cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Kencan?
Setelah makan siang di sudut food court yang tenang, mereka memutuskan berjalan menyusuri lorong tengah mall. Musik lembut mengalun dari speaker di langit-langit, bercampur dengan suara langkah kaki dan percakapan para pengunjung. Tissa masih menggandeng bagian bawah tas kecilnya dengan dua tangan, matanya menatap sekeliling seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat kota dari puncak gedung tinggi.
Vio melirik ke arah deretan toko di sisi kiri, dan matanya tertumbuk pada sebuah butik pakaian dengan kaca jernih dan pajangan manekin yang tampak anggun namun kasual.
“Ayo ke situ sebentar,” katanya sambil sedikit menarik lengan Tissa.
“Hah? Ke toko baju?” Tissa menatapnya bingung. “Buat apa?”
Vio tidak menjawab secara langsung, hanya mendorong pintu kaca dan masuk lebih dulu.
Suasana dalam toko begitu bersih dan rapi. Wangi kain baru dan parfum lembut memenuhi udara. Lampu-lampu kuning hangat membuat warna-warna pakaian tampak lebih hidup. Tissa mengikutinya, melangkah pelan, masih setengah curiga.
“Kak… jangan bilang—”
“Kau butuh beberapa pakaian yang cocok buat keluar, ‘kan?” potong Vio sambil memutar gantungan pakaian, memeriksa satu demi satu.
“Tapi… aku masih punya yang lama…”
“Yang terlalu kecil dan penuh pita?” Vio meliriknya dari balik gantungan, alisnya terangkat. “Bukan berarti itu jelek, tapi… setidaknya punya satu atau dua pakaian untuk ke luar rumah, bukan pesta boneka.”
Tissa membuka mulut untuk membantah, lalu menutupnya lagi dengan pipi memerah.
Vio tersenyum kecil lalu menarik keluar satu atasan rajut warna lavender lembut, memadukannya dengan rok berpotongan simpel warna putih. “Yang ini lucu,” katanya sambil mengangkat keduanya ke arah Tissa.
Tissa menatap pakaian itu sejenak, lalu menatap Vio. “Aku... pakai itu?”
“Coba dulu. Ruang ganti di sana.” Vio menunjuk ke sudut.
Tissa berjalan dengan canggung, membawa pakaian itu masuk. Beberapa menit kemudian, dia keluar pelan-pelan.
Vio, yang sedang memeriksa gantungan lainnya, menoleh. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum.
“Cocok banget,” katanya singkat.
Tissa menunduk, pipinya semakin merah. “Kakak ngomong gitu supaya aku gak malu, ya?”
“Kalau gak cocok, aku juga bisa bilang,” jawab Vio santai. “Tapi yang ini memang bagus banget di kamu.”
Tissa menggigit bibirnya pelan. Ia tidak menjawab, tapi saat kembali ke ruang ganti, ada bayangan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
Vio, sementara itu, memilih beberapa pakaian lainnya. Dua atasan lagi, satu celana panjang kasual, dan sebuah hoodie berwarna pastel. Saat Tissa keluar lagi, Vio sudah menunggu di kasir.
“Ayo kita beli ini semua,” ucapnya tenang.
“Tunggu, Kak! Aku nggak—”
“Anggap aja hadiah,” kata Vio cepat. “Dari aku.”
Tissa terdiam. Ia tahu sulit membantah kalau Vio sudah berbicara seperti itu. Jadi ia hanya menggenggam tas kecilnya erat-erat, mengangguk pelan sambil menatap lantai.
Tapi dalam hatinya, entah kenapa… terasa hangat. Seperti hari itu, bukan sekadar pergi jalan-jalan tapi hari yang mungkin akan ia ingat lama sekali.
Setelah beberapa menit menyisir lorong-lorong toko, Vio kembali menemukan beberapa pakaian yang menurutnya cocok, sebuah blus putih dengan kerah renda tipis, jaket ringan berwarna mint, serta gaun terusan berbahan lembut dengan warna krem yang hangat. Ia menyodorkan semuanya ke Tissa tanpa banyak bicara, hanya berkata, “Coba ini juga, ya.”
Tissa menerima pakaian-pakaian itu sambil terus menggumam pelan, masih belum terbiasa dengan perhatian yang ia dapatkan hari itu. Tapi ia tetap melangkah menuju ruang ganti seperti tadi, meskipun langkahnya agak berat karena malu.
Vio duduk sebentar di bangku dekat rak sepatu, tapi saat Tissa keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun krem terakhir yang ia berikan, Vio langsung berdiri.
“Hei, sini sebentar,” katanya sambil memberi isyarat dengan jari.
Tissa mendekat perlahan, tangan masih sedikit menahan bagian bawah roknya karena merasa terlalu mencolok.
Tanpa berkata apa-apa, Vio mengambil jepit kecil dari rak aksesori di samping, lalu dengan gerakan lembut menyelipkan beberapa helaian rambut Tissa ke belakang telinganya, merapikannya agar wajahnya lebih terlihat.
“Tuh,” gumam Vio, sambil menatap hasil akhirnya. “Sekarang kamu kelihatan kayak manusia beneran, bukan peri kecil yang nyasar dari dongeng.”
Tissa memerah sampai ke telinganya. “Aku… gitu banget, ya…”
Vio hanya tersenyum, lalu memutar tubuh Tissa sedikit agar menghadap cermin besar di samping kasir.
Dan saat itulah semuanya terjadi hampir bersamaan.
Seorang pegawai toko yang baru keluar dari belakang sempat berhenti dan menatap. Beberapa pengunjung yang lewat juga ikut melirik dan saling menyenggol pelan, lalu tersenyum. Bahkan seorang gadis remaja dengan ponsel di tangannya tampak tak kuasa menahan diri—ia mengangkat kameranya dan mengarahkannya diam-diam ke arah Tissa.
Namun sebelum kamera itu sempat mengambil gambar, sebuah tangan cepat menutup lensanya.
“Maaf,” kata Vio dengan suara rendah tapi tegas, menatap si gadis itu lurus-lurus. “Tolong jangan ambil foto adikku tanpa izin.”
Gadis itu tersentak, lalu menunduk cepat. “M-maaf, Kak… dia cantik banget, jadi aku—”
“Terima kasih, tapi tetap jangan.” Nada suara Vio tidak keras, tapi cukup untuk membuat beberapa orang langsung mengalihkan pandangan.
Tissa melihat kejadian itu dengan tatapan sedikit terkejut. Vio kembali menghampirinya, wajahnya sudah tenang lagi.
“Maaf ya,” gumam Tissa pelan.
“Kenapa minta maaf?” Vio menatapnya. “Kamu nggak salah karena kelihatan cantik.”
Tissa terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena malu dilihat banyak orang tapi karena caranya Vio mengatakan itu. Bukan dengan nada memuji, tapi seperti… melindungi.
Dan meskipun sedikit gugup, ia tersenyum kecil.
“Kalau gitu… aku ganti lagi, ya?”
“Boleh. Tapi yang itu kita beli.”
“Eh?”
“Udah cocok banget. Jangan nolak.”
Tissa hanya bisa mengangguk sambil memegangi dadanya yang terasa hangat. Lalu berbalik ke ruang ganti dengan langkah pelan tapi ringan.
Setelah memastikan Tissa kembali ke ruang ganti, Vio berjalan ke kasir sambil membawa beberapa gantungan pakaian yang tadi sempat dicoba oleh adiknya itu. Pegawai toko yang sempat terkejut dengan kejadian barusan menyambutnya dengan sedikit canggung.
“Semuanya mau dibayar, Kak?” tanya pegawai itu sambil mengambil gantungan-gantungan pakaian dari tangan Vio.
Vio mengangguk pelan. “Iya, semuanya yang dia coba. Termasuk gaun terakhir yang dia pakai.”
Pegawai itu mencatat dengan cepat, lalu memindai semua barcode barang satu per satu.
Sementara itu, Tissa sudah keluar dari ruang ganti dengan kembali mengenakan bajunya semula, membawa gaun krem cantik itu dalam pelukannya.
“Udah selesai?” tanya Vio tanpa menoleh, masih fokus ke layar monitor kasir.
Tissa mengangguk pelan. “Iya… Tapi kak Vio, nggak usah semua juga—”
Vio hanya menoleh sebentar dan menyodorkan ponsel miliknya ke arah pegawai kasir, lalu berkata singkat, “Pindai ini aja buat pembayarannya.”
Pegawai itu menerima ponsel Vio dengan dua tangan, lalu langsung memindai kode pembayaran digital dari layar.
“Baik, transaksi berhasil. Struknya mau dicetak atau dikirim ke email?”
“Email aja,” jawab Vio santai, lalu mengambil kembali ponselnya.
Tissa menatap semua itu dalam diam, matanya sedikit membulat. “kak Vio… kamu gak perlu—”
“Aku yang perlu,” potong Vio sambil menoleh padanya, tersenyum kecil. “Kalau bukan aku yang jagain kamu, siapa lagi?”
Tissa menunduk, wajahnya memerah, lalu mengangguk pelan.
Pegawai toko kemudian menyodorkan tas belanja berisi baju-baju baru itu. “Ini semuanya, Kak. Dan… ehm, adiknya cantik sekali, ya.”
Vio menerima tas belanja itu dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan ia merangkul pelan bahu Tissa.
“Dia memang begitu dari sananya,” jawab Vio singkat, lalu mengajak Tissa keluar dari toko dengan langkah santai.
Tissa berjalan di sampingnya dengan langkah pelan, membawa satu tas belanja kecil di tangannya sendiri. Sementara di belakang mereka, beberapa pengunjung yang tadi sempat melihat kejadian itu masih berbisik-bisik pelan.
Tapi bagi Vio dan Tissa, dunia di sekeliling mereka terasa sedikit lebih sunyi karena di antara mereka hanya ada hangatnya kebersamaan yang perlahan mengikat, seperti simpul lembut yang tidak terlihat.