Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22, Ada yang khawatir nih
Hujan belum berhenti. Petir menyambar langit seperti naga yang menjerit.
Aula batu benteng Lethra kini berubah jadi arena kematian.
Elara berdiri berhadapan dengan Bayangan Perak sosok tinggi bertopeng, dengan pedang panjang yang mengeluarkan aura dingin. Nereth berdiri di sisi mereka, seperti dirigen yang menunggu orkestra berdarahnya dimulai.
“Jangan ragu, Elara,” katanya dengan nada seolah memberi nasihat. “Kau tahu, orang yang ragu akan selalu kalah.”
Elara tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada mata di balik topeng itu mata perak yang dulu… hangat.
Mata yang mengingatkannya pada seseorang.
“Liam…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tubuh pria bertopeng itu menegang sesaat hanya sesaat lalu kembali diam.
Kaen menatap keduanya tak mengerti.
“Siapa dia, Elara?”
Elara menghela napas pelan.
“Dulu… dia partnerku.”
Bertahun-tahun lalu sebelum Elara menjadi Permaisuri, sebelum Aira terjebak di dunia ini dia adalah bagian dari organisasi bawah tanah modern.
Dan Liam adalah satu-satunya orang yang bisa menandingi kecepatannya. Mereka berdua ditugaskan untuk saling membunuh dalam sebuah ujian.
Aira menang.
Atau begitulah yang ia kira.
Kini, lelaki itu berdiri di depannya hidup, tapi tanpa jiwa.
“Dia seharusnya mati,” gumam Elara dingin.
“Tapi rupanya, Nereth menemuinya lebih dulu.”
“Kau menyelesaikan setengah pekerjaanku waktu itu,” sahut Nereth dengan tenang. “Tubuhnya sekarat, tapi pikirannya masih bisa dipulihkan. Aku menjadikannya sempurna prajurit tanpa emosi, tanpa keraguan. Bayanganmu yang sesungguhnya.”
Kaen melangkah maju, marah.
“Jadi kau memperbudak manusia?”
“Manusia?” Nereth tersenyum. “Kau salah. Kami menciptakan sesuatu yang lebih dari manusia.”
Elara menggertakkan gigi.
“Tidak. Kau hanya menciptakan monster.”
Ia mencabut belatinya.
Lalu dalam sekejap, pertempuran dimulai.
Pedang dan belati bertemu di udara. Percikan api berloncatan. Setiap gerakan mereka seperti bayangan saling meniru.
Liam menyerang cepat, Elara menangkis, lalu memutar balik dengan serangan yang sama. Seolah mereka masih saling memahami cara berpikir satu sama lain.
“Kau masih cepat,” kata Elara terengah. “Tapi aku lebih berpengalaman sekarang.”
“Aku tidak butuh pengalaman,” jawab Liam datar. “Aku hanya butuh perintah.”
Satu kalimat itu membuat dada Elara bergetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang terlalu dalam.
“Kalau begitu, dengarkan perintahku,” katanya lirih.
“Bangunlah. Ingat siapa dirimu.”
Tapi Liam tidak bereaksi. Ia justru menyerang lebih keras, membuat Elara terdorong mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu.
Kaen hendak melompat masuk, tapi Elara berteriak,
“Jangan ikut campur!”
Pertarungan terus berlangsung, sampai akhirnya Elara berhasil menahan pedangnya, lalu meninju dada Liam dengan kekuatan penuh.
Topengnya retak.
Potongan logam jatuh ke lantai, memperlihatkan wajah lelaki yang kini pucat dan tanpa ekspresi.
Elara terdiam. Air hujan menetes dari langit-langit, membasahi rambutnya.
“Liam…” katanya lirih. “Kau tidak pantas jadi alatnya.”
Nereth bertepuk tangan pelan di belakang.
“Dramatis. Tapi sia-sia.”
Elara menoleh dengan tatapan membunuh.
“Kau benar-benar ingin aku membunuhmu malam ini.”
“Oh, aku tidak khawatir,” jawab Nereth ringan. “Karena saat ini, pasukanmu sedang dikepung di luar benteng oleh orang-orangku.”
Kaen langsung berlari ke jendela dan melihat ke bawah. Api mulai terlihat di kejauhan.
“Sial! Mereka menyerang dari sisi timur!”
Elara memejamkan mata sebentar, menahan emosi.
“Nereth… kau benar-benar tidak tahu kapan berhenti.”
Ia mengangkat belatinya.
“Baik. Kalau malam ini harus berakhir, maka aku pastikan kau ikut terbakar bersamaku.”
Petir menyambar lagi, dan kali ini, ledakan besar terdengar dari sisi timur benteng. Api menyebar cepat Kaen memerintahkan pasukan kecil mereka untuk mundur.
Liam, yang terluka, mulai goyah. Elara mendekatinya, menyentuh pipinya perlahan.
“Kalau kau masih bisa mendengarku…” katanya lirih, “lawan perintahnya. Sekali saja.”
Mata Liam berkedut dan untuk sepersekian detik, sebuah air mata jatuh dari mata peraknya.
Nereth tertegun.
“Tidak mungkin…”
Liam berbalik menatap gurunya — lalu menyerang.
Pedangnya menembus dada Nereth.
“Perintah terakhirku…” katanya pelan, “selamatkan dia…”
Nereth berteriak, darah muncrat. Liam tersenyum tipis, lalu jatuh ke tanah, tak bergerak.
Elara berlutut di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin.
“Akhirnya kau bebas,” bisiknya.
Kaen menariknya berdiri.
“Kita harus pergi, sekarang!”
Api mulai menjalar ke seluruh aula. Dinding-dinding batu mulai retak. Elara menatap sekali lagi ke tubuh Liam, lalu berbalik tanpa suara.
Di luar, angin malam membawa bau darah dan abu.
Benteng Lethra perlahan runtuh di belakang mereka.
Sementara itu, jauh di istana, Kaisar Kaelith berdiri di balkon tertinggi, matanya menatap ke arah utara.
Ia menggenggam cawan anggur, tapi cairan merah itu bergetar bersama tangannya.
“Dia terlambat kembali,” gumamnya.
“Yang Mulia,” salah satu pengawal bersuara hati-hati, “pasukan pengintai melaporkan ledakan besar di wilayah utara—”
Gelas di tangan Kaisar pecah.
“Siapkan kuda,” suaranya rendah tapi mematikan.
“Kalau Elara mati di sana… seluruh utara akan kubakar.”
Angin malam membawa debu panas dari reruntuhan Lethra.
Elara berjalan terseok di antara kobaran api, mantel hitamnya compang-camping, sebagian wajahnya berlumur darah. Kaen menopangnya dari sisi kanan, napas mereka sama-sama berat.
“Kita harus keluar dari sini sebelum benteng ini benar-benar runtuh,” kata Kaen.
“Sedikit lagi...,” jawab Elara lemah, “di belakang bukit itu ada jalan turun.”
Di belakang mereka, dinding batu runtuh, membuat ledakan kecil yang menggetarkan tanah.
Api menelan segalanya,masa lalu, kenangan, dan dosa-dosa lama yang tak pernah sempat ditebus.
Elara berhenti sebentar, menatap ke arah benteng yang kini menjadi lautan api.
“Liam…” gumamnya lirih.
“Kau telah menebus semuanya.”
Kaen menggenggam bahunya dengan lembut.
“Dia akan tenang sekarang. Tapi kalau kau tetap di sini, kau akan ikut bersamanya.”
Elara mengangguk perlahan dan melangkah lagi. Namun tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Darah mengalir dari luka di sisi perutnya terlalu dalam.
“Jangan berhenti!” Kaen memekik, tapi Elara tersenyum tipis.
“Lucu… dulu aku terbiasa lari dari peluru, tapi sekarang justru kalah oleh pedang kuno.”
Kaen ingin menjawab, tapi tiba-tiba suara derap kuda terdengar dari arah utara. Banyak.
Mereka berdua spontan bersembunyi di balik batu besar.
Kilatan bendera kerajaan terlihat dalam nyala api.
Di barisan depan, seekor kuda hitam berhenti dengan mendadak.
Kaisar Kaelith turun dari pelana, jubahnya basah oleh hujan dan lumpur, tapi tatapannya tajam, liar, nyaris seperti binatang yang kehilangan sesuatu yang berharga.
“Cari dia!” teriaknya. “Hidup atau mati, aku ingin Elara di depanku malam ini!”
Para prajurit menyebar.
Kaen menatap Elara khawatir.
“Kalau dia melihatmu seperti ini, dia bisa membunuh setengah tentaranya karena panik.”
“Biar saja,” suara Elara nyaris seperti bisikan. “Aku tidak peduli apa yang dia hancurkan… asal dia benar-benar datang.”
Tapi langkah kuda semakin dekat.
Tak sampai beberapa menit, Kaelith berdiri hanya beberapa meter dari mereka, matanya menyapu reruntuhan dan berhenti tepat di Elara.
“Elara!”
Suara itu menggema di tengah hujan dan api.
Elara mendongak pelan, matanya kabur, tapi senyum samar muncul di bibirnya.
“Kau akhirnya datang juga…”
Kaelith segera berlari, tanpa peduli lumpur dan bara. Ia berlutut di sampingnya, memeluk tubuh Elara yang setengah pingsan.
“Apa yang kau pikirkan, datang ke tempat ini sendirian?” suaranya bergetar marah.
“Aku tidak sendirian…” bisik Elara. “Ada Kaen… dan seseorang yang sudah lama menungguku.”
Kaisar menatap luka di perutnya, lalu tanpa ragu melepaskan mantel emasnya untuk menutupinya.
“Diam. Jangan bicara lagi.”
Elara menggeleng lemah.
“Kau tidak bisa mengaturku bahkan ketika aku hampir mati.”
Kaelith menatapnya lama, lalu tertawa kecil meski matanya berkaca-kaca.
“Permaisuri paling keras kepala di dunia.”
Kaen berdiri beberapa langkah di belakang, menunduk dalam diam. Ia tahu saat itu hanya ada dua orang yang penting di dunia ini Elara dan Kaelith.
“Kita harus segera keluar dari sini,” katanya cepat.
“Pasukan Nereth mungkin masih”
“Tidak akan ada lagi pasukan Nereth,” potong Elara. “Benteng itu… sudah mengubur mereka semua.”
Kaelith menatap reruntuhan Lethra yang masih menyala.
“Kalau begitu, biarkan api itu jadi kuburan mereka.”
Ia mengangkat Elara ke dalam pelukannya. Wanita itu sempat berusaha menolak, tapi tak lagi punya tenaga.
“Kaelith…” bisiknya lemah, “kalau aku mati malam ini, jangan tangisi aku.”
Kaisar menatapnya tajam.
“Aku tidak tahu cara tidak menangisi seseorang yang membuatku hidup lagi.”
Hujan semakin deras. Suara gemuruh api perlahan mereda.
Kaelith menaiki kudanya dengan Elara di pelukan, sementara Kaen menunggang di belakang mereka.
Mereka meninggalkan benteng Lethra meninggalkan masa lalu yang hangus menuju istana dengan fajar yang kelam.
Beberapa jam kemudian, di istana utama, tabib berlarian di lorong, mempersiapkan ruang pengobatan.
Kaelith tak bergeming di sisi ranjang saat Elara ditangani. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatapnya tanpa berkedip.
“Dia akan selamat, Yang Mulia,” kata tabib utama. “Asalkan dia mau istirahat beberapa minggu.”
Kaelith mengangguk, suaranya rendah.
“Kalau dia tidak mau, pastikan kau buat dia mau. Dengan paksa sekalipun.”
Setelah semua orang pergi, ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Elara.
“Kau tahu…” suaranya hampir berbisik, “aku tidak pernah takut pada perang, tapi malam ini aku takut kehilanganmu.”
Elara yang setengah sadar hanya tersenyum samar.
“Lucu. Aku justru takut kau akan berubah menjadi monster kalau aku mati.”
Kaelith menunduk, menempelkan dahinya di punggung tangannya.
“Kalau kau mati, aku tak akan jadi monster. Aku akan jadi kuburan bagi seluruh kerajaan ini.”
Hening.
Hanya suara hujan di luar jendela dan napas lemah Elara yang menandai bahwa kehidupan masih ada di ruangan itu.