Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Dia Harus Menginginkanku Juga!
Semuanya hancur.
Setiap rencana yang telah Claire susun dengan hati-hati selama bertahun-tahun, setiap kebohongan yang telah ia jalin dengan cermat seperti sarang laba-laba—semuanya runtuh dalam sekejap mata. Aaron pergi. Meninggalkannya. Meninggalkan Ethan. Meninggalkan reruntuhan kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
Claire terduduk di lantai marmer dingin, dikelilingi oleh lembaran-lembaran buku hariannya yang berhamburan seperti konfesi dosa. Tulisan tangannya sendiri yang menjadi bukti hitam di atas putih dari semua manipulasi yang telah ia lakukan, kini menjadi saksi bisu atas kejatuhannya.
Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu penthouse yang tertutup, berharap Aaron akan kembali. Berharap dia akan muncul dan mengatakan bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Tapi yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga dan aroma aftershave Aaron yang perlahan memudar dari udara.
"Aaron..." Isaknya keluar sebagai bisikan putus asa, suara parau yang nyaris tenggelam dalam keputusasaan.
Dadanya terasa sesak, seolah ada beban seberat gunung yang menekan tulang rusuknya. Tangannya, tangan yang pernah Aaron genggam dengan lembut, kini mencakar lantai marmer hingga kuku-kukunya patah dan berdarah. Tapi rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan kehancuran yang mengoyak jiwanya.
Seluruh penthouse yang megah ini tiba-tiba terasa seperti makam. Dingin, hampa, dan menakutkan. Cahaya lampu kristal yang tadinya hangat kini tampak menyilaukan dan kejam. Furniture mewah yang pernah menjadi saksi kebahagiaan mereka kini berdiri seperti penjaga kubur yang dingin.
Dari ruang sebelah, tangisan Ethan semakin pecah membelah kesunyian. Suara bayi itu—darah daging Aaron—menjadi melodi kesedihan yang menusuk jantung, menguatkan rasa bersalah yang sudah tak tertahankan. Setiap isakan Ethan seolah mengingatkan Claire pada apa yang telah ia pertaruhkan dan hilangkan.
Ethan … dia putramu Aaron, dia milikmu …
“Kau tidak bisa meninggalkan kami, Aaron … kau tidak bisa …”
Dengan tangan gemetar, Claire meraih ponselnya. Layar retak akibat terjatuh dari atas meja masih menyala, menampilkan foto Aaron dan Ethan yang menjadi wallpaper-nya. Foto itu—Aaron tersenyum tipis dengan Ethan di gendongannya—kini terasa seperti tusukan belati.
Jarinya yang bergetar mencoba menekan nomor Aaron. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, lalu langsung dialihkan ke voicemail.
"Aaron, angkat teleponnya!" Suaranya pecah, nyaris tidak terdengar. "Kumohon! Aku mohon!"
Ia mencoba lagi. Dan lagi. Setiap panggilan yang tak terjawab, setiap nada sibuk yang dingin, semakin memperburuk keputusasaannya. Seolah setiap detik yang berlalu membawa Aaron semakin jauh darinya.
"Jangan lakukan ini, Aaron! Aku... aku tidak bisa tanpamu!" Claire berteriak pada ponsel, seolah Aaron bisa mendengarnya dari kejauhan. "Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan kami!"
Setiap kalimat adalah tusukan rasa sakit yang membuka luka lama—ketakutan terbesarnya untuk ditinggalkan, untuk kembali menjadi bayangan tak terlihat yang tidak diinginkan siapa pun. Ketakutan yang telah mendorongnya melakukan semua kebohongan ini dari awal.
Ia memeluk ponsel erat ke dadanya, seolah memeluk sisa-sisa harapan yang memudar.
Suara langkah tergesa-gesa membuat Claire mengangkat kepala. Susan muncul dari ruang keluarga dengan wajah seputih kapur. Pembantu itu telah mendengar sebagian besar pertengkaran hebat tadi—suara Aaron yang bergemuruh marah, tangisan Claire yang histeris, dan sekarang menemukan majikannya dalam keadaan yang menyedihkan ini.
"Nyonya! Ya Tuhan!" Susan berseru, berlutut di samping Claire dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang terjadi? Tuan ... dia ke mana?"
Claire mencengkeram lengan Susan seperti orang tenggelam yang meraih pelampung. Matanya yang bengkak dan kosong menatap wajah Susan dengan putus asa.
"Dia... dia pergi, Susan!" Suaranya bergetar hebat. "Dia tahu... Dia tahu semuanya!"
Susan memeluk Claire erat, meski hatinya dipenuhi kebingungan. Sebagai orang yang telah mengabdi pada keluarga Silvan selama berbulan-bulan, naluri Susan mengatakan bahwa ini adalah bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Tapi Nyonya... apa maksudnya? Ethan kan—"
"Dia akan mengambil Ethan dariku!" Claire menjerit, suaranya pecah menggema di penthouse yang luas. "Aku tahu dia akan melakukannya! Aaron akan merebut putraku!" Tapi kemudian mata kosongnya berkilat dengan sesuatu yang lebih gelap. "Jika dia mengambil Ethan, jika dia melakukan itu maka..." Dadanya bergemuruh, "Maka dia harus menginginkanku juga! Aaron, dia harus membawaku juga, dia tidak bisa hanya membawa Ethan bersamanya!"
Rasa takut kehilangan Aaron kini jauh lebih mengerikan daripada kehilangan Ethan. Bayangan hidup tanpa Aaron, kembali menjadi tidak ada apa-apanya, kehilangan cinta yang telah menjadi obsesinya, membuat Claire merasa seperti mati hidup-hidup. Ethan hanyalah ikatan, tapi Aaron... Aaron adalah segalanya. Tanpa Aaron, Ethan pun tidak ada artinya. Pikiran itu membuat seluruh tubuhnya bergetar dalam ketakutan yang lebih dalam.
Susan tercekat melihat ekspresi dan perkataan Claire. Wajah yang biasanya tampak polos dan seindah malaikat, kini terlihat begitu mengerikan dengan obsesi yang mencengkeram. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam cara Claire memprioritaskan Aaron di atas anaknya sendiri.
"Tidak, Nyonya! Tidak akan!" Susan berusaha meyakinkan, meski hatinya diliputi perasaan tidak nyaman. "Ethan butuh ibunya. Tuan Aaron tidak akan mengambilnya. Tenanglah..."
"Aku... aku harus meneleponnya lagi! Dia harus kembali!" Claire melepaskan diri dari pelukan Susan, meraih ponselnya lagi dengan putus asa. Seolah setiap panggilan yang tak terjawab adalah pukulan langsung ke jantungnya yang sudah remuk.
Haruskah aku mengabari Tuan dan Nyonya besar tentang masalah ini? Batin Susan khawatir.
...****************...
Beberapa waktu kemudian, Susan akhirnya berhasil sedikit menenangkan Claire. Tangisan histeris telah reda menjadi isakan pelan yang memilukan. Ethan, yang sebelumnya menangis keras, kini meringkuk tenang di gendongan Susan—mungkin merasakan kehadiran yang menenangkan, atau hanya kelelahan setelah menangis terlalu lama.
Susan menatap Claire yang kini terduduk lemas di sofa, mata kosong menatap ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Boston di malam hari. Lampu-lampu gedung berkelip seperti bintang jatuh, tapi tidak ada yang bisa menerangi kegelapan hati Claire.
Dengan ponsel di tangan, Susan memutuskan ini saatnya untuk menghubungi seseorang. Situasi ini terlalu besar untuk ditangani sendiri. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor Charles Silvan.
Telepon berdering beberapa kali sebelum diangkat dengan suara parau yang menunjukkan Charles baru terbangun.
"Halo?"