Menjadi Istri kedua atau menjadi madu dari Istri pertama sudah pasti bukan sebuah mimpi dan harapan, bahkan mungkin semua wanita menghindari pernikahan semacam itu.
Sama halnya dengan Claire yang sudah menyusun mimpi indah untuk sepanjang hidupnya, menikah dengan suami idaman dan menjadi satu-satunya Istri yang paling cintai.
Namun mimpi indah itu harus kandas karena hutang Papanya, uang miliaran yang harus didapatkan dalam dua bulan telah menjadi kan Claire korban.
Claire akhirnya menikah dengan pengusaha yang berhasil menjamin kebangkitan perusahaan papanya, Claire dinikahi hanya untuk diminta melahirkan keturunan pengusaha itu.
Segala pertentangan terus terjadi di dalam pernikahan mereka, Claire yang keras menolak hamil sedangkan jelas tujuan pernikahan mereka untuk keturunan.
Kisah yang sedikit rumit antara satu suami dan dua istri ini dialami Claire, Brian, dan Tania. Akan seperti apa akhirnya pernikahan itu, jika keturunan tak kunjung hadir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vismimood_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Buruk
Brian melirik ponselnya yang terus bergetar karena panggilan dari Tania, saat ini Brian sedang menyuapi Claire sehingga dengan sengaja mengabaikan panggilan Tania. Claire sudah meminta untuk menjawabnya saja terlebih dahulu, tapi Brian sendiri yang menolak dan berkata ingin fokus pada Claire saja.
"Ada yang kurang rasanya?"
"Sama saja tidak enak."
"Paksakan ya, namanya juga lagi sakit pasti serba gak enak."
Claire mengunyah makanannya perlahan, sudah tiga hari Claire dirawat di Rumah Sakit hingga mengganggu liburan mereka. Namun selama itu juga Claire mendapatkan perhatian penuh dari Brian, lelaki itu tak sedikit pun mengabaikannya bahkan meski sudah tengah malam sekali pun.
"Habis ini minum obat lagi ya, nanti Dokter akan cek kondisi kamu semoga saja sudah lebih baik."
"Mereka sudah tahu ini?"
"Tidak, tidak ada yang tahu selain aku."
Claire membuka mulutnya menerima suapan makanannya, kenapa Brian menyimpannya sendiri bukankah kabar ini yang mereka nantikan sejak lama. Claire berpaling saat mendadak matanya terasa panas, Claire masih tidak bisa terima kenyataan ini sampai hari ini.
"Kita USG ya, jangan ditunda lagi biar kita tahu janinnya baik atau ngga."
Claire hanya mengangguk tipis tanpa berniat menatap Brian, perhatian Brian memang sedikit membuat Claire nyaman tapi tak lantas membuat Claire rela dengan kenyataan kehamilannya.
"Permisi, bisa kita periksa sekarang?" Tanya suster.
"Bisa Sus." Sahut Brian.
"Masih makan?"
"Saya sudah kenyang." Sela Claire.
Suster mengangguk saja dan bersiap membawa Claire pindah ruangan, Brian sempat memberikan minumannya hingga akhrinya membantu suster membawakan infus Claire. Mereka dibawa memasuki ruangan USG dimana dokter sudah menunggu mereka disana, Brian memindahkan Claire hingga berbaring di brangkar itu.
"Sudah membaik Bu?" Tanya Dokter.
"Sudah." sahut Claire asal.
"Kita periksa dulu ya, sudah diminum obatnya?"
Dokter terus melontarkan beberapa pertanyaan sembari menyiapkan alat yang dibutuhkannya, dokter menunjukkan layar yang dimana akan menjadi tempat melihat janin itu. Claire melihat Brian yang tampak sumringah dengan apa yang akan dilakukan, sejak Brian menangis hari itu, Claire jadi sering mendengar Brian terisak dalam diam ketika Claire memejamkan mata.
"Biar saya bantu ya Bu." Ucap Suster.
Claire membiarkan suster yang menyingkap sedikit bajunya hingga menunjukan perut datarnya, Claire merasakan dingin dari gel yang dioleskan disana. Dokter mulai menekankan dan menggerakan alat medisnya itu di perut Claire, seraya menjelaskan semuanya yang tertera di layar kecil itu.
"Seperti ini ya, lihat ini ada titik di sini. Kehamilannya benar, janinnya ada di dalam rahim. Kalian lihat ini, ukurannya baru 3 mm karena memang usianya yang baru 5 minggu." Turut Dokter.
Brian tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, rasanya Brian tidak bisa berhenti bersukur atas karunia Tuhan kali ini. Claire yang sejak tadi memilih fokus menatap Brian dari pada layar monitor itu meraih tangan Brian, selembut itu ternyata hati Brian mengingat betapa mudahnya Brian menangis bahagia.
"Dia benar-benar ada." Lirik Brian seraya menggenggam balik tangan Claire.
"Semuanya baik ya untuk saat ini, yang tidak baik adalah kondisi Ibunya jadi tolong perbaiki itu. Perkembangan janin akan terganggu jika kondisi Ibunya buruk, jangan sampai menghilangkan kesempatan hidup sang jabang bayi."
Brian mengangguk paham, ia berjanji akan menjaga keduanya degan baik. Brian akan membuat Claire senyaman mungkin agar hatinya tenang, begitu pun juga dengan pikirannya.
Claire pernah berkata jika mimpinya adalah bahagia dengan caranya sendiri, Brian akan membantu mewujudkan itu. Brian akan mengikuti apa pun yang akan membuat Claire bahagia selagi itu baik untuk janinnya.
"Vitaminnya masih ada, nanti akan diberikan penambahan darah juga ya. Sebaiknya Ibu Claire mulai mengkonsumsi susu ibu hamil dan cemilan-cemilannya juga, mulai batasi makanan yang asal-asalan."
"Siap Dokter, saya akan perhatikan semuanya."
Dokter mengangguk dan berpindah memeriksa Claire, kondisinya memang semakin membaik sekarang hanya saja tekanan beratnya yang belum juga bisa hilang. Claire masih terlalu stres untuk kondisi ibu hamil, dan dokter masih sangat mengkhawatirkan perihal itu.
*
Sama dengan Claire yang dirawat di Rumah Sakit, ternyata Tania juga mengalami hal yang sama. Jihan membawa Tania ke Rumah Sakit sejak kemarin malam, kondisi Tania semakin lemah karena masih tak bisa menguasai pikirannya sendiri.
Sejak tadi Tania berusaha menghubungi Brian untuk memberi tahu tentang keadaannya, tapi semua sia-sia karena Brian terus saja mengabaikannya. Sikap Brian seperti itu semakin membuat Tania gila, ditambah Claire juga ikut mengabaikannya, tapi Claire dengan sengaja mematikan ponselnya tidak seperti Brian yang aktif tapi mengabaikan.
"Tania, kamu belum makan makanannya." Ucap Jihan yang akhirnya masuk.
"Aku gak lapar Ma."
"Jangan gitu dong, kapan kamu mau sembuh jika seperti ini terus."
"Biarkan saja, mungkin sudah waktunya aku menyusul Mama dan Papa di Surga."
Jihan dengan sengaja menepuk bibir Tania yang bicara asal, Jihan sedikit heran karena Tania sampai seperti saat ini karena pikirannya yang bahkan terkadang tidak masuk akal. Tania kembali membuka ponselnya dan mengulang panggilannya pada Biran, hasilnya masih sama dan itu membuat Tania menjerit prustasi. Nyaris saja Tania membanting ponselnya jika Jihan tidak lebih dulu menahannya, Jihan mengusap lengan Tania yang mendadak menangis.
"Nanti Mama coba hubungi Brian atau Claire ya, kamu tenang dulu."
"Mereka sudah bahagia di sana Ma, harusnya aku tahu diri untuk tidak terus menerus mengganggu Mas Brian."
"Tenang dulu Tania, kamu ini berpikir terlalu jauh tentang semuanya."
Tania menepis tangan Jihan, perkataan Jihan hanya membuat Tania semakin emosi. Kata tenang dan sabar dari Jihan justru membuat Tania semakin menggebu, Tania ingin melihat Brian sekarang juga tanpa perduli apa pun halangannya.
"Tania."
"Mama diam saja!" Bentak Tania.
"Mama tidak mengerti apa pun sekarang, Mama hanya bisa berkata-kata tanpa bisa merasakan apa pun!"
Jihan diam membiarkan Tania meluapkan emosinya, itu sama sekali tidak masalah bagi Jihan semoga saja setelah ini Tania bisa lebih tenang. Jihan hanya diam menatap Tania yang terus mengoceh ditengah tangisnya, Jihan juga mulai khawatir dengan Brian dan Claire di sana, beberapa kali Bima juga menghubungi Brian tapi tak mendapatkan jawaban.
"Mama pergi sekarang!"
"Tania."
"Pergi!"
"Ya sudah iya, iya Mama pergi tapi kamu jangan seperti ini. Sayangi diri kamu sendiri Tania, Mama akan bantu kamu sebisa Mama jadi tolong jangan seperti ini."
Tania tak perduli sama sekali dengan segala ocehan Jihan, wanita itu tak bisa merubah apa pun untuk saat ini selain dari pada menambah stres Tania. Jihan akhirnya pergi sesuai dengan keinginan Tania, Jihan memilih duduk di luar menunggu ketenangan Tania kembali.
"Mama." Panggil Bima yang ternyata datang bersama dengan Bagas.
Jihan baru tahu jika Bagas telah kembali sekarang, syukurlah satu anaknya kembali dengan selamat. Jihan tersenyum dengan sempat memeluk Bagas sesaat, ketiganya lantas duduk karena Jihan melarang mereka untuk masuk.
"Tania belum ada perubahan?" Tanya Bima.
"Belum, Papa sudah bisa hubungi Brian?"
"Tidak."
"Kenapa dengan mereka, mereka bertengkar?" Tanya Bagas.
Jihan menjelaskan keadaannya saat ini tentang Brian yang pergi bulan madu, dan sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali. Tania jadi stres sendiri karena merasa diabaikan oleh Brian, sedangkan Brian mungkin tengah bahagia dengan Claire.
"Berapa lama?"
"Sudah satu minggu."
"Mas Brian tidak urus Kantor?"
"Raka bisa mengurusnya sendiri, sampai hari ini Raka tidak mengalami masalah apa pun."
Bagas mengangguk paham, Raka memang pantas untuk jadi orang kepercayaan Brian. Sejak dulu Bagas tidak pernah mendengar keluhan apa pun tentang Raka, pantas saja dia selalu diistimewakan oleh Brian.
"Kamu sudah bertemu Giska dan Yunia?"
"Belum Ma, aku dijemput Papa dan langsung ke sini."
"Seharusnya kamu pulang dulu, sudah sana kamu pulang dulu saja."
Bagas melirik Bima di sampingnya, Bagas memang sangat merindukan anak dan istrinya itu. Bima kemudian memberikan kunci mobilnya untuk dipakai Bagas, biar nanti Bima dan Jihan pulang pakai taxi saja.
Bagas segera pamit dan berkata akan menjemput mereka nanti, atau Bagas akan mengantarkan mobilnya ke rumah langsung. Bima mengangguk saja mau seperti apa pun terserah Bagas, seperginya Bagas, Jihan kemudian bersandar di pundak Bima.
"Rasanya keadaan jadi berantakan seperti ini."
"Ini hanya sesaat saja, semua akan membaik jika Brian dan Claire sudah kembali."
"Kenapa mereka justru menghilang seperti ini?"
Bima tak menjawab, apa juga yang bisa jadi jawabannya jika Bima juga tidak tahu apa yang terjadi disana. Mereka hanya bisa menunggu dengan sabar dan terus berdoa untuk yang terbaiknya, tidak perlu berpikir berlebihan tentang siapa pun dan apa pun.
*
Kedatangan Bagas disambut oleh putri kecilnya langsung, Bagas sudah memberi tahu Yunia tentang kepulangannya ini. Yunia berdiri diambang pintu ketika Bagas mengatakan sudah dilift, senyumnya mereka ketika melihat suami yang dirindukannya datang mendekat.
"Mas."
"Papa!" Jerit Giska yang seketika itu mendorong Yunia yang hendak memeluk Bagas.
"Giska, kamu ini." Omel Yunia.
"Mama jangan peluk Papa aku." Larang Giska yang kini sudah ada dipangkuan Bagas.
Yunia terlihat cemberut dan memilih pergi meninggalkan keduanya, melihat tingkah dua wanita itu selalu membuat Bagas tertawa. Sejak dulu Yunia memang selalu kesal jika Giska menguasai dirinya, tapi mau bagaimana lagi karena Yunia sendiri yang melahirkan saingannya.
"Kamu gak boleh gitu sama Mama." Tegur Bagas seraya mencubit hidung Giska.
"Aku kangen Papa, Mama gak boleh ambil Papa dari aku!" Tegas Giska menggemaskan.
"Kita kan sama-sama, nanti Mama nangis loh. Kalau Mama nangis nanti kita gak dimasakin makanan enak lagi, kelaparan nanti kita."
Giska tampak berpikir karena ucapan Bagas, sepertinya Giska paham dengan maksudnya. Giska lantas meminta agar diantarkan pada Yunia, sampai di kamar Giska menarik Yunia agar mendekat.
"Gak!" Tolak Yunia yang masih saja cemberut.
"Ayo minta maaf!" Bisik Bagas.
"Mama maaf ya, ayo peluk Papa sama aku!"
Yunia menoleh dan menatap keduanya bergantian, senyumnya merekah ketika Bagas merentangkan sebelah tangannya untuk menyambut Yunia. Yunia akhirnya bangkit dan langsung menghambur kepelukan Bagas, Yunia juga merindukan suaminya.
Seperti itulah mereka, menjadi keluarga kecil yang bahagia, Bagas merasa berhasil membangun rumah tangga bersama Yunia. Bagas selalu terhibur melihat keributan antara anak dan istrinya itu, Yunia selalu seperti anak-anak ketika sedang ribut dengan Giska karena berebut Bagas.