PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 34
SOSOK Kurus berwajah tua berdiri di atas gundukan tanah yang
membukit. Gundukan tanah itu mirip kuburan raksasa, tanpa
pohon dan batu kecuali rumput yang mirip karpet hijau itu.
Wajah si sosok tua dapat membuat bulu kuduk merinding,
bahkan orang hamil bisa miskram mendadak karena rasa ngeri
melihat wajah bermata cekung, tulang pipi dan tulang rahang
saling bertonjolan. Jubah abu-abunya tak dikancingkan. Jubah itu bergerak-gerak ditiup angin perbukitan hingga menyerupai sayap kelelawar penghisap darah. Rambut putihnya yang dikonde sebagian itu juga meriap-riap dihembus angin tanpa permisi dulu oleh si pemilik rambut.
Sosok tua kurus jelek dan angker itu milik seorang nenek yang
berkuku runcing warna kehitam-hitaman. Kuku itu dapat untuk
merobek kulit singa, apalagi kulit jeruk. Dengan pakaian dalam
warna putih kusam, sosok tua yang jelas berjenis kelamin
perempuan itu sekarang sedang menjadi bahan pembicaraan
para tokoh rimba persilatan. Dia adalah Nyai Dupa Mayat, guru si Dewi Ranjang, yang terbunuh dalam pertarungannya dengan Pendekar Mabuk, alias Suto Sinting. Nyai Dupa Mayat memang mempunyai keringat berbau dupa. Wajah tuanya yang keriputan dengan kedua bibir mirip jahitan celana itu mempunyai kulit pucat, sepucat seorang.almarhumah. Karena ia dikenal dengan nama Nyai Dupa Mayat. Tapi nama aslinya semasa gadis adalah Pratiwi Ekawati.
"Ya, aku ingat nama itu. Tak kusangka nama secantik itu
sekarang diganti dengan nama angker mirip kuburan leak," ujar
seorang lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Lelaki
itu memandang Nyai Dupa Mayat dari kejauhan, tepatnya dari
balik kerimbunan pohon hutan, ia bersembunyi di sana
bersama seorang pemuda lulusan Pulau Parang yang punya
wajah tampan itu.
Masih ingat pemuda yang ke mana-mana membawa tongkat
pramuka sebagai senjata toya andalannya? Tongkat itu dari
bambu kuning dan mempunyai kesaktian tersendiri, walaupun
tak sesakti bambu tuaknya si Pendekar Mabuk. Pemuda murah
senyum itu adalah Sandhi Tanayom yang sering disingkat
menjadi Santana.
"Apakah Guru kenal betul dengan nenek kempot itu?" tanya
Santana kepada lelaki tua yang ternyata gurunya sendiri itu.
"Dulu aku bukan saja kenal dengannya, tapi juga pernah
mengadakan hubungan manis dengannya. Yaah... semacam
cinta monyet, begitulah kira-kira," ujar sang Guru tanpa malu-malu.
Santana sunggingkan senyum geli tertahan. "Amit-amit,"
gumam Santana lirih.
"Mau-maunya Guru bercinta monyet dengan perempuan keriputan seperti sarung tak dicuci itu?!"
"Oh, waktu itu dia masih muda dan paling cantik diantara yang
berwajah jelek. Dulu dia punya bentuk tubuh sekal, padat berisi. Dadanya juga seperti semenanjung Malaka."
"Maksudnya...?"
"Menjorok maju dan... dan memang joroklah pokoknya!" ujar
Guru dengan lagak santai, jika bicara selalu seenaknya, ia
tak pernah merasa tua dan kadang lupa bahwa dirinya adalah
seorang guru bagi muridnya. Sang Guru itu juga murah senyum
dan selalu ceria. Semangat mudanya masih menyala-nyala
pandangan matanya pun masih jelas, sehingga
membedakan perempuan mana yang cantik dan yang tidak
cantik, hamil dan tidak hamil, mati dan tidak mati.. semua
dibedakan dengan mudah oleh si Guru. Sebab itulah, si Dewa Bandot mempunyai nama julukan yang cukup dikenal bagi
sahabatnya.
Dewa Bandot, Itulah julukan gurunya Santana yang bertubuh tak terlalu kurus namun juga tidak gemuk, alias sedang-sedang saja. Kebiasan bermain kalung manik-manik biru yang panjangnya sampe perut itu merupakan ciri si Dewa Bandot yang tak dilupakan oleh para sahabatnya. Seperti saat itu, di persembunyian pun tangannya bermain kalung maniknya seraya pandangi Nyai Dupa Mayat. Sang Nyai juga mengenakan kalung dari butiran batu hitam namun tak sepanjang kalung yang dipakai si Dewa Bandot.
"Jadi, jauh-jauh dari Pulau Parang kau membawaku ke
hanya ingin kau suruh melihat bekas kekasihku itu?!" bisik Dewa Bandot kepada muridnya.
"Aku tidak tahu kalau dia bekas kekasih monyetnya Guru. Aku
hanya ingin tunjukkan kepada Guru, nenek itulah yang punya
ilmu 'Gerhana Senyawa', yaitu ilmu yang bisa membuat
bayangannya bergerak sendiri dan."
"'Sudah, sudah... kau tak perlu jelaskan padaku. Aku gurumu,
berarti aku lebih tahu tentang berbagai macam ilmu!" potong si
Dewa Bandot. "Ngomong-ngomong, lmu 'Gerhana Senyawa'
itu kehebatannya di mana, Santana?"
"Huuhh, tadi mau dijelaskan Guru melarang. Sekarang malah
menanyakannya." Sambil pamerkan senyum tuanya, Dewa Bandot berbisik lirih,
"Yaah namanya orang sudah tua begini, kadang lupa dengan
ucapannya sendiri. Maklumi saja, Santana. Jangan jadi beban
pikiranmu, nanti kau jatuh sakit, makin parah, lalu mati. itu tidak
baik, Santana." Entah apa yang digerutukan Santana, sebab anak muda itu jika ditanya sering memberi jawaban yang berbeda dengan maksud pertanyaannya. Mau tak mau si Dewa Bandot ajukan tanya lagi. Akhirnya sang murid mengulang penjelasannya tadi.
"Bayangan itu bisa bergerak sendiri memburu lawan atau
menyerangnya. Bayangan hitam itu mempunyai daya panas
yang sangat tinggi, sehingga siapa pun tersentuh bayangan
tersebut dapat terbakar, bahkan banyak yang menjadi
Tersebut dapat terbakar, bahkan banyak yang menjadi abu
seketika."
"Ooo... ya, ya... sekarang aku ingat, lImu 'Gerhana Senyawa' itu
adalah kekuatan inti segala api, termasuk api neraka dan api
unggun diserapnya. Tentu saja dapat membuat seseorang
menjadi abu atau arang dengan sekali sentuh."
"Tapi mengapa bayangannya bisa bergerak sendiri tidak sesuai
dengan gerakan orangnya, Guru?"
"Itu kekuatan iblis! Jadi, kekuatan iblis masuk ke dalam dirinya
dan selalu berada pada bayangan. Karena iblis ada dalam
bayangannya, maka bayangan itu dapat bergerak sendiri.
Sebab itulah dikatakan 'Senyawa' artinya, sama-sama punya
nyawa tapi juga sama-sama punya bentuk seperti pemiliknya,
hanya beda wujud kasarnya."
Obrolan di balik persembunyian itu terhenti, karena perhatian
mereka segera terpusat kembali kepada Nyai Dupa Mayat yang
berdiri dengan kedua tangan bersidekap di dada. Karena
matahari tepat di pertengahan langit, maka bayangan Nyai
Dupa Mayat tepat berada di bawah kakinya. Tegak lurus
dengan tubuhnya. Rupanya ada sesuatu yang ditunggu oleh
Nyai Dupa Mayat, sehingga ia berada di tempat itu. Sesuatu
yang ditunggu tersebut ternyata sudah datang dan kini sang
Nyai yang bertubuh masih tegak tanpa kebungkukan itu segera
pandangi orang yang baru datang. la masih berada di atas
gundukan tanah, sehingga dapat terlihat dan melihat dengan
jelas.
"Siapa orang yang baru datang itu, Santana? Apakah kau kenal
dengannya?!"
"Memang benar. Dia menunggu kedatangan orang itu," jawab
Santana seperti orang tuli diajak bicara.
Sang Guru terpaksa mengulang dengan nada agak jengkel.
"Yang kutanyakan, siapa orang yang baru datang itu?!"
"Oh, nama orang itu?! Hmmm... namanya..."
Sebelum Santana menjawab secara lengkap, tiba-tiba
sekelebat bayangan melintas di depan mata mereka. Bayangan
itu berkelebat menuju ke arah Nyai Dupa Mayat, tapi tidak
mengetahui keberadaan Santana dengan gurunya di balik
pohon bersemak-semak itu. Jleeg...! Bayangan yang berkelebat
bagaikan angin itu hentikan langkah dan tahu-tahu sudah
berdiri di samping orang yang sudah lebih dulu menghadap
Nyai Dupa Mayat.
"Edan! Keduanya sama-sama cantik, Santana!" Ujar si Dewa
Bandot dalam bisikan.
"lya... cantik semua, Guru. Dan..."
"Ssst..." sang Guru mendesis sambil memberi isyarat dengan
telunjuk ditempelkan ke mulut.
...*...
...* *...