ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: Pagi yang Manis
Dapur hanya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung. Elina menggulung lengan bajunya, berdiri di depan wastafel sambil mulai membilas piring-piring kotor. Suara air yang mengalir tenang, kontras dengan degup jantungnya yang entah kenapa mulai terasa tak beraturan.
Dari belakang, Adrian datang membawa dua gelas. "Biar aku yang keringkan. Aku tidak tega melihat tangan halus istri CEO Leonhart sibuk nguras minyak."
Elina menoleh sekilas. "Kalau kamu nggak tega, harusnya kamu yang cuci."
"Tapi kalau aku yang cuci..." Adrian bersandar di meja dekat wastafel, menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum menyebalkan. "...kita nggak bisa berdiri sedekat ini. Aku suka posisi ini. Bisa lihat kamu dari samping, fokus dan manis begitu."
Elina pura-pura mengerutkan kening. "Kamu ini bisa nggak sih serius lima menit aja?"
"Aku sangat serius. Ini tugas suami, mengapresiasi keindahan istrinya dalam bentuk apa pun. Termasuk saat dia nyuci piring."
Elina terkekeh pelan, lalu kembali fokus membilas piring. Tapi saat ia memindahkan piring ke rak pengering, tangannya tak sengaja menyentuh tangan Adrian. Refleks, ia menariknya cepat.
"Apa kamu selalu sepanik itu saat menyentuh kulit suamimu?" goda Adrian dengan alis terangkat.
"Itu refleks," Elina menjawab cepat, pipinya kembali memerah.
Adrian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, mengambil handuk dan mulai mengelap piring-piring dengan tenang. Tapi sesekali, matanya melirik Elina. Dan senyumnya... ya, senyum penuh rencana nakal yang masih menari-nari dalam kepalanya.
Beberapa menit kemudian, Elina menutup kran air dan menghela napas lega. "Selesai."
Adrian menyandarkan pinggangnya ke counter dapur, melipat handuk kecil di tangannya sambil menatapnya. "Kalau kita bisa kerja sama begini setiap malam, sepertinya aku nggak butuh asisten rumah tangga lagi."
"Jangan manja, Adrian."
"Siapa yang manja? Aku hanya ingin kamu terus ada di sini. Di sampingku. Bahkan untuk hal-hal kecil seperti ini." Nada bicaranya melembut.
Elina menatapnya, sedikit terkejut dengan perubahan mendadaknya. Ada kehangatan yang sulit dibantah dari caranya memandang... dari suara rendahnya yang tak lagi menggoda, tapi benar-benar jujur.
"Aku di sini, kan?" bisik Elina.
Adrian tersenyum. Lalu tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan, menarik Elina mendekat dan mengecup keningnya pelan. "Dan semoga kamu nggak akan pernah pergi ninggalin aku.”
Elina menunduk, tak tahu harus membalas dengan apa selain senyum tipis dan napas yang hangat. Untuk pertama kalinya, godaan-godaan Adrian tak hanya menggelitik... tapi juga menyentuh. Membekas.
Dan malam itu, dapur kecil mereka bukan hanya tempat mencuci piring, tapi juga tempat di mana cinta tumbuh tanpa suara, lewat tawa, sentuhan, dan lirikan-lirikan yang makin sulit disangkal.
...****************...
Lampu-lampu di lantai bawah sudah dipadamkan. Rumah itu kini tenang, hanya menyisakan bias temaram dari kamar utama tempat Elina dan Adrian bersiap untuk tidur. Claire sudah lebih dulu tertidur dengan damai, dan kini hanya mereka berdua di ruang yang terasa lebih hangat dari biasanya.
Elina sedang menyisir rambutnya di depan meja rias, mengenakan piyama tipis berwarna krem pucat, pemberian Elizabeth yang sebenarnya terlalu halus untuk dipakai harian. Tapi entah mengapa malam ini ia memilihnya. Mungkin karena Adrian sempat bilang ia terlihat "manis" saat memakainya.
Dari pantulan cermin, ia melihat Adrian tengah mengganti bajunya. Kaos abu tipis dan celana tidur panjang yang selalu terlihat nyaman, dan sedikit menggoda, apalagi ketika ia menarik rambutnya ke belakang dengan tangan yang berotot ringan.
"Aku heran," gumam Adrian sambil berjalan ke arah tempat tidur, lalu merebahkan diri santai. "Kamu pakai baju tidur paling lembut di dunia... tapi ekspresi kamu kayak lagi bersiap perang."
Elina meletakkan sisirnya dan menoleh. "Aku sedang memikirkan banyak hal."
"Mikirin kerjaan? Atau soal Claire yang hampir merusak momen paling penting minggu ini?"
Elina tertawa pelan, lalu berjalan pelan ke sisi ranjang dan naik ke atas kasur, menyusul Adrian. "Momen paling penting minggu ini? Kamu yakin?"
Adrian mengangguk, memutar tubuhnya menghadap ke arahnya. "Tentu. Aku nyaris melihat sisi liar istriku yang selama ini tersembunyi. Tapi terhenti karena si kelinci kecil muncul dengan bonekanya."
Elina tertawa pelan...
"Tapi kamu belum jawab," bisik Adrian, nadanya menurun menjadi lebih lembut. "Apa yang kamu pikirkan?"
Elina diam sejenak. "Tentang hari ini. Tentang kamu. Tentang pernikahan ini... yang dulu kita mulai dengan kesepakatan, tapi sekarang... rasanya seperti rumah."
Adrian menatap wajah istrinya dalam diam, lalu menjulurkan tangan dan merapikan helaian rambut Elina yang jatuh ke pipinya. "Aku juga merasa begitu."
Kemudian ia menarik Elina ke dalam pelukannya, menyelubunginya dengan kehangatan yang tidak menggebu, tapi stabil dan menenangkan. Pelukan yang membuat Elina merasa aman.
"Besok," gumam Elina pelan sambil membenamkan wajah ke dada Adrian, "kalau kamu pulang, aku bakal siapin menu makan malam spesial."
"Spesial dalam hal makanan, atau... pakaian tidur?" bisik Adrian nakal, bibirnya nyaris menyentuh telinga Elina.
Pipi Elina memanas. Ia memukul dada Adrian pelan lalu menarik selimut lebih tinggi menutupi wajahnya. "Tidur, Adrian!"
Adrian hanya tertawa kecil, lantas mematikan lampu meja di sisi ranjangnya. Tapi sebelum benar-benar memejamkan mata, ia menarik Elina lebih dekat dan berbisik, "Selamat malam, istri yang makin menawan."
Dalam gelap, Elina tersenyum. Ia tak tahu apa yang menunggu mereka esok hari. Tapi malam ini, di dalam dekapan suaminya, ia merasa lebih dari sekadar cukup.
Ia merasa… dicintai.
...****************...
Pagi itu, sinar mentari membias lembut melalui celah tirai kamar, melukis semburat keemasan di permukaan tempat tidur mereka. Udara masih tenang, hanya terdengar detak jam dan deru napas yang hangat.
Adrian terbangun lebih dulu. Tapi ia tidak langsung bergerak. Sebaliknya, ia membiarkan matanya menatap wanita di pelukannya, Elina yang tertidur dalam posisi bergelayut manja di dadanya, dengan rambut kusut berantakan tapi tetap terlihat indah di matanya. Tangannya terlipat lembut di dada Adrian, seolah ia tengah bermimpi tentang kehangatan yang telah lama tak ia rasakan.
Senyum kecil muncul di sudut bibir Adrian.
Ia membungkuk pelan, mengecup kening Elina. "Pagi, sayang," bisiknya lirih, nyaris seperti doa.
Elina menggumam pelan, wajahnya menggeser sedikit, dan kini bibirnya hampir bersentuhan dengan kulit dada Adrian yang hangat.
"Sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak, matanya masih terpejam.
"Sudah," jawab Adrian, suaranya dalam dan menggoda. "Tapi aku belum siap melepaskan pelukan ini."
Elina membuka mata perlahan. Ada bias hangat di sana, sedikit malu, sedikit manja. Ia pun menatap wajah Adrian yang kini hanya berjarak satu napas darinya.
"Aku juga," ucapnya pelan.
Tanpa aba-aba, tangan Adrian menyelusup ke belakang tengkuk Elina, menarik wajah itu lebih dekat. Bibir mereka bersentuhan dalam ciuman lembut yang penuh kehangatan dan pengakuan. Bukan sekadar ciuman selamat pagi, melainkan sesuatu yang mengikat... yang berkata: aku mencintaimu, dan ingin memulai hari bersamamu, selamanya.
Elina membalas dengan ragu, namun tak ada penolakan. Justru tubuhnya makin menempel, seolah mencari celah untuk tenggelam lebih dalam dalam dekapan suaminya.
"Kalau kamu terus begini..." bisik Adrian, suaranya parau di sela napas yang memburu, "aku tidak akan bisa bangun dari ranjang sampai siang."
Elina tersenyum kecil, menunduk, tapi tak menjauh. Sebaliknya, jari-jarinya mulai memainkan kancing atas piyama Adrian, sedikit nakal... sedikit berani.
"Aku hanya ingin memastikan kamu bangun dengan semangat..." bisiknya dengan nada lirih.
Adrian tertawa kecil, matanya bersinar geli. "Tolong lanjutkan niat baikmu itu, Bu Leonhart."
Ia membalik tubuh Elina perlahan, tubuh mereka kini saling menindih dalam balutan selimut putih dan desir napas yang mulai tidak teratur. Bibirnya kembali menemukan milik Elina, kali ini lebih dalam... lebih penuh hasrat.
Tapi tepat saat itu...
"Mama! Daddy! Claire udah bangun!"
Suara nyaring dan manis dari arah luar pintu membuat tubuh Elina membeku seketika. Adrian terdiam dalam posisi menggantung, lalu menghela napas panjang.
"Claire..." gumam Elina pasrah, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Adrian mengangkat tubuhnya dan berguling ke samping, lalu menatap langit-langit kamar dengan senyum frustrasi yang tak bisa disembunyikan.
"Anak itu punya radar insting tajam," gerutunya.
Elina tertawa pelan. "Mungkin dia penyelamat pagi ini."
"Penyelamat untuk siapa?" tanya Adrian menggoda, menatap istrinya dengan tatapan penuh janji. "Kita lanjutkan malam nanti."
Elina hanya melempar bantal ke arah Adrian sambil bergegas turun dari tempat tidur. "Cepat, Ayah Penyayang. Putrimu menunggu."
Adrian tertawa, lalu menyusul Elina keluar kamar. Tapi sebelum menutup pintu, ia menoleh kembali ke ranjang, menyipitkan mata dengan senyum penuh arti.
"Malam ini, ranjang itu akan jadi saksi."
Dan pintu pun tertutup.