi justru membuatnya merasa aman.
“Kamu harus hati-hati kalau mau ikut melerai,” gumam Sadewa pelan.
“Harusnya kalian yang berhenti. Aku datang buat pisahin, tapi malah kena juga,” sahut Shanaya, mencoba tenang.
Sadewa menatap mata Shanya merasa tidak senang dengan jawaban barusan, lalu ia menekan sedikit lebih keras ke bagian luka di wajahnya.
“Auhhh! Bapak mau nambah luka?” teriak Shanaya kesakitan.
“Menurutmu?” balas Sadewa datar seperti biasa.
Shanaya spontan merebut kapas dari tangan Sadewa.
“Kalau kamu kenapa-kenapa, aku bisa gila…” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Shanaya menelan ludah, samar-samar mendengar ucapan itu. Ia tak berani memastikan, takut hanya salah dengar. Akhirnya ia berkata, “Bapak udah baikan kan? Kalau udah, pulang sana.”
Sadewa mengangkat alis. “Kamu ngusir aku?”
“Menurutmu?” sahut Shanaya dengan nada yang justru terdengar seperti senjata balik. Kalimat itu, jargon khas Sadewa, kini dilontarkan padanya.
Sadewa berdiri, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Lain kali, jangan libatkan aku.”
Shanaya hanya terpaku saat suara pintu tertutup sedikit keras. Ia mengerjap pelan.
“Dia marah?”
Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Shanaya sempat mengira itu Sadewa, tapi ternyata bukan.
“Kamu udah pulang?” tanyanya refleks.
Bukannya menjawab, Wina langsung menghampiri dan menatap wajah Shanaya yang memar. “Ini ulah Pak Dewa, ya? Kalian habis bertengkar? Tadi aku ketemu dia, mukanya juga babak belur. Wah, pertarungan kalian seru juga.”
“Apa sih, Win. Ini semua gara-gara Reno. Aku dan Pak Dewa nggak sedang bertengkar,” sahut Shanaya ketus sambil menyentuh pipinya yang nyeri.
“Reno?” Wina memicingkan mata, mulai penasaran.
Melihat ekspresi sahabatnya, Shanaya akhirnya menceritakan semuanya.
“Bener-bener ya, tuh cowok… Kenapa dulu kamu bisa sih kepincut sama dia? Bahkan pas mau pisah aja masih aja penuh drama,” keluh Wina.
“Mungkin dulu mataku rabun.”
Wina tersenyum, merasa lega karena sahabatnya mulai sadar. “Udah, sini aku bantu bersihin lukanya.”
“Tunggu, jangan sampe lukanya ilang, Win.”
“Hah? Kenapa?”
“Besok sidang pertama kita. Biar luka ini jadi pemberat,” jawab Shanaya serius, membuat Wina langsung mengangguk penuh dukungan. Tak lupa ia segera menghubungi pengacaranya.
***
Suasana ruang sidang terasa sunyi. Shanaya duduk di sisi penggugat bersama Joe, pengacaranya. Wajahnya tampak tenang, meski sisa lebam di pipinya masih terlihat samar. Di sisi tergugat, hanya hadir seorang wanita bersetelan gelap, pengacara Reno.
“Dia nggak datang?” bisik Shanaya pada Joe.
Joe mengangguk kecil. “Katanya sedang di rumah sakit. Kondisi Malika menurun.”
Shanaya mencibir pelan. Hatinya terasa getir. Tentu saja Reno tak akan datang. Bahkan ibu mertuanya pun tidak muncul. Dan kemarin, Shanaya sempat melihat Malika mengusap perutnya terus-menerus. Ia yakin jika wanita itu sedang hamil.
"Jadi bukan karena dia tak ingin punya anak," gumam Shanaya dalam hati. "Dia cuma menunggu siapa wanita yang pantas mengandung benihnya."
Ketukan palu membuyarkan pikirannya.
“Perkara gugatan cerai antara Shanaya Sanjaya dan Reno Alhadi. Tergugat tidak hadir secara pribadi, hanya diwakili oleh kuasa hukum. Sidang tetap dilanjutkan,” ucap hakim ketua.
Ia menoleh ke pihak penggugat. “Silakan sampaikan pokok perkara.”
Joe berdiri. “Yang Mulia, klien kami menggugat cerai karena tindakan kekerasan fisik dan verbal dari pihak tergugat, serta adanya dugaan perselingkuhan. Klien kami merasa tidak aman dan tidak sanggup melanjutkan pernikahan ini.”
“Bukti?” tanya hakim.
Joe menyerahkan sebuah map. “Berisi hasil visum, dokumentasi luka, tangkapan layar percakapan pribadi tergugat, dan rekaman suara pertengkaran yang pernah terjadi.”
Hakim membuka berkas dan membaca cepat beberapa halaman. “Luka ini baru terjadi?”
Joe melirik Shanaya sejenak. “Semalam, Yang Mulia.”
Hakim mengangguk tipis. “Pihak tergugat, silakan.”
Pengacara Reno berdiri. “Yang Mulia, klien kami membantah tuduhan tersebut. Pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal yang wajar dan tidak seharusnya dijadikan alasan utama perceraian. Mengenai luka yang dialami pihak penggugat, itu bukan karena kekerasan dari klien kami, tapi karena insiden saat penggugat melerai klien kami yang sedang bertengkar dengan lelaki selingkuhannya.”
“Apakah ada bukti pendukung?” tanya hakim.
Pengacara Reno menyerahkan map berisi kronologi kejadian dan foto dari malam sebelumnya. “Ini sesuai instruksi klien kami.”
Hakim menerima dan mengangguk. “Pihak penggugat, apakah ingin memberikan tanggapan?”
Shanaya mengangkat wajah. Suaranya tenang, namun tegas. “Yang Mulia, saya sudah berusaha bertahan. Berkali-kali. Tapi selalu berakhir dengan luka, secara fisik maupun batin. Dan hari ini, dia bahkan tak cukup punya nyali untuk hadir sendiri.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Terkait tuduhan selingkuh, saya tegaskan itu tidak benar. Pria yang disebut itu adalah atasan saya. Hanya rekan kerja, bukan yang lain.”
Ruang sidang hening sejenak. Hakim mencatat sesuatu di berkasnya.
“Baik. Karena tergugat tidak hadir secara langsung dan bukti yang diajukan oleh pihak penggugat dinilai cukup kuat, sidang lanjutan akan digelar minggu depan untuk agenda pembacaan putusan.”
Tok! Tok! Tok!
Sidang ditutup.
***
Di luar ruang sidang, Shanaya berdiri diam sejenak. Wina segera merangkul lengannya, sementara Joe ikut berdiri di sisi lain.
“Kamu udah benar-benar di ambang pintu keluar, Sha,” bisik Wina lembut.
Shanaya tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Joe. “Harusnya aku dengerin kamu waktu bilang jangan bawa soal pukulan itu. Sepertinya hakim nggak terlalu mempermasalahkan.”
“Tidak apa-apa,” jawab Joe. “Yang penting kamu tidak menuntut apa pun. Bukti sudah cukup untuk mengantarkanmu pada keputusan cerai.”
“Iya, tenang saja,” sambung Wina. “Aku yakin kamu bisa keluar dari semuanya.”
“Terima kasih, Joe. Terima kasih, Win. Tanpa kalian, mungkin aku udah nangis kejer di pojokan, atau… lebih parah, racunin dia pakai racun terbaik yang bisa kubeli,” candanya ringan, tapi dengan nada yang sedikit getir.
“Kalau itu kejadian, aku tetap dukung kamu,” sahut Wina sambil terkekeh. “Laki-laki kayak dia cuma bikin beban malaikat nambah kerjaan.”
Mereka bertiga tertawa kecil, lalu berjalan perlahan keluar dari gedung pengadilan.
Di seberang halaman, sedan hitam terparkir rapi. Di dalamnya, Sadewa duduk dengan ekspresi tenang meski pikirannya penuh kegelisahan.