"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Menjaga
Murni menatap Elda dengan wajah cemas. Hatinya penuh keraguan. “Apa aku bisa?” bisiknya, nyaris seperti suara anak kecil yang takut mencoba hal baru.
Elda hanya mengangkat bahu ringan, seolah pertanyaan itu terlalu remeh. “Tentu bisa. Semua orang bisa, asal punya niat.”
Murni kembali menunduk, kali ini lebih dalam. Dadanya terasa sesak oleh beban yang tak kasat mata. Dalam diam, pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan buruk:
Bagaimana jika dia gagal? Bagaimana jika dia mempermalukan nama keluarga Harrington?
Bagaimana jika Kaan menyesali segalanya?
Hening menyelimuti ruangan selama beberapa detik yang terasa seperti menit.
Hingga akhirnya Murni mengangkat wajahnya perlahan, matanya kini tak lagi dipenuhi keraguan, melainkan tekad yang mulai tumbuh.
Ia menatap Elda lurus-lurus. “Aku setuju,” ucapnya. “Aku mau menjalani proses itu.”
Elda menyeringai tipis, sorot matanya terlihat seperti seseorang yang baru saja menjebak anak rusa ke dalam rimba. “Pilihan yang bagus,” katanya dengan nada yang nyaris terdengar licik.
“Tapi proses memanjat ini… tidak semudah yang kau bayangkan.”
.
.
.
Beberapa waktu sebelumnya.
Mobil Kaan berhenti mendadak di depan gedung apartemen. Pintu pengemudi terbuka, dan Kaan segera melompat keluar. Ia segera berlari masuk ke lobi gedung dengan napas memburu, dan langsung menuju lift tanpa menyapa satpam yang kebingungan melihat raut paniknya.
Tangannya menekan tombol lift berulang kali, meski lampu indikator sudah menyala. Seakan itu bisa membuat lift sampai lebih cepat.
Ding!
Begitu pintu lift terbuka, ia langsung melangkah masuk. Begitu pintu tertutup, ia berdiri tegak dalam keadaan gelisah. Kedua tangannya bertolak pinggang, dan kakinya menghentak-hentakkan lantai lift dengan ritme tak beraturan, terlihat jelas bahwa kesabarannya semakin menipis.
Deru napasnya memburu. Jantungnya menggedor-gedor liar tanpa ritme. Peluh menetes dari pelipis, menyusuri rahangnya. Akibat pikirannya dipenuhi dengan skenario terburuk yang terus berulang.
Ting!
Lift sampai di lantai tujuan. Begitu pintu terbuka, Kaan langsung melesat keluar.
Lorong apartemen terasa lebih panjang dari biasanya. Ia menapaki lantai demi lantai dengan langkah yang dipercepat oleh kegelisahan. Hingga akhirnya ia sampai di depan pintu unitnya.
Tangannya segera menyentuh gagang pintu yang ternyata pintu itu tidak terkunci.
Jantung Kaan mencelos. Dadanya berdegup semakin kencang. Ia segera membuka pintu dan menerobos masuk.
“Murni!” panggilnya dengan penuh harap dan kecemasan.
Namun tidak ada balasan. Hanya suara angin dari ventilasi yang mendesir lembut di kejauhan.
“Murni?! Murni!” Kakinya bergerak cepat, diikuti matanya yang menyapu seluruh ruangan. Namun berakhir tidak menemukan tanda-tanda keberadaan istrinya.
Ia bergerak ke dapur, kamar Murni, lalu ke kamar mandi, hingga mencari ke kamarnya sendiri, namun tetap saja ia tidak menemukan sosok yang dicari.
"Murni!!!” Suaranya mulai terdengar parau.
Ia kembali ke tengah ruangan. Napasnya terengah. Ia mencengkeram rambutnya dengan kasar dan mengacak-acak nya dengan perasaan frustasi.
Kaan mengeluarkan ponselnya, dan segera menekan nama Murni di layar, menelpon dengan harapan bisa mendapatkan informasi keberadaan istrinya.
Tringg! Tring!
Seketika, suara dering ponsel menyahut.
Kaan memutar tubuhnya cepat, dan langkahnya membawanya ke arah ruang tamu.
Matanya seketika membelalak. Ketika ia melihat ponsel Murni tergeletak begitu saja di atas meja.
Perasaannya langsung meluncur ke jurang gelisah, diikut perasaan i takut terjadi sesuatu pada Murni. Tenggorokannya terasa tercekat, ini kedua kalinya sejak lama, Kaan merasa benar-benar kehilangan arah.
Drinngg...
Dering lain menyusul, kali ini dari ponselnya sendiri. Dengan cepat, ia segera mengambil ponselnya dan melihat layar ponselnya yang menyala.
Sebuah pesan baru masuk dari Savielda.
Alisnya berkerut, namun segera membuka pesan itu tanpa pikir panjang. Di pesan chat, Savielda mengirimkan satu foto padanya.
Begitu gambarnya terbuka, napas Kaan sempat tercekat sejenak.
Di layar terpampang wajah Savielda dan Murni yang terbaring diam di atas ranjang, matanya terpejam seolah tertidur dengan tenang.
Kaan mengembuskan napas berat, tubuhnya sedikit mengendur dalam perasaan yang perlahan lega. Setidaknya, ia tahu jika istrinya dalam pengawasan orang yang ia kenal.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol panggilan di kontak Savielda.
Beberapa detik kemudian, panggilan pun tersambung.
"Di mana Murni?!" seru Kaan nyaris meledak tanpa basa-basi.
Terdengar suara wanita di seberang, suaranya tenang, seperti biasa namun dengan nada menyebalkan yang khas, seperti seseorang yang menikmati kekacauan yang ia ciptakan.
[Tenang saja, kekasih kecilmu aman bersamaku,] ucapnya santai. [Kau lamban sekali. Bahkan aku sempat bosan menunggumu bereaksi.]
Kaan mengepalkan rahangnya. “Apa maksudmu menculik Murni?! Di mana kau sekarang?!”
[Aku tidak menculiknya, aku hanya meminjamnya sebentar,] balas Savielda dengan nada genit yang menjengkelkan.
[Sebelum makan malam, dia akan kembali padamu. Mungkin dalam keadaan lebih baik ataupun tidak. Siapa tahu.] Lanjutnya.
“Saviel—”
Tapi panggilan seketika terputus. Membuat Kaan gagal bertanya lebih jauh.
Kaan menatap ponselnya dengan mata membara, dalam perasaan geram tak terbendung. Tapi dia sadar, semarah apa pun dirinya, ia tak tahu harus ke mana. Ia tak tahu lokasi Savielda saat ini, yang ia tahu hanyalah, Murni keadaan Murni yang baik-baik saja.
Tiba-tiba, satu notifikasi baru masuk dari orang yang sama.
Savielda: [Oh, aku hampir lupa. Tetangga tercintamu sudah diurus oleh orang-orangku. Haha, ternyata aku bertindak lebih cepat darimu, ya?]
Mata Kaan mengecil diikuti rahangnya yang mengeras. Ia hanya membaca pesan itu tanpa berniat untuk mengetik balasan. Ia menatap layar ponselnya sejenak, sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja.
Tubuhnya jatuh ke sofa, dalam keadaan lunglai. Napasnya panjang dan berat, seolah baru sadar betapa menegangkan nya beberapa menit terakhir.
Tangannya menggusar wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri. Tapi sisa-sisa pikiran kacau masih membendung benaknya. Perlahan, ia mulai memejamkan mata, membiarkan semua emosi berdesakan dalam diam.
Kemarahan, ketakutan, dan juga kekhawatiran, menyatu dalam satu perasaan yang mendominasi isi hatinya.
.
.
.
Suara ketukan pelan menggema samar di telinga Kaan.
...Tok...! Tok...!
Ia tidak langsung merespons. Tubuhnya masih terbaring setengah sadar di atas sofa ruang tengah, satu lengan terangkat menutupi matanya, mencoba menghalau cahaya lampu yang menyelinap masuk lewat celah di lengannya.
Tok! Tok!
Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dan mendesak. Kaan mengerjap, membuka matanya perlahan. Ia menghela napas pendek, menyadari kalau ia tertidur. Dengan gerakan malas, ia bangkit dari posisi rebahannya dan melangkah menuju pintu.
Begitu pintu dibuka, sosok itu berdiri tepat di hadapannya. “Murni…” ucap Kaan pelan, nyaris seperti gumaman.
Mata mereka saling bertemu sejenak. Ada jeda yang tak diucapkan di antara keduanya. Kaan refleks mengangkat tangannya, gerakannya ragu, nyaris seperti hendak menyentuh atau memeluk Murni. Tapi sebelum niat itu terlaksana, suara Murni lebih dulu memecah keheningan.
“Mas tidur?” tanyanya tiba-tiba.
Kedua tangan Kaan yang sempat terangkat setengah, seketika jatuh begitu saja ke sisi tubuhnya. Ia tersenyum tipis, sedikit kikuk seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah.
“Ah, yeah. Saya, tidak sengaja tidur di sofa." Jawabnya pelan, lalu memiringkan tubuhnya untuk membuka jalan masuk.
Murni pun melangkah masuk. Suasana rumah yang tadinya hening perlahan kembali berdenyut oleh kehadirannya. Ia berjalan langsung menuju dapur, seperti mencoba menyibukkan diri dari canggung yang belum juga reda.
“Mas udah makan?” tanyanya sambil membuka pintu lemari dan kulkas.
“Belum,” jawab Kaan, berdiri di ambang dapur sebelum akhirnya masuk mengikuti Murni.
“Aku buatin makanan ya. Aku tadi udah makan sama mbak Elda,” ujarnya, lalu mulai membuka rice cooker dan mengecek nasi yang masih hangat.
Murni mengeluarkan telur, sosis, dan sayuran dari dalam kulkas. Tangannya bergerak tanpa ragu dan cekatan, seperti sudah terbiasa melakukannya. Ia memutuskan untuk membuat nasi omelet, resep sederhana yang ia pelajari dari YouTube dan beberapa kali coba sendiri waktu senggang.
Kaan bergerak duduk di kursi makan, dalam diam mengamati. Tatapannya tenang, namun diam-diam mengamati setiap gerak Murni. Suara spatula yang mengaduk telur, aroma tumisan yang perlahan menyebar di udara, dan cara Murni fokus membuatkan makanan untuknya, terasa menarik untuk ditonton.
Lima belas menit kemudian, Murni mendekat sambil membawa sepiring nasi omelette yang masih mengepulkan uap.
Kaan menatapnya sejenak, sebelum mengambil sendok dan mulai menyendok suapan pertama.
Rasa hangat langsung memenuhi mulutnya. Perpaduan antara asin, manis, dan gurih membentuk harmoni sederhana yang mengejutkan. Ia terdiam sejenak, menikmati tiap rasa yang menyatu di lidahnya.
Dalam hati, Kaan baru menyadari, bahwa semenjak ia tinggal dengan Murni, ia jadi lebih sering makan malam dengan makanan berat. Dulu, malam-malamnya hanya ditemani sepotong roti, atau secangkir kopi yang diminum sendirian di tengah ruang tamu yang lengang.
Dan dalam diam itu, ada perasaan tenang yang perlahan tumbuh. Sesuatu yang tidak disadari Kaan sebelumnya, bahwa kehadiran Murni mulai membentuk kebiasaan kecil yang terasa nyaman. Terlalu nyaman, hingga ia mulai bertanya-tanya… apakah ia mulai menginginkan ini lebih dari sekadar kebiasaan?
Murni menarik kursi dan duduk di hadapannya. Tak ada suara apa pun selain dentingan pelan dari sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring Kaan.
Hening merayap di antara mereka, hanya suara langkah waktu yang terus berdetak tanpa suara. Hingga akhirnya, Kaan mengangkat pandangannya dan membuka suara lebih dulu.
"Kamu baik-baik saja?"
Murni menoleh sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik mas. Kenapa?”Jawabannya terdengar datar, dalam ritme yang tenang. Ada ketenangan yang seperti sengaja dibangun.
Kaan diam, seolah sengaja memberi jeda, sebelum satu pertanyaan lagi meluncur dari mulutnya.
"Di rumah... ada sesuatu yang terjadi?"
Murni terdiam. Tatapannya sempat kosong beberapa detik. Ia teringat jelas pesan dari Savielda yang memintanya untuk tidak memberitahukan soal insiden penangkapan yang terjadi padanya.
“Ndak,” jawabnya akhirnya. “Aku cuma ketemu mbak Elda, terus diajak mampir sebentar.”
Kaan menatapnya lama, terlalu lama untuk sebuah jawaban sesingkat itu. "Baiklah,” ujar Kaan singkat.
Ia tak bertanya lagi. Hanya kembali menyendok makanannya, diam-diam menyimpan sesuatu di kepalanya.
Dalam hatinya, Kaan bergumam, "akan ku tanyakan langsung padanya."
Beberapa menit kemudian, makanan di piring Kaan telah habis. Ia bangkit dan berniat membawa piring kotor ke wastafel, namun tangan Murni lebih dulu menghentikannya.
“Biar aku aja mas,” ucap Murni sambil mengambil piring dari tangannya.
Kaan diam. Ia mengangguk kecil lalu kembali duduk di kursinya. Pandangannya mengikuti gerak Murni yang sibuk mencuci piring dan merapikan dapur. Air mengalir lembut, disusul suara gesekan spons dan piring, menciptakan irama sunyi yang menenangkan.
Ia sempat menonton pekerjaan Murni, sebelum akhirnya menunduk. Pandangannya tertuju pada permukaan meja di depannya. Entah mengapa, malam ini ia merasa meja itu begitu menarik untuk ditatap.
Namun bukan meja itu yang sebenarnya menyita pikirannya, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia sembunyikan dalam diam.
"Sampai kapan hubungan kami seperti ini?"
"Bisakah ini bertahan selamanya? Atau justru akan berakhir tanpa pernah benar-benar dimulai?"
Kaan menggigit bibir bawahnya, merasa resah. Ada sesuatu yang mengganggu di dadanya, bukan rasa marah ataupun kecewa, tapi semacam keraguan yang menyiksa dalam diam.
Ia sadar, bahwa selama ini ia telah memperlakukan Murni lebih seperti teman serumah daripada seorang istri. Ada dinding tak kasat mata yang sengaja ia bangun sendiri karena takut.
Padahal jauh di dalam dirinya, ia menginginkan pernikahan ini berjalan dengan damai, layaknya suami istri pada umumnya.
Tapi ia terlalu takut.
Bukan takut pada perasaan.
Tapi takut pada dunia di luar sana. Dunia yang kejam. Dunia yang bisa kapan saja mengulurkan cengkeramannya dan menyakiti Murni hanya karena identitasnya.
"Mungkin, seperti ini lebih baik," batinnya.
Ia memutuskan untuk tetap bersikap biasa, meski itu berarti harus terus terlihat cuek di hadapan Murni. Baginya, itu jauh lebih baik daripada menyeret perempuan itu ke dalam sorotan yang penuh risiko.
Lamunannya terpecah saat suara Murni memanggilnya.
“…Mas? …Mas?!” Suaranya sedikit meninggi, nyaris setengah panik.
Kaan tersentak sedikit, lalu menoleh. Murni menatapnya, alisnya terangkat dengan cemas.
“Maaf, Mas. Soalnya Mas gak nyaut pas dipanggil.” Ujarnya, “mas baik-baik aja?”
Kaan mengangguk. “I’m okay,” ucapnya datar.
Tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya dan melangkah pelan menjauhi meja. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan dapur, tangannya terulur singkat menepuk kepala Murni perlahan.
Gerakannya cepat, seolah refleks dari sesuatu yang tak sempat disaring oleh logika. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan dapur.
Murni terdiam di tempatnya. Gerakan Kaan tadi membuatnya tertegun. Rasanya... aneh, tapi bukan dalam arti yang buruk. Ada rasa hangat yang samar menggelitik di dalam perutnya. Seperti disentuh oleh sesuatu yang asing, namun menyenangkan.
Tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣