Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33_Cinta yang Menuntun Kebenaran
Langit pagi itu masih kelabu. Hujan gerimis turun seperti sisa-sisa air mata dari malam yang panjang. Namun, di ruang rawat inap tempat Namira dirawat, ada kehangatan yang berbeda. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menyinari wajah Namira yang mulai kembali berseri. Ia duduk bersandar di ranjang, mengenakan kaus abu-abu lembut, selimut disampirkan di pangkuannya.
Namira memandangi layar ponsel yang menampilkan berita tentang dirinya. Judul-judul mulai berubah. Wajahnya yang dulu dipenuhi tuduhan kini disandingkan dengan kata “korban” dan “rekayasa media”. Matanya berkaca-kaca.
Ketika pintu kamar terbuka, langkah kaki yang akrab masuk. Sean datang dengan senyum kecil dan kantong kertas berisi makanan dari kafe favorit Namira.
“Aku tahu kamu pasti bosan dengan makanan rumah sakit,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidur.
Namira menatapnya dengan mata lembut.
“Terimakasih... karena kamu bertahan.”
Sean duduk, membuka kantong makanan, lalu menyerahkan satu kotak kecil ke tangannya.
“Kamu satu-satunya alasan aku bertahan.”
Namira menunduk, menggigit bibir. Suaranya pelan.
“Aku takut semua ini akan menghancurkanmu juga.”
“Tapi kamu tahu,” ujar Sean, menggenggam tangan Namira, “kadang, orang harus melalui kehancuran dulu, agar dia bisa menemukan ulang arah hidupnya.”
Namira diam. Ia memandang mata Sean, dan di sana, tidak ada kemarahan, tidak ada kekecewaan. Hanya ketenangan... dan cinta.
“Aku merasa bersalah,” ucapnya.
“Bukan karena aku melakukan kesalahan, tapi karena aku membiarkan kamu terluka oleh sesuatu yang seharusnya bisa aku bagi sejak awal.”
Sean menggeleng.
“Kamu hanya terlalu terbiasa melindungi orang lain. Sampai kamu lupa kamu juga butuh dilindungi.”
Ia menarik napas dalam.
“Namira, aku pernah salah menilai. Aku terlalu menjunjung tinggi ketenanganku, terlalu sibuk menjaga agar hidupku tidak terguncang, sampai aku gagal melihat betapa kamu sendiri berperang dengan duniamu dan kali ini... biarkan aku yang berdiri di sampingmu. Bukan hanya sebagai pelindung, tapi sebagai seseorang yang mencintaimu tanpa syarat.”
Namira tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu tahu, waktu pertama kali kita berdebat soal paket, aku tahu kamu akan jadi masalah.”
Sean tertawa pelan, “dan aku tahu kamu akan mengubah segalanya.”
Mereka berpelukan. Tidak ada kata-kata lagi. Hanya detak jantung yang seirama, seakan alam semesta memberi ruang sejenak agar dua jiwa ini bisa bernapas bersama, bebas dari luka.
***
Sementara itu, di tempat lain, Anton dan Nina kembali mengatur pergerakan. Mereka berkumpul di kedai kopi kecil yang biasa jadi markas tak resmi mereka.
“Bima mulai kehilangan pijakan,” ujar Anton sambil menyodorkan ponselnya.
“Beberapa investor mulai menarik diri. Reputasi perusahaannya mulai runtuh.”
“Yap… dan kita belum selesai,” sahut Nina tegas.
“Aku sudah siapkan satu dokumen tambahan laporan manipulasi dana yayasan sosial milik Bima. Itu akan jadi paku terakhir di petinya.”
“Kamu yakin bisa menyebarkannya dengan aman?”
“Aku tidak sendiri,” jawab Nina.
“Ada jurnalis senior yang kini tertarik dengan kasus ini. Dia bilang, ‘Kebenaran yang tertunda tetap bisa mengguncang dunia jika waktu dan caranya tepat.’
Anton menatap Nina kagum. Ternyata wanita di depannya ini, memiliki banyak relasi juga untuk menemukan kelemahan Bima.
“Kamu luar biasa.”
Nina hanya tersenyum.
“Aku hanya belajar bahwa diam kadang lebih mematikan daripada berkata-kata.”
***
Beberapa hari kemudian, kejutan lain mengguncang publik. Sebuah siaran dokumenter berdurasi tiga puluh menit muncul di berbagai platform digital. Isinya bukan hanya tentang Namira, tapi juga tentang bagaimana media bisa dijadikan alat penghancur ketika dikuasai oleh segelintir orang berkuasa.
Rekaman suara dua jurnalis anonim, video pengakuan teman hotel Anton, serta cuplikan dari CCTV yang berhasil diselamatkan, semuanya disusun dalam satu alur narasi yang kuat dan menyentuh.
Publik merespon. Komentar-komentar berubah arah. Desakan terhadap penyelidikan terhadap Bima mulai menggema. Tekanan dari masyarakat menjadi kekuatan baru. Bima, yang sebelumnya duduk tenang di menara kekuasaannya, kini berada dalam pusaran yang ia buat sendiri.
***
Di ruang kantornya, Bima menerima surat resmi dari pihak berwajib. Ia diminta datang untuk memberikan keterangan atas dugaan rekayasa media, pelecehan, dan manipulasi dana. Wajahnya tegang. Ia tahu, jika ia melangkah ke gedung itu, ia tidak akan keluar dengan nama yang sama. Namun yang membuatnya lebih takut bukan surat itu. Tapi kenyataan bahwa kekuasaan bisa habis, uang bisa menghilang, tapi kebenaran... jika sudah bicara, tidak bisa dihentikan. Ia memukul meja, frustrasi.
“Sean... Namira... kalian pikir ini selesai?”
Tapi di dalam hatinya, ia tahu: perlawanan mereka terlalu kuat, terlalu tulus... dan terlalu benar.
***
Di rumah sakit, Namira mulai pulih. Meski luka-lukanya belum sepenuhnya sembuh. Tapi semangat dalam dirinya mulai menyala lagi. Ia menatap ke luar jendela, mengingat semua yang telah ia lewati.
Ketika Sean datang sore itu, ia membawa kabar baik.
“Pihak berwajib sudah mulai penyelidikan dan publik sepenuhnya di pihakmu.”
Namira tersenyum tipis.
“Aku tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi.”
Sean duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
“Semua yang kamu alami, semua luka itu... akan menjadi saksi bahwa kamu pernah bertahan di saat dunia nyaris membuatmu jatuh dan kamu tahu? Bertahan itu juga sebuah kemenangan.”
Namira menatapnya.
“Kamu tahu kenapa aku akhirnya bisa pulih?”
“Karena kamu kuat.”
“Karena kamu datang,” bisik Namira.
Sean tersenyum.
“Kalau begitu... izinkan aku untuk tetap tinggal. Di setiap langkahmu, di setiap keputusan yang kamu ambil, aku ingin ada di sana. Bukan untuk menyelamatkanmu... tapi untuk berjalan bersamamu.”
Kadang, yang benar tidak selalu terlihat paling kuat. Tapi ketika kebenaran bersatu dengan keberanian dan cinta, ia akan menuntun semua langkah menuju kemenangan.
***
Di sebuah ruangan sunyi, jaksa penuntut menatap berkas besar bertuliskan nama: Bima Putra Negara.
“Beri prioritas. Ini kasus yang akan mengguncang,” ujarnya kepada asistennya.
...****************...
Di luar sana, Namira berdiri di bawah langit biru. Untuk pertama kalinya, udara terasa ringan di dadanya. Ia menoleh ke Sean, yang berdiri di sampingnya.
“Kamu siap?” tanya Namira.
Sean tersenyum. “Selalu.”
Mereka melangkah maju, menyambut hari baru.
YA TUHANNN. GA KEBAYANG GIMANA HANCURNYA SEAN /Sob//Sob/