Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ting! Ting! Ting!
Bel masuk kelas berbunyi nyaring. Beberapa saat kemudian, pintu kelas terbuka, dan Bu Andin masuk dengan seorang gadis cantik di sampingnya.
Wajah wanita itu memancarkan aura cerah, rambut panjang terurai rapi, dan senyum manis yang membuat seisi kelas mendadak hening.
Bu Andin tersenyum kepada murid-muridnya.
“Oke anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru lagi. Silakan perkenalkan dirimu,” kata Bu Andin sambil memberi isyarat kepada siswi itu.
Gadis itu maju satu langkah dan berkata dengan ceria:
“Halo semuanya! Nama aku Arabella Serenity, aku pindahan dari SMA Diamate Heights. Semoga kita semua bisa berteman, ya!”
Seketika, suasana kelas riuh.
Beberapa murid laki-laki terlihat terpana.
Sekarang Citra dan Hana bukan satu-satunya siswi tercantik di kelas itu.
Kelas mereka kini memiliki tiga bunga cantik: Citra, Hana dan Arabella.
Tiba-tiba, salah satu siswa laki-laki berdiri dari bangkunya dan berseru lantang:
“Maaf, Arabella! Aku tidak mau berteman sama kamu!”
Semua kepala langsung menoleh ke arahnya. Bahkan Arabella tampak kaget.
“Eh? Kenapa kamu nggak mau berteman denganku?” tanya Arabella dengan polos.
Cowok itu tersenyum lebar dan menjawab:
“Karena aku cuma mau jadi pacarmu, bukan temenmu!”
“WUUUUUUUUU!” sorak seluruh kelas bersamaan.
Terdengar tepuk tangan dan siulan menggoda dari beberapa siswa lain.
Arabella hanya tersenyum menanggapi dengan tenang, seolah sudah terbiasa menghadapi fans berat seperti itu.
“Sudah-sudah! Tenang semua!” kata Bu Andin sambil mengetuk meja.
“Arabella, silakan duduk di bangku kosong di samping Hana.”
Arabella pun melangkah menuju kursinya. Ia tersenyum dan menyapa teman sebangkunya.
“Hai! Salam kenal, nama aku Arabella!”
“Hai juga, aku Hana Kusuma. Senang bisa duduk bersamamu. Semoga kita berteman baik, ya.” balas Hana dengan ramah.
Setelahnya, Arabella menoleh ke belakang.
Pandangan matanya bertemu langsung dengan mata Han.
“Eh… hai. Salam kenal juga,” ucap Arabella sambil tersenyum manis pada Han.
“Iya,” jawab Han datar, seperti biasa tak terlalu peduli.
Arabella memperhatikan Han beberapa detik, lalu memindahkan pandangannya ke sisi Han, tempat Citra duduk.
“Hai, salam kenal juga, ya,” katanya dengan senyum tetap terjaga.
“Iya, salam kenal. Nama aku Citra,” balas Citra dengan sopan, meskipun sedikit heran dengan tatapan Arabella yang seperti sedang menilai sesuatu.
Setelah itu, pelajaran pun dimulai, dan semua murid memperhatikan guru dengan fokus—atau setidaknya, berusaha fokus, Karena Bu Andin terkenal tegas dalam mengajar.
Beberapa jam kemudian....
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid langsung bersorak, beberapa bergegas ke kantin, dan yang lainnya mulai berkumpul dengan geng masing-masing.
“Ke kantin, yuk!” ajak Citra sambil menarik lengan Han dengan antusias.
“Kamu duluan aja. Aku ke toilet sebentar,” jawab Han santai.
Han berjalan menuju lorong belakang, tempat toilet berada. Namun saat berbelok di tikungan...
Buk!
Ia bertabrakan dengan seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Tubuh mungil itu langsung terdorong jatuh ke lantai.
“Aduh... pantatku,” keluh gadis itu sambil meringis.
Han menatap si gadis yang terjatuh dan ternyata itu adalah murid baru, Arabella.
“Kamu,” gumam Han, sedikit heran melihat siapa yang dia tabrak.
Arabella mendelik kesal, lalu mengulurkan tangannya.
“Bantuin, dong. Masa diliatin aja?” gerutunya.
Han, tanpa banyak bicara, membantu Arabella berdiri. Setelah itu, ia langsung berlalu menuju toilet tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Arabella yang diperlakukan dingin itu malah tersenyum. Matanya mengikuti punggung Han hingga pria itu menghilang di balik pintu.
“Menarik... ” bisiknya sendiri, senyum geli tersungging di bibirnya.
---
Beberapa menit kemudian, Han sampai di kantin. Matanya menyapu ruangan hingga menemukan Citra duduk sendirian di pojok.
Ia berjalan menghampirinya dan langsung duduk tanpa menunggu jawaban.
“Aku duduk di sini, ya,” ucap Han sambil menarik kursi.
Citra sempat kaget, tapi begitu menyadari itu Han, wajahnya langsung berbinar.
“Oh! Iya, duduk aja. Aku udah pesenin kamu bakso jumbo,” katanya bangga sambil menunjuk mangkuk besar di depannya.
Han tersenyum tipis, lalu langsung mengambil sendok.
“Wah... tahu aja kesukaan aku,” katanya sambil mulai menyantap bakso.
“Iya dong! Citra gitu loh~” jawab Citra narsis, dagunya sedikit terangkat bangga.
Han hanya mengangguk, terlalu sibuk menikmati baksonya yang hangat dan nikmat itu.
Saat sedang menikmati makanannya, Han tiba-tiba melihat sesuatu di sudut bibir Citra.
"Eh... itu ada saus. Padahal kan aku yang makan, kok bisa ada di situ," gumam Han sambil menunjuk sudut bibir Citra.
Tanpa pikir panjang, Han mengusap noda saus itu dengan ibu jarinya. lalu beralih kebibir kecil berwarna merah alami itu.
Citra yang tidak siap dengan perlakuan itu, langsung memerah. Kedua pipinya seperti tersiram air panas, dan ia menatap Han dalam-dalam.
"Ini nih... yang bikin aku candu," bisik Han tiba-tiba — dan tanpa aba-aba, ia mengecup bibir Citra singkat.
Mata Citra membulat, tubuhnya menegang. Ia memegang bibirnya yang baru saja disentuh Han, wajahnya benar-benar seperti tomat matang.
Untungnya, tak ada yang menyadarinya. walaupun Kantin sedang ramai, tapi semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing.
"Nekat banget, sih!" bisik Citra, sambil memukul pelan punggung Han.
"Kalau ketahuan orang gimana?"
"Ya paling kita langsung disuruh nikah sama pihak sekolah," kata Han santai, asal bicara.
Citra spontan melirik sekeliling.
"Semoga aja ada yang ngelihat..." batinnya bahagia, sambil menggigit bibir.
Han berdiri.
"Udah, yuk ke kelas. Sebentar lagi masuk."
Saat pelajaran sedang berlangsung. suara ketukakan pintu kelas terdengar.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi," suara Bu Andin terdengar dari balik pintu.
"Eh iya, Bu Andin. Ada apa ya?" tanya Bu Anisa, Wanita berusia 28 tahun itu dikenal sebagai guru muda yang cantik dan cerdas dan kebetulan saat ini adalah kelasnya.
"Maaf mengganggu sebentar. Saya Boleh pinjam Han?" kata Bu Andin sambil melirik ke arah Han.
"Silakan," sahut Bu Anisa.
Bu Andin menatap Han, lalu berkata,
"Hand Ivanov, ikut saya sebentar."
Han menatap Citra yang juga tampak bingung. Ia hanya mengangkat bahu tanda tak tahu apa-apa, lalu berdiri dan mengikuti Bu Andin keluar kelas.
"Maaf, Bu… kalau boleh tahu, Ibu memanggil saya karena apa, ya?" tanya Han dengan nada bingung sambil mengikuti langkah Bu Andin.
"Kalau itu, kamu tanyakan langsung saja pada Kepala Sekolah," jawab Bu Andin cepat, tanpa memperlambat langkahnya.
Han yang mendengar jawaban itu langsung merasa tidak tenang.
"Jangan-jangan aku ketahuan mencium Citra saat di kantin? Tapi rasanya tidak mungkin..." batin Han.
Sesampainya di ruang Kepala Sekolah, Han melihat seorang pria paruh baya dengan wajah tegas dan aura dingin duduk di depan meja Kepala Sekolah. Tatapannya tajam, seperti ingin menerkam.
"Permisi, Tuan Kepala Sekolah. Ini saya bawakan Han-nya," kata Bu Andin sambil sedikit menunduk.
Baru beberapa detik Han berdiri di dalam ruangan, pria paruh baya itu langsung menunjuk Han dengan tatapan membakar.
"Jadi kamu yang sudah bikin anak saya cacat!" bentaknya tiba-tiba, membuat ruangan hening seketika.
Han terdiam, matanya membulat. Sementara itu, Kepala Sekolah, Pak Tono, mencoba menenangkan.
"Mohon tenang dulu, Tuan Sapphire. Mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin," ucap Pak Tono hati-hati.
Namun, pria itu tidak menggubris.
"Saya minta bocah ini segera dikeluarkan dari sekolah! Jika tidak, saya akan menghentikan seluruh dana bantuan untuk sekolah ini, dan saya tidak akan segan menuntut karena sekolah ini telah melindungi siswa berbahaya!"
Kepala Sekolah menahan napas sejenak. Jika itu terjadi, bukan hanya reputasi sekolah yang hancur, tapi juga banyak program yang akan terhenti. Tuan Rendi adalah lima donatur terbesar di SMA Tamian School ini.
Han akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas.
"Maaf, Anda siapa, ya? Dan kenapa Anda tiba-tiba ingin saya dikeluarkan dari sekolah?"
Pria itu menyipitkan mata, lalu menyeringai sinis.
"Oh, jadi kau tidak tahu siapa aku? Pantas saja kau berani macam-macam dengan keluarga Sapphire. Perkenalkan, aku Rendi Sapphire, ayah dari Piqri Sapphire—anak yang kau buat patah tulang itu!"
Setelah mendengar itu Han mengerti jika pria paruh baya itu sedang menuntut balas akibat dirinya yang melukai Piqri.
“Apa benar itu, Nak Han? Kamu telah melakukan kekerasan terhadap Piqri?” tanya Pak Tono dengan nada serius.
Kalau itu terbukti, maka tidak ada toleransi untuk, Han. ia bisa dikeluarkan dari sekolah.
Han tetap tenang. “Benar, saya memang melakukan itu semua. Tapi saya hanya membela diri, Dia yang memprovokasi saya dan bahkan menyuruh para pengawalnya untuk menghabisi saya. Kejadian itu juga terjadi di luar lingkungan sekolah, jadi secara hukum sekolah tidak berkaitan.”
“Omong kosong!” bentak Rendi Sapphire. “Saya tidak peduli! Bahkan kalau bocah ini dikeluarkan pun, saya masih belum puas! Dia harus merasakan penderitaan yang sama seperti anak saya!”
Emosi pria paruh baya itu membuncah. Suaranya bergemuruh memenuhi ruangan, membuat Pak Tono menghela napas berat.
Kepala Sekolah. terlihat memegang kepalanya, Di satu sisi, Han tidak bisa sepenuhnya disalahkan—karena memang membela diri. Namun, mematahkan dua kaki dan tangan Piqri jelas bukan hal sepele, meskipun dalam dunia kultivator, hal seperti itu sudah biasa terjadi.
Pak Tono mencoba mencari jalan tengah.
“Begini saja, Tuan Rendi,” ucapnya hati-hati. “Saya akan men-skors Han selama satu bulan. Lagi pula, insiden ini terjadi di luar sekolah, jadi secara aturan internal kami tidak bisa memberikan sanksi lebih berat.”
“Tidak bisa!” bentak Rendi, berdiri dengan wajah merah padam. “Kalau begitu, anggap saja saya resmi menarik seluruh dana saya dari sekolah ini! Mulai hari ini, saya akan pastikan sekolah ini jatuh bersama bocah ini!”
Pak Tono terdiam. Situasi jadi semakin panas, walaupun hilangnya salah satu donatur, itu tidak terlalu berdampak terhadap Sekolah ini, tapi mendengar ancaman seperti itu membuat Kepala sekolah. tidak bisa tinggal diam, bagaimana pun keluarga Sapphire salah satu keluarga tingkat dua yang di segani.
Namun…
BRAK!!
Tiba-tiba pintu ruang Kepala Sekolah terbuka keras. Seorang Pria paruh baya yang terlihat masih muda masuk dengan langkah pasti. Sorot matanya tajam, aura yang memancar darinya membuat ruangan langsung hening.
“Apa yang terjadi di sini!?” suara itu tegas, seperti komando.