Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Tiga Puluh Tiga
***
Hari itu cuaca cukup cerah. Langit biru membentang tanpa awan, matahari bersinar hangat. Namun, tidak demikian dengan hati Hafiz. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. Ia duduk di balik meja kerjanya di lantai lima, namun pikirannya tidak berada di ruangan itu.
Sudah beberapa hari ini, Serena terasa berbeda. Dan perasaan itu bukan muncul begitu saja.
Hafiz bukan tipe yang gampang curiga, tapi dia cukup peka. Terlebih ketika seseorang yang sebelumnya terbiasa membalas pesannya dengan cepat, kini bahkan tak membaca pesannya sama sekali. Ketika sebelumnya Serena tersenyum walau singkat saat mereka bertemu di kantor, kini ia selalu terburu-buru, seolah mencari alasan untuk pergi.
Tadi pagi, saat Hafiz sengaja turun ke lantai dua dengan alasan mengecek ruangan audit, ia melihat Serena di meja kerjanya. Tapi baru saja ia mendekat, Serena berdiri dan berjalan cepat ke arah ruang arsip. Tak sempat ia menyapa, tak sempat bertanya.
Sore kemarin pun begitu. Ketika Hafiz berdiri di lobby, berpikir ingin menawarkan tumpangan pulang seperti biasa, ia melihat Serena keluar dari lift, tapi memilih menyeberang lobby ke arah pintu belakang dan berdiri jauh dari kerumunan.
Bahkan ketika ia berjalan mendekat, Serena tiba-tiba melangkah lebih cepat dan langsung masuk ke mobil ojol yang datang.
Bukan sekali. Bukan dua kali. Tapi berkali-kali.
Itu bukan kebetulan. Hafiz tahu itu.
Di ruang kerjanya, Hafiz menyandarkan punggung ke kursi. Ia mengusap wajahnya pelan, mencoba memahami situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bukankah semuanya berjalan baik-baik saja? Bukankah beberapa malam lalu, di parkiran warung makan itu, mereka sempat saling bicara dari hati ke hati? Bukankah Serena terlihat tersentuh ketika ia mengungkapkan perasaannya?
Lalu kenapa sekarang semuanya terasa dingin?
Apa mungkin... Karena Mama nya?
Hafiz menarik napas panjang. Ia menyesali satu hal, tidak memberi tahu Serena lebih awal tentang rencana perjodohan yang digagas orang tuanya. Ia tahu itu bisa menimbulkan salah paham. Tapi ia juga tidak menyangka bahwa perasaan Serena bisa sedalam itu—hingga memilih menjauh.
Ia bahkan tidak tahu pasti... apakah Serena menyukainya atau tidak. Namun, sikap Serena akhir-akhir ini justru membuatnya yakin, iya, Serena menyukainya. Dan karena itulah Serena menjauh.
Karena Serena merasa... tak pantas. Tak diinginkan oleh keluarganya. Atau mungkin, takut akan terluka lebih dalam lagi.
Hafiz mengusap pelipisnya. Perutnya lapar tapi ia enggan makan. Pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Di kejauhan, langit mulai memudar menjadi biru keabu-abuan. Hari menjelang siang, dan di lantai bawah pasti jam makan sudah dimulai.
Biasanya, ia akan turun dan mencari Serena. Menawarkan makan siang. Sekadar duduk di meja divisi umum dan bercanda ringan bersama teman-teman Serena yang suka heboh. Tapi sekarang... ia tahu, jika ia turun, Serena pasti akan pergi duluan.
Dan itu terasa lebih menyakitkan daripada penolakan yang terang-terangan.
Jam makan siang, Hafiz hanya memesan makanan dari aplikasi dan memakannya di ruangannya sendiri. Ia membuka ponsel dan menatap layar kosong. Chat dengan Serena masih ada di sana, tidak terhapus. Hanya saja... tak ada balasan. Terakhir, ia hanya menuliskan:
"Apa aku salah bicara malam itu?"
Tapi tetap tak ada balasan. Sudah tiga hari.
Hafiz membuka daftar kontak dan mengarahkan jempol ke nomor Serena. Ia ragu. Ingin menelepon, tapi tahu kemungkinan besar tidak akan diangkat. Atau malah Serena makin merasa risih. Hafiz tahu batas.
Tapi ia juga tahu, kalau diam terlalu lama, Serena akan menjauh semakin jauh.
Menjelang jam pulang kerja, Hafiz mencoba untuk berdiri dan berjalan ke arah tangga darurat. Ia turun perlahan ke lantai dua, lalu membuka pintu dengan perlahan. Tak langsung masuk, hanya berdiri di balik dinding, melihat ke arah ruangan divisi umum.
Ia melihat Andra dan Jaja sedang membereskan meja. Fifi sibuk menggulung charger ponsel, Mbak Rina tertawa entah membahas apa. Tapi tak ada Serena.
Hafiz menatap sekeliling. Lalu pandangannya beralih ke jendela sisi luar. Di sana, di tempat parkir ojol, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Serena.
Serena berdiri sendiri, memandangi ponsel. Ia tidak terlihat lelah, tapi jelas ada kegelisahan di raut wajahnya. Ia seperti sedang menunggu pesan atau memastikan sesuatu.
Tak lama kemudian ojol datang. Serena buru-buru naik, tanpa melihat ke belakang.
Hafiz mengepalkan tangannya pelan. "Jadi kamu benar-benar menghindar..."
Malamnya, di apartemen, Hafiz duduk lama di kursi balkon. Angin berembus lembut, namun hatinya sama sekali tidak tenang. Ia menatap lampu-lampu kota yang bersinar di kejauhan, dan suara klakson sesekali terdengar dari bawah.
Serena benar-benar menarik diri darinya.
Dan kali ini, Hafiz tahu... kalau ia tidak melakukan sesuatu, ia akan kehilangan Serena sepenuhnya.