NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Jejak yang Terungkap

Angin malam menyelinap di sela-sela pepohonan, menggiring aroma asin dari pantai Lasonrai ke arah pondok kecil Aisyah dan Khaerul. Suasana yang tadinya sunyi mendadak terasa berbeda. Udara seakan menebal, dan bayangan di balik pepohonan menari lebih liar dari biasanya.

Aisyah duduk di serambi rumah dengan Al-Qur’an di pangkuannya. Meski matanya menelusuri ayat demi ayat, pikirannya masih terjebak dalam kehadiran Ainun yang tiba-tiba muncul di tengah badai misteri yang belum reda.

Khaerul di dalam sedang menenangkan bayi mereka, sementara pikirannya terguncang. Pertemuan kembali dengan Ainun, cinta pertamanya, seperti membangunkan kenangan lama yang ia pikir telah terkubur dalam-dalam.

Tapi bukan hanya itu yang membuatnya gelisah. Pandangan mata Ainun saat menyebut nama Pak Samad... seolah menyimpan luka, dendam, dan rahasia yang belum diungkapkan sepenuhnya.

"Aku tahu siapa Parakang itu... dan aku tahu kenapa aku harus kembali," ucap Ainun malam itu, matanya redup tapi tajam.

Khaerul memandangnya lekat. "Apa maksudmu, Nun?"

Ainun menggigit bibir bawahnya. "Pak Samad... dia bukan hanya Parakang. Dia juga... ayah tiriku. Dia bukan orang tua kandungku. Dan dia menyembunyikan sesuatu dariku sejak kecil."

Sejenak, keheningan menggantung.

Aisyah melangkah keluar, membawa segelas air. Meski hatinya sempat bergetar melihat wanita masa lalu suaminya, ia memilih menenangkan diri. Ia tahu, semua ini bagian dari cerita yang lebih besar dari sekadar perasaan.

"Ainun, kamu harus bicara semuanya... jika tidak, kita semua akan tetap dalam bayang-bayang gelap itu."

Ainun mengangguk pelan. "Di rumah kami dulu... ada ruangan yang tidak pernah boleh aku masuki. Tapi satu malam, saat Pak Samad pergi memancing, aku diam-diam masuk. Di sana... ada rak penuh kitab-kitab tua, jimat, tulang binatang, dan... satu kotak kayu hitam."

Aisyah menelan ludah. "Apa isinya?"

"Surat tua, ditulis dengan bahasa Bugis kuno. Tapi satu kalimatnya kutahu artinya: 'Aku memutuskan perjanjian, maka darah akan menuntutku kembali.'"

Langit malam bergemuruh perlahan, seolah ikut merasakan ketegangan yang menggantung.

---

Esok paginya, mereka bertiga—Aisyah, Khaerul, dan Ainun—memutuskan menuju rumah tua Pak Samad yang terletak di perbukitan kecil. Mereka tahu, jawaban harus dicari langsung dari sumbernya.

Perjalanan ke sana seperti menyusuri lorong waktu. Semak belukar menutupi jalan, dan udara terasa lebih berat setiap langkah yang diambil.

Di depan rumah panggung tua itu, mereka berhenti.

"Kalian siap?" tanya Khaerul.

Aisyah menggenggam tangannya erat. "Bismillah."

Pintu rumah itu terbuka sedikit. Seolah menunggu mereka masuk.

Begitu kaki mereka menjejak lantai kayu, hawa dingin menyeruak. Di tengah ruangan, terlihat bayangan hitam duduk bersila.

"Kalian datang juga akhirnya," suara Pak Samad terdengar berat dan dalam, seperti bergema dari perut bumi.

Ainun berdiri paling depan. "Kenapa kau lakukan ini semua? Kenapa kau menyakiti banyak orang, termasuk aku?!"

Pak Samad tertawa lirih. "Karena dunia ini tidak sesederhana yang kalian pikirkan. Ada warisan yang harus dijaga, ada kekuatan yang tidak bisa sembarang orang kendalikan."

Khaerul maju. "Kekuatan itu telah membawa bencana. Kitab yang kau sembunyikan, pengaruh gelap yang kau pelihara, itu semua bertentangan dengan cahaya Allah."

Pak Samad berdiri, matanya menyala merah. Tapi kemudian, tubuhnya bergoyang lemah. Ia terbatuk, darah menetes dari bibirnya.

"Aku... tidak bisa lagi menahan. Perjanjian itu memakan hidupku sendiri. Ainun... maafkan aku."

Ainun menangis. Tapi bukan tangisan kasih, melainkan luka.

Aisyah melangkah maju. "Semua bisa kembali pada Allah. Tapi kau harus tinggalkan ini semua. Bacalah syahadat dengan jujur, akhiri semuanya."

Pak Samad menunduk. Tangan gemetar mencoba mengangkat tasbih tua dari kantongnya. Tapi sebelum sempat berucap, ia terjatuh ke lantai.

---

Jenazah Pak Samad dimakamkan secara sederhana. Tak banyak yang datang. Tapi Aisyah dan Khaerul memastikan ia dimakamkan dengan layak, sambil terus memanjatkan doa.

Beberapa hari kemudian, rumah tua itu dibersihkan. Di dalam ruangan tersembunyi, mereka menemukan kitab kuno yang ternyata berisi doa-doa campuran, sebagian tersesat ke arah sihir. Tapi di sela-sela halaman akhir, ditemukan satu surat:

“Untuk anakku kelak. Jika kau membaca ini, berarti aku telah gagal menjaga dua dunia: dunia manusia dan dunia arwah. Maafkan ayah...”

Ainun memeluk surat itu. Air matanya tak tertahankan.

Khaerul menepuk bahunya. “Kamu bisa mulai dari sini. Kami bersamamu.”

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, cahaya pagi menyinari desa Batupute tanpa rasa takut.

Hujan mengguyur deras malam itu. Suara gemuruh dari langit seperti menggambarkan keguncangan yang sedang terjadi di desa Batupute. Pak Samad telah meninggal. Sosok yang selama ini dikenal sebagai tokoh keras kepala dan penentang dakwah, akhirnya pergi untuk selamanya. Namun kepergiannya bukan akhir dari segalanya—melainkan awal dari terungkapnya kebenaran yang lama tersembunyi.

Desa menjadi sunyi. Tidak banyak yang hadir dalam pemakaman Pak Samad. Beberapa warga datang dengan wajah cemas dan mata sembab, bukan karena kehilangan, tetapi karena ketakutan. Mereka tahu, sesuatu yang lebih dalam telah terjadi.

Khaerul berdiri di tepi makam, diam. Pandangannya kosong namun dalam. Aisyah di sampingnya, menggenggam tasbih yang sudah lusuh karena sering digenggam saat berzikir. Ia tahu, meskipun tubuh Pak Samad telah dikuburkan, bayangan yang ia tinggalkan masih bersemayam di antara penduduk.

Beberapa hari setelah pemakaman, keganjilan mulai terasa. Udara malam di desa menjadi lebih dingin dari biasanya. Anak-anak bermimpi buruk. Terdengar suara langkah kaki di dekat pantai Lasonrai, padahal tak seorang pun berada di sana.

Di sinilah surat-surat lama yang ditemukan Khaerul kembali memunculkan misteri. Di antara tumpukan kitab tua dan lembaran mushaf di rak belakang pondok, ia menemukan secarik kertas yang berisi mantra dalam aksara lontara kuno. Lalu, sebuah tulisan samar di baliknya: "Adu’ rilalangé, ana’ riwatangnga Parakang." (Hati-hati kalian, dia bukan manusia biasa.)

Semua mulai mengarah ke satu nama—Pak Samad.

Kabar mengejutkan datang dari Puang Lela, seorang dukun tua yang akhirnya angkat bicara setelah mendengar kematian Pak Samad. Di hadapan Khaerul, Aisyah, dan beberapa warga yang mulai berani mencari jawaban, ia mengungkapkan dengan suara gemetar:

“Samad bukan hanya manusia biasa. Ia menyimpan ilmu tua dari leluhurnya, Parakang. Ia bisa berpindah bentuk, mengintai dalam diam, menyerap sakit orang lain dan memindahkannya... tapi semua itu harus dibayar mahal. Jiwanya sudah lama bukan miliknya sendiri.”

Aisyah terpaku. Kilas balik rasa sakit yang tiba-tiba datang, tubuh yang drop tanpa sebab, luka yang tak sembuh—semuanya seperti potongan teka-teki yang kini menyatu. Semua penderitaan yang ia alami selama berdakwah di desa bukan semata karena tekanan sosial, tapi juga serangan dari ilmu hitam yang diselubungkan dalam kebencian.

“Dia benci cahaya, dan kalian adalah cahaya itu,” ujar Puang Lela.

Khaerul menggenggam tangan Aisyah erat. Mereka tidak bisa tinggal diam. Mereka tahu bahwa untuk benar-benar membebaskan desa ini, mereka harus memutus jejak kegelapan yang ditinggalkan.

Malam itu, mereka mendatangi kembali gua di balik tebing Pantai Lasonrai. Di sanalah dulu kitab tua ditemukan. Di balik batu besar, mereka menemukan tanda-tanda ritual lama: bekas pembakaran kemenyan, tengkorak hewan, dan simbol-simbol magis yang terukir di dinding gua.

Namun kali ini, ada satu hal yang berbeda. Sosok perempuan dengan pakaian serba putih muncul dari dalam gelap gua. Langkahnya pelan, namun penuh wibawa. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan luka lama. Dia adalah Ainun.

Aisyah tersentak. Ainun—perempuan yang disebut-sebut sebagai cinta pertama Khaerul, yang dahulu menghilang begitu saja. Kenapa dia ada di sini?

“Aku kembali... karena belum selesai urusanku dengan Samad,” kata Ainun pelan.

Khaerul mematung. Aisyah melangkah mundur satu langkah, lalu kembali menegakkan dada. “Apa maksudmu?”

Ainun menatap Khaerul, lalu Aisyah. “Aku tahu kalian bingung. Tapi ini saatnya kebenaran dibuka. Aku dulu ditawan oleh Pak Samad. Ia ingin menggunakan aku untuk melanjutkan jejak Parakang, karena aku adalah keturunan jalur darah yang sama. Tapi aku menolak, dan kutinggalkan semuanya. Tapi dia tak pernah berhenti mengejarku. Bahkan hingga kini.”

Aisyah merasa tubuhnya bergetar. Suara ombak menghantam tebing, tapi tak sekeras hantaman kenyataan di hatinya. Bukan hanya Pak Samad yang terikat pada kegelapan itu, tapi juga sejarah panjang yang berkaitan dengan orang-orang terdekat mereka.

Gua itu menjadi tempat pengungkapan sekaligus pengampunan. Ainun menyerahkan jimat hitam yang pernah digunakan Pak Samad. “Bakar ini... maka akan musnah ikatan lama yang tersisa.”

Khaerul mengambil jimat itu. Dengan membaca doa dan ayat-ayat perlindungan, ia membakarnya. Api berkobar hebat seolah bukan dari dunia ini. Gua bergetar pelan. Seperti sebuah siklus yang akhirnya ditutup.

Aisyah menatap ke langit gua yang remang. “Semoga ini menjadi awal baru.”

Dan di tengah kegelapan yang memudar, cahaya mulai menyusup perlahan. Bukan hanya dari obor yang mereka bawa, tapi dari jiwa-jiwa yang mulai merdeka dari bayangan masa lalu.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!