Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 33: Ragu-Ragu
Kicauan burung yang merdu menghiasi pagiku yang kelabu ini. Ditemani sebatang rokok, aku mencoba untuk menenangkan pikiran yang kacau karena permasalahan yang ditimbulkan oleh Michael Huang. Aku menatap ke arah awan mendung yang beradu dengan cahaya mentari pagi, sehingga menghasilkan lukisan cakrawala berwarna kuning keemasan.
Ah, Michael Huang sialan. Dia membuatku harus mengurusi sertifikat tanah yang baru untuk 186 keluarga di Desa Uyah Gesing. Pekerjaan ini bukanlah sebuah perkara yang mudah, apalagi jika kau harus melakukannya secara diam-diam. Soalnya, kalau hal ini sampai ketahuan oleh Michael Huang, bisa-bisa nyawaku serta nyawa orang-orang di BPN berada dalam bahaya.
Maka dari itu, kemarin malam aku menghubungi Alvie untuk mencarikan seseorang yang memiliki kapabilitas dalam mengurus 186 sertifikat tanah yang baru ini secara diam-diam. Awalnya, adik kecilku yang sangat idealis itu menolak untuk melakukannya. Namun, setelah aku menjelaskan permasalahannya, dia langsung menolongku dengan sepenuh hati—walaupun aku tahu dia sangat benci untuk berurusan dengan hal kotor semacam itu.
Berkat pertolongannya, aku langsung mendapatkan kontak seorang pegawai yang memiliki kewenangan untuk mencetak sertifikat tanah di BPN. Namanya adalah William Hartanto. Menurut Alvie, orang ini telah berkali-kali menerima sogokan dari berbagai pihak agar proses pencetakan sertifikat tanah mereka bisa berjalan dengan lebih cepat. Karena itulah dia bisa membeli sebuah mobil SUV yang begitu mewah, tanpa harus menjadi seorang workaholic seperti Alvie.
Tak puas dengan satu batang, aku segera menyulut satu batang rokok lagi. Namun, sebelum nyala api korek gas itu menyentuh ujung lintingan tembakaunya, sebuah tangan perempuan yang begitu halus segera menghentikan gerakan tanganku.
“Kamu pagi-pagi udah habis dua batang aja, sayang.” Ah… Felicia… Kamu selalu muncul di saat aku sedang diterpa masalah besar. Walaupun cuma halusinasi, aku harus tetap mengapresiasi hal itu. Kamu memang tidak pernah berubah sama sekali, ya.
“Memangnya apa, sih, yang bikin kamu sampai ngehabisin dua batang rokok pagi-pagi gini?” Tanya Felicia versi halusinasi dengan nada yang penuh kekhawatiran.
“Aku terlibat sama Mafia tanah, sayang.” Jawabku sambil menghela napas panjang, sambil memasukkan lagi rokokku ke dalam saku celana.
“Iya, aku tahu, kok.” Dia segera menjawab dengan nada yang agak nyolot. Biasanya, dia akan bersikap seperti ini kalau aku sedang tidak menjadi diriku sendiri (begitulah pengakuannya semasa hidup dulu). “Tapi masak perkara gitu aja bikin kamu sampai stress kayak gini, sih? Bukannya kamu udah biasa, ya, menghadapi masalah kayak gini?” Tambahnya lagi sambil menggenggam erat tanganku. Rasanya begitu nyata, dimana telapak tangannya yang lembut itu terasa menekan setiap jari-jemariku.
Well, perkataan Felicia itu ada benarnya juga, sih. Sudah puluhan tahun aku mengalami masalah-masalah yang merepotkan seperti ini selama berkarir sebagai seorang notaris. Harusnya, permasalahan dengan Michael Huang ini tidak akan membuatku terpuruk hingga harus menghabiskan dua batang rokok di pagi hari. Namun, masih ada satu hal yang lumayan menjanggal di hatiku.
“Yah, tapi masih ada satu hal yang mengganggu pikiranku, sayang.” Ucapku pada Felicia, sambil menatap matanya yang indah itu. “Kali ini, aku menggunakan cara yang kotor dalam menghadapi lawanku. Aku hanya ragu apakah itu adalah sebuah keputusan yang tepat atau tidak.”
Felicia kemudian mengapit kedua pipiku dengan telapak tangannya, lalu memberikan sebuah ciuman mesra di keningku.
“Hidup itu bukan cuma urusan hitam sama putih melulu, sayang. Lakuin aja apa yang menurut kamu pantas untuk dilakuin.”
...***...
Siang hari yang gelap dikerumuni awan mendung, tiba-tiba saja kantorku didatangi oleh beberapa orang berwajah garang dengan jaket kulit layaknya intel. Mereka menghampiriku dengan membawa 5 buah koper kecil berwarna hitam. Di balik kerumunan itu semua, terlihat sesosok wajah yang paling tidak ingin aku temui saat ini. Michael Huang.
Mau tidak mau, aku menyambut mereka masuk ke dalam kantor untuk membicarakan ada apa gerangannya mereka. Aku duduk berhadapan dengan Michael Huang, sementara para anak buahnya yang sangar itu berbaris tegak hingga menghalangi pintu. Kesunyian serta hawa dingin ini terasa menambah sensasi ketegangan yang menusuk. Namun, aku sama sekali tidak gentar menghadapi mereka.
“Bagaimana, Emanuel?” Tanya Michael dengan sorot mata yang tajam, serta senyuman yang penuh kejahatan itu.
Aku tetap bersikap tenang, tanpa sedikitpun pernah melepaskan tatapan mata ke arahnya. “Sertifikat anda masih berada di dalam antrean. Ada banyak sekali client yang harus saya tangani terlebih dahulu sebelum anda.” Jawabku dengan tegas dan lugas.
“Oh, begitu.” Mafia tua ini menghela napas, lalu mengeluarkan isyarat kepada anak buahnya untuk segera melakukan sesuatu.
Lima dari sembilan anak buah Michael Huang perlahan mendekat, kemudian meletakkan koper di atas meja dengan kasar. Satu persatu dari mereka membuk koper tersebut, sehingga terlihatlah isinya yang dipenuhi oleh tumpukan uang seratus ribu rupiah.
“Semua uang ini adalah bayaranmu, Emanuel.” Ujar Michael sambil menampakkan senyum yang penuh tekanan. “Aku harap dengan ini kau dapat memprioritaskan kepentinganku daripada client yang lain. Aku sudah memberimu banyak uang, lho~”
Aku tetap diam tak bergeming dalam menghadapi ucapannya yang terdengar seperti ancaman itu. Dia pikir aku bisa ditaklukan dengan mudah hanya dengan seonggok uang ini saja? Hah! No way!
“Aku tidak bisa melakukannya. Setiap client berhak untuk diurus sesuai dengan antrean mereka. Itu adalah salah satu kode etik pribadiku sebagai seorang notaris. Jadi, mohon maaf karena permintaan anda tidak bisa aku kabulkan.” Aku merespon dengan tegas dan penuh keyakinan.
“Itu bukanlah permintaan, Emanuel.” Balasnya sambil beranjak dari kursi, lalu berjalan perlahan menuju pintu.
Salah seorang anak buahnya segera membukakan pintu tersebut agar Michael Huang tak perlu mengeluarkan tangan dari saku celananya. Sementara itu, aku bisa merasakan kehadiran seorang pria kekar dengan aura yang kasar sedang berdiri tegak di belakangku.
“Itu adalah perintah.”
...***...
Di tengah hujan deras pada malam hari, aku sedang mengendarai mobil menuju kediaman Eka yang berada tidak jauh dari markas Polda Andawana. Ketika sudah sampai di blok perumahannya, aku segera memarkirkan mobil di ujung jalan agar Michael Huang tidak tahu aku sedang pergi kemana jika dia memasang pelacak di mobilku (sepertinya aku mengalami paranoid dari berbagai film mafia yang kutonton).
Selain itu, aku juga meninggalkan handphone di mobil untuk jaga-jaga agar percakapanku dengan Eka tidak didengar oleh Michael atau antek-anteknya. Siapa tahu, mereka memiliki seperangkat alat yang bisa membajak microphone di hpku.
Saat sudah sampai di depan rumahnya, dengan segera bel itu aku tekan untuk memanggil Eka keluar. Tak perlu waktu lama, Eka segera datang untuk menyambutku masuk ke dalam rumahnya.
Kami berdua saling duduk berhadapan di sebuah meja kecil yang ada di ruang tamu. Wajah Eka terlihat intens saat menatapku mengeluarkan berbagai berkas yang sekiranya bisa membuat kepolisian menindaklanjuti niat jahat dari Michael Huang. Setelah semuanya komplit, Eka segera memeriksa setiap lembar dari tumpukan berkas tersebut, lalu menimbang apakah kertas-kertas itu dapat membuat pihak kepolisian bergerak untuk melakukan sesuatu terhadap Michael Huang.
“Hmm…” Eka mengangguk puas setelah memeriksa lembaran berkas terakhir. “Rekaman CCTV di ruang kerjamu tadi bisa mendorong kepolisian untuk segera bertindak. Kau tinggal menyusun berkas laporan saja.” Ucap Eka sambil merapikan berkas-berkas itu kembali.
“Hah… Masalahnya ada banyak orang yang akan berada dalam bahaya kalau sampai si Michael Huang mengetahui aku melaporkannya ke kepolisian.” Balasku sambil menghela napas berat.
“Benar juga, sih. Aku rasa pihak kami juga akan kewalahan kalau harus melindungi setiap orang yang terlibat dengan masalahmu ini.” Eka kemudian merentangkan tangannya untuk mengembalikan tumpukan berkas itu kepadaku. “Lalu, apa yang akan kau lakukan, El?”
“Aku sudah punya rencana, Ka. Sederhananya, aku akan membuatkan sertifikat tanah yang baru kepada setiap keluarga yang ada di Desa Uyah Gesing. Dengan begitu, Michael Huang tidak akan bisa mengambil alih tanah desa mereka secara gratis.” Aku menjelaskan secara singkat dan to the point kepada Eka.
“Boleh juga rencanamu itu.” Ucap Eka sambil mengangguk dengan senyuman yang terlihat puas. “Lalu, apakah ada yang bisa aku bantu?” Nah, kalimat inilah yang aku tunggu-tunggu keluar dari mulut Eka. Tentu saja kau akan membantuku untuk melancarkan rencana ini!
“Tentu saja. Tanggal 19 nanti, aku akan bertemu lagi dengan Michael Huang. Maka dari itu, aku ingin kau datang ke rumahku dengan mengenakan seragam polisi lengkap untuk menakut-nakutinya.” Bibirku secara tidak sengaja menyunggingkan senyum saat menjelaskan rencana yang terkesan jahil ini.
“Oke, apa perlu aku ajak Pak Kapolda juga? Beliau sempat bilang kalau beliau punya hutang budi yang harus dibayar kepadamu.” Wah, bagus juga, tuh, tawarannya Eka. Dengan begini, aku yakin si Michael Huang akan cepirit ketakutan karena berhadapan dengan dua orang polisi berseragam lengkap saat datang ke rumahku.
“Tentu! Kalau beliau bersedia, ajak saja!”