NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 29: Langgeng Sari Hari ke-2

Saat sedang terlelap dalam tidur, tiba-tiba saja aku merasakan ada dua jempol orang dewasa yang menekan-nekan wajahku. Tunggu dulu, ini bukanlah jempol orang dewasa. Ini adalah kaki depan milik seekor kucing. Aku bisa merasakan delapan buah cakar kecil yang tajam yang menusuk-nusuk kulit wajahku. Marco!

Kucing ini sebenarnya hendak aku letakkan di pet carriernya sebelum tidur kemarin. Tapi, Lina dan Ibu mertuaku melarangnya karena merasa kasihan melihat Marco dikurung dalam tempat yang sempit itu. Akibatnya, wajahku jadi diobrak-abrik di pagi hari oleh goresan cakarnya yang tajam-tajam itu.

Aku lantas bangun dengan cepat hingga membuat kucing itu terjungkal. Namun, tenang saja, dia pandai mendarat menggunakan keempat kakinya.

Pandanganku yang masih samar-samar kemudian menoleh ke arah jam dinding yang terpasang tepat di atas TV. Sekarang sudah pukul 5.16 pagi. Itu artinya, sudah waktunya bagi Marco untuk buang air di luar.

Walaupun aku harus merasa kesal karena setiap pagi selalu dibangunkan oleh Marco, tapi aku bersyukur bahwa kucing ini memiliki kepandaian untuk tidak buang air di dalam rumah. Akan jadi hal yang lebih merepotkan kalau air kencing ataupun tahinya mengotori karpet artistik yang tergelar di ruang tamu rumah mertuaku.

Aku kemudian berdiri dan hendak mengambil kunci pintu belakang yang ditaruh di atas meja TV. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti oleh Felix yang tidur terjungkal di lantai, dengan kakinya yang masih menggantung di atas sofa yang berbentuk huruf L itu. Hampir saja kakiku menginjak badannya.

Karena hanya ada dua kamar di rumah ini, kami sempat berdiskusi singkat kemarin malam mengenai pembagian tempat tidurnya. Kedua mertuaku tentu saja harus berada di kamar mereka selaku tuan rumah. Semetara itu, aku mengusulkan untuk tidur di sofa ruang tamu agar Felix dan Lina bisa tidur bersama di kamar yang satunya.

Tapi, entah kenapa Felix merasa kasihan padaku dan memutuskan untuk ikut tidur di sofa ruang tamu. Kami kemudian menghabiskan malam dengan menonton acara ekspedisi rumah hantu yang sebenarnya nggak seram-seram amat.

Setelah mengambil kunci pintu belakang, aku kemudian membukanya dan membiarkan Marco berlari menyusuri halaman belakang untuk menemukan spot buang air yang sempurna untuknya. Dari sekian banyaknya ruang yang tersedia, entah mengapa Marco malah memilih untuk buang hajat di dekat pohon mangga yang besar itu. Apa karena aku membiasakannya untuk buang air di dekat pohon mangga, ya?

Saat sudah merasa lega, Marco kemudian melompat ke atas meja piknik yang ada di dekatnya itu untuk menangkap sepasang kupu-kupu yang hinggap di sana. Namun sayangnya, ia tidak berhasil menangkap kedua kupu-kupu dengan corak jingga itu. Marco kemudian berlarian mengejar mereka, sambil sesekali melompat karena keduanya semakin terbang tinggi.

“Loh, sudah bangun, El?” Tiba-tiba saja aku mendengar suara ayah mertuaku dari arah belakang.

Aku menoleh ke belakang secara perlahan, lalu melihat bahwa ibu mertuaku juga sudah bangun dan berdiri di belakang suaminya.

“Kau ternyata morning person, ya, El.” Ucap Helena sambil menampakkan senyumannya yang hangat itu.

“Ah, ini gara-gara si Marco yang ngebangunin aku pakai cakarnya. Soalnya, sekarang sudah waktunya bagi kucing itu untuk buang hajat di luar.”

“Wah, begitu ya, hahahaha.”

Kedua mertuaku kemudian ikut masuk ke halaman belakang untuk menyaksikan tingkah laku Marco yang mengejar dua ekor kupu-kupu itu. Mereka berdua sesekali tertawa karena Marco terjungkal saat hendak menggapai salah satu kupu-kupu yang melayang di udara.

“Oh, iya. Ngomong-ngomong, apa kau mau ikut mancing dengan kami hari ini, El?” Tanya Jonathan mengajak, sembari menoleh ke arahku yang berada di belakangnya.

“Boleh juga. Udah lama banget sejak terakhir kita sekeluarga mancing bareng, kan?” Balasku menerima ajakannya itu.

“Bagus! Kalau gitu, aku mau nyiapin perlengkapan pancingnya dulu, ya!”

...***...

Menjelang siang hari sekitar jam 9.30 pagi, kami berlima sudah berada di sungai dengan membawa pancingan, mengenakan sepatu boots, dan juga topi rimba. Para wanita duduk di kursi portabel yang diletakkan di pinggiran sungai, sementara para pria berdiri tegak di tengah arus sungai yang tenang untuk menunggu ikan memakan umpannya.

Di luar dugaan, ternyata ada banyak orang yang juga mancing di sekitar sini. Sebagian besar dari mereka adalah para lansia yang kondisi fisiknya masih segar bugar. Jonathan dan Helena sempat memperkenalkan aku, Felix, dan Lina kepada teman-temannya lagi, karena mereka sudah lupa dengan wajah-wajah kami saking lamanya tak bertemu.

Setelah sekitar 40 menit menarik dan melempar kail pancing tanpa mendapatkan apapun, aku baru menyadari bahwa ikan-ikan zaman sekarang sangatlah cerdik. Mereka mampu memakan umpan yang terpasang di sana tanpa menimbulkan sedikit getaran pada ujung jorannya. Aku sempat mengeluh pada Jonathan karena tidak mendapatkan tangkapan sama sekali. Namun, ia hanya tertawa dan mengatakan bahwa “kesabaran adalah kunci.”

Karena sudah merasa pegal, aku kemudian mengambil kursi portabel yang masih terlipat itu, lalu meletakkannya di tengah-tengah sungai untuk selanjutnya diduduki. Walaupun nggak dapat tangkapan, tapi setidaknya badanku bisa lebih rileks menikmati air sungai yang mengalir melalui sepatu boots ini.

Beberapa saat kemudian, ujung joran pancingku tiba-tiba berkedut yang menandakan bahwa ada seekor ikan yang terjerat oleh umpannya. Aku langsung menariknya dengan cepat, hingga ikan itu semakin mendekat ke arahku.

*Splashhh*

Saat berhasil menariknya keluar dari air, barulah terlihat bahwa tangkapanku adalah seekor ikan mujair dengan ukuran yang lumayan besar. Jonathan dan Felix sama-sama mengeluarkan suara yang penuh kekaguman ketika melihat ikan di kail pancing itu, karena sampai sekarang mereka masih belum mendapat tangkapan juga.

“Anjay, keren banget kau, El!”

“Kerja bagus, Nak!”

Mereka berdua sama-sama memujiku dengan mata yang berbinar. Jonathan kemudian mendekat ke arahku untuk mengecek kondisi dari ikan itu.

“Wah, tangkapanmu gede juga, ya. Dagingnya lumayan banyak juga, sih, untuk sekelas ikan mujair.” Ujar ayah mertuaku memperhatikan ikan itu dengan saksama sambil memegang dagunya. Aku pun menyeringai karena merasa puas dengan tangkapan ini.

“Strike!”

...***...

Ketika sudah memasuki sore hari, kami pun harus pulang kembali ke ibukota karena harus bekerja di esok hari. Sebelum masuk ke mobil, kami bertiga bersalaman dengan Jonathan serta Helena secara bergantian.

Saat hendak menyalami ayah mertuaku, tiba-tiba saja dia menepuk kedua pundakku dengan lumayan kuat. Matanya menatap dengan tajam ke arahku, serta wajahnya menampilkan senyuman yang terkesan bangga.

“Nael, terima kasih karena sudah bertahan sampai sejauh ini. Aku bersyukur karena kau masih tetap berjuang melawan dari depresi yang berat itu, sambil tetap mengenang putriku sebagai istrimu satu-satunya.”

Perkataan ayah mertuaku itu benar-benar menyentuh hati. Tanpa sadar, aku sudah memeluk badannya yang masih kekar itu dengan sangat erat. Helena, Felix, dan Lina kemudian mulai mengerubungi kami dengan pelukan hangat mereka masing-masing.

“Terima kasih, semuanya!”

Kami bertiga kemudian berangkat meninggalkan surga alam yang bernama Langgeng Sari ini. Jujur, aku masih ingin tinggal di sini sekitar satu minggu lagi. Tapi, berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu denganku lagi.

Aku yakin para mahasiswa yang diajar Felix sudah tidak sabar bertemu dengan dosennya yang begitu asik ini. Aku juga yakin bahwa email Lina sudah dipenuhi dengan panggilan kerja dan juga meeting yang akan dilaksanakan besok.

Sepanjang perjalanan, suasana mobil dipenuhi nyanyian Felix yang mengikuti lirik dari playlist lagu pop kreatifnya. Aku pun sesekali ikut bernyanyi ketika lagu-lagu milik almarhum Chrisye mulai diputar. Sementara itu, Lina yang berada di bangku belakang sepertinya sedang asik scrolling di sosial medianya, sambil sesekali memainkan rambut suaminya.

“Aku rasa kita harus mengunjungi ayah dan ibu setidaknya seminggu sekali.” Ucap Felix sambil menghentikan mobilnya karena lampu merah.

“Nggak mau.”

“Nggak!”

Aku dan Lina secara serempak menolak usulan Felix mentah-mentah karena jarak Langgeng Sari yang sangat jauh dari ibukota. Aku nggak mau setiap hari Sabtu harus bangun subuh-subuh agar tidak terkena silau matahari saat perjalanan menuju ke sana.

“Loh, kenapa? Kan sekalian healing.” Felix masih mencoba bersikeras.

“Iya, aku ngerti kau sangat menikmati lingkungan yang sejuk itu, Felix. Tapi, apa kau nggak kasihan sama ipar dan istrimu yang introvert dan malas keluar di hari libur ini?” Ucapku berusaha meredam sikap keras kepalanya.

“Iya, lho… Kamu, kan, tahu kalau healing terbaiknya aku itu adalah rebahan di kamar sama kamu sampai siang~” Ucap Lina dengan nada manja yang sepertinya berhasil menggoda Felix. Terima kasih, rekan introvertku.

“Hehehe, iya deh. Kalau gitu kita ke Langgeng Sarinya sebulan sekali aja, ya.” Felix mencoba menawar dengan rentang waktu yang agak lebih lama dari sebelumnya.

“Tiga bulan sekali. Aku rasa tiga bulan sekali adalah waktu yang bagus!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!