Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: MATA KELIMA (3)
SLASH! SLASH! SLASH!
Hu Wei melesat di atas batu-batuan sungai, pedangnya berkilat dalam cahaya fajar. Tiga tebasan beruntun mengincar leher Kappa!
Tiga Kuchisake-onna menyerang dari samping, cakar-cakar mereka menyambar wajah Kappa!
"BUSSSSH!"
Air menyembur dari mulut Kappa—tekanan dahsyat seperti meriam! Ketiga roh wanita terhempas ke udara, tubuh mereka berputar tak terkendali sebelum menghantam pohon.
Celah terbuka.
Hu Wei tidak menyia-nyiakannya.
Dia meluncur dengan kecepatan brutal—mengitari Kappa, menebas dari berbagai penjuru. Pedangnya bergerak terlalu cepat untuk dilihat mata telanjang.
CLANG CLANG CLANG!
Tapi setiap tebasan hanya meninggalkan goresan tipis di kulit hijau bersisik Kappa.
‘Keras sekali!’ Hu Wei menggigit gigi.
Satu tebasan dengan kekuatan penuh—Qi Bayangan meledak dari pedangnya—akhirnya meninggalkan luka dalam di lengan Kappa.
Darah hijau menyembur.
Tapi dalam hitungan detik, luka itu menutup. Daging tumbuh kembali. Kulit meregenerasi sempurna.
"Sia-sia," kata Kappa dengan nada sopan. Matanya kuning menatap Hu Wei tenang. "Qi Bayangan milikmu memang kuat. Tapi kau tidak sebanding denganku—roh tingkat tinggi."
Tangannya meliuk—gerakan aneh seperti menarik sesuatu dari udara.
Air sungai merespons.
Gelombang raksasa muncul di belakang Kappa—setinggi lima meter, selebar dua puluh meter. Air itu mengikuti gerakan tangan Kappa, berputar membentuk naga air yang menggelegar.
"Sebaiknya kalian mundur," lanjut Kappa. "Tuanmu yang dicari Tuan Haikun. Bukan kalian."
Hu Wei dan Yuto melompat ke arah berlawanan.
WHOOOOSH!
Gelombang menyapu—brutal, tidak memberi ampun. Hu Wei terseret puluhan meter sebelum berhasil mendarat di tepi sungai seberang. Yuto jatuh terduduk di sampingnya, batuk-batuk mengeluarkan air.
Hu Wei mendecakkan lidah. ‘Aku harus segera menyusul Tuan Muda.’ Firasatnya berteriak bahaya.
Di seberang sungai, Kappa berdiri tenang di atas permukaan air. Tapi sebelum dia bicara—
Hawa panas menyeruak dari arah belakang mereka.
Dari hutan tempat Gao Shan dan Gao Shui bertarung.
Asap hitam membumbung tinggi ke langit pagi. Burung-burung beterbangan panik. Hewan-hewan berlarian keluar dari hutan—kelinci, rusa, bahkan babi hutan—semuanya melarikan diri dari sesuatu yang mengerikan.
Kappa menatap ke arah asap itu. Ekspresinya berubah—tidak lagi tenang, tapi ada sesuatu yang menyerupai... belas kasihan?
"Sungguh malang nasib kalian," katanya dengan nada sopan namun penuh iba. "Tuanmu menghadapi Tuan Haikun yang telah menerobos ranah baru. Kalian menghadapiku—penguasa sungai ini. Sementara rekan-rekan kalian..." Dia mengangguk ke arah asap hitam. "...pasti menghadapi Ryoken, sang Tengu Api Neraka."
Dia membungkuk sedikit—sangat sopan. "Aku beri kalian kesempatan. Mundur sekarang. Kalian akan selamat."
Hu Wei menatap datar makhluk itu.
Lalu dia meludah ke tanah.
"Sebaiknya kau yang mundur dan jangan menghalangi jalan kami, kura-kura sialan."
Yuto membelalak. Dia berbisik panik, "Jangan pernah bersikap tidak sopan pada Kappa! Dia sangat membencinya!"
GRRRRRR.
Kappa mendengus keras. Napasnya cepat. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena marah yang ditahan.
"Jaga ucapanmu, manusia," geramnya. Nada sopan menghilang sepenuhnya.
Hu Wei tidak bergeming. Dia menatap Kappa tanpa ekspresi, lalu berkata pada Yuto, "Aku tidak peduli dia marah atau tidak. Jika kau tahu kelemahannya, cepat katakan."
Yuto menelan ludah. Tangannya gemetar. "Aku tahu, tapi demi apapun jangan membuat siluman itu marah!"
"CEPAT!"
"Kau lihat ceruk di atas kepalanya?" Yuto menunjuk ke kepala Kappa. Di sana, cekungan dangkal berisi air jernih. "Ceruk itu berisi air. Jika kau bisa membuat ceruk itu kosong, Kappa akan kehilangan kekuatannya!"
"Semudah itu?"
"TIDAK semudah itu menumpahkan airnya!"
Hu Wei berpikir sekilas. Lalu dia berkata, "Panggil Tengu yang tempo hari kau gunakan untuk melawan kami. Aku butuh pengalih perhatian yang kuat."
Yuto mengangguk. "Aku tak bisa menahannya terlalu lama. Luka dalamku belum pulih sepenuhnya setelah pertarungan terakhir."
"CUKUP!"
BUSSSSH! BUSSSSH! BUSSSSH!
Puluhan semburan air meluncur dari mulut Kappa—cepat seperti peluru, tajam seperti pisau!
"CEPAT PERGI!" teriak Kappa. Tidak ada lagi nada lembut. Hanya kemarahan murni.
Hu Wei dan Yuto berpencar—satu ke kiri, satu ke kanan.
Yuto melompat sambil mengeluarkan kertas kuning mantra dari jubahnya. Dia melempar kertas itu ke udara.
WHOOOOSH!
Kertas terbakar! Asap pekat muncul—berputar, mengental, membentuk sosok.
Tengu bersayap putih muncul dari asap—makhluk yang pernah melawan Gao Shan tempo hari. Ukurannya lebih kecil dari Tengu Ryoken, tapi tetap mengerikan dengan mata merah dan paruh tajam.
Sementara itu, Hu Wei terus menghindar. Melompat. Merunduk. Berputar.
WHOOSH WHOOSH WHOOSH!
Semburan air mengejarnya tanpa henti. Kappa benar-benar marah—semua serangannya fokus pada Hu Wei yang menghinanya.
Dan saat menghindar, Qi hitam mulai muncul di sekitar tubuh Hu Wei.
Bulu-bulu hitam—ratusan, mungkin ribuan—terbentuk dari Qi Bayangan. Melayang di udara, mengikuti setiap gerakan Hu Wei seperti sayap tak terlihat.
WHOOOOSH!
Tengu panggilan Yuto melesat! Dua pedang terhunus—satu panjang, satu belati pendek!
SLASH SLASH SLASH!
Tebasan angin meluncur beruntun! Setiap tebasan membawa kekuatan spiritual yang membuat air sungai beriak!
Kappa mengalihkan perhatian. Tangannya bergerak—
SPLASH!
Air muncul membentuk perisai! Tebasan angin menghantam perisai, tapi tidak menembus!
Tengu tidak berhenti. Dia menyerang lebih cepat—berputar di udara, pedang berkilat dari segala arah!
CLANG CLANG CLANG!
Banyak tebasan mengenai tubuh Kappa. Tapi seperti serangan Hu Wei sebelumnya—kulit Kappa terlalu keras. Luka yang terbentuk langsung meregenerasi. Dan air dalam ceruk di kepalanya tetap utuh, tidak terguncang sama sekali.
Kappa menyerang balik. Cakarnya menyambar—
SLASH!
Sayap putih Tengu robek! Bulu-bulu beterbangan!
Tengu melolong, mundur beberapa meter.
Dan di saat itulah—
WHOOOOSH!
Hu Wei muncul dari atas dengan kecepatan mengerikan!
Sayap hitam dari Qi membentang di punggungnya—Teknik Gagak Hitam! Tubuhnya melesat seperti panah hitam!
Pedang berselimut Qi membara menebas ke arah kepala Kappa!
Kappa menoleh—matanya membelalak.
Tangannya terangkat menangkis!
CLANG!
Tapi—
WHOOOOSH!
Hu Wei berubah menjadi asap hitam!
Dan asap itu membelah menjadi tiga bayangan identik!
"Apa?!" Kappa menatap panik ke segala arah.
SLASH!
Satu Hu Wei muncul di belakangnya—nyata, bukan bayangan!
Pedang menebas horizontal dengan kekuatan penuh!
CRAAAAACK!
Ceruk di kepala Kappa terpotong! Potongan tengkorak melayang ke udara! Air di dalam ceruk tumpah—
Tapi Kappa bereaksi dalam sekejap mata.
Dia menjatuhkan tubuhnya ke air—menyelam dengan kecepatan brutal!
SPLASH!
Hu Wei yang kesal menebas permukaan air dengan seluruh kekuatannya!
BOOOOM!
Air meledak! Gelombang raksasa tercipta! Tapi bayangan Kappa sudah menghilang—ditelan kedalaman sungai yang gelap.
Hening.
Air sungai kembali tenang. Terlalu tenang.
Hu Wei berdiri di tepi sungai, napasnya tersengal. Yuto berdiri di sampingnya, wajahnya pucat.
"Apa... sudah selesai?" bisik Yuto.
Hu Wei tidak menjawab. Instingnya berteriak—ini belum berakhir.
Lalu permukaan sungai mulai bergejolak.
Gelembung-gelembung muncul—kecil di awal, lalu semakin besar.
Batu-batu di tepi sungai bergetar. Tanah di bawah kaki mereka gemetar.
BOOOOOM!
Ledakan air!
Dari tengah sungai, sosok muncul—tapi bukan Kappa yang mereka kenal.
Ini adalah monster.
Sisiknya menghitam—tidak lagi hijau, tapi hitam legam seperti batu vulkanik. Matanya memerah menyala—tidak ada lagi warna kuning, hanya merah darah yang berpijar. Tubuhnya membesar—tingginya hampir empat meter, otot-ototnya menonjol di bawah sisik hitam.
Cakar dari tangannya memanjang—setiap cakar sepanjang pedang pendek, tajam seperti pisau daging.
Dan ceruk di kepalanya—melebar dan semakin dalam. Tampak seperti mangkuk terbalik yang besar, sudah terisi penuh air lagi.
Kappa—tidak, monster itu—menggeram. Suaranya rendah, bergema, membuat tulang bergetar.
Lalu dia berteriak—dan untuk pertama kali, dia memaki dengan kata-kata kasar yang kontras total dengan sopan santun sebelumnya.
"DASAR MANUSIA BODOH! KALIAN SUDAH MELEWATI BATAS!" geramnya dengan suara menggelegar. "TIDAK ADA LAGI KESEMPATAN MELARIKAN DIRI! AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN BERDUA!"
Tangannya terangkat tinggi-tinggi.
Dan dunia merespons.
Pohon-pohon di sekitar sungai bergerak—akar-akarnya mencabut diri dari tanah, batangnya membungkuk mendekat. Semua pohon merapat—membentuk dinding hidup di sekitar mereka.
Tanah bergetar hebat.
BOOM BOOM BOOM!
Dari tanah, tembok batu menjulang tinggi—sepuluh meter, dua puluh meter—mengelilingi mereka seperti pagar raksasa. Dalam hitungan detik, mereka terkurung sepenuhnya.
Tidak ada jalan keluar.
Dan air sungai bergejolak hebat—ombak setinggi lima meter muncul, naik-turun seperti laut saat badai. Air berputar membentuk pusaran raksasa.
Hu Wei dan Yuto saling pandang.
Wajah keduanya pucat.
Sementara Hu Wei dan Yuto menghadapi kengerian dari Kappa, sebuah pertarungan hidup dan mati. Di saat yang sama di Gua Gunung Mayat, sosok yang jauh lebih mengerikan perlahan muncul.
Mo Long berdiri kaku.
Mata tertutup kain hitam. Darah mengalir dari mulut, hidung, telinga. Tubuhnya bergetar—terjebak dalam dunia ilusi Haikun yang tidak ada jalan keluar.
Di sampingnya, Yaohua terbaring kaku di tanah.
Matanya terbuka lebar—tapi tidak melihat apapun. Mulutnya terbuka dalam teriakan diam.
Efek samping Seni Pembalik Aliran Qi mulai menghancurkannya dari dalam.
Dantiannya hancur—retak seperti cangkir pecah. Meridiannya rusak—tersumbat dan berbelok tidak wajar. Rasa panas seperti bara api membakar setiap sel tubuhnya. Nyeri menusuk seperti ribuan jarum di sekujur tubuh.
Dia tidak bisa berteriak. Tubuhnya terlalu lemah bahkan untuk itu.
Sementara Haikun melayang di udara, tertawa lepas.
"HAHAHA! HAHAHAHA!"
Mata kelimanya bersinar dengan cahaya merah yang menyilaukan. Ilusinya menguat—Mo Long tenggelam semakin dalam ke neraka yang diciptakan khusus untuknya.
"Akhirnya!" teriak Haikun. "Akhirnya aku—"
Dia berhenti.
Senyumnya membeku.
Ada sesuatu... di dalam tubuhnya.
Sesuatu yang bergerak.
"A-Apa—"
Gejolak terjadi. Seperti sesuatu menggeliat dari dalam perut.
GRAAAAGH!
Haikun terjatuh dari udara, tersungkur di tanah batu. Tangannya memegang perutnya yang tiba-tiba terasa penuh.
"APA YANG—" geramnya panik.
Wajahnya menengadah. Semua matanya tertutup—lima mata sekaligus menutup erat. Tapi mata kelimanya... memutih. Iris merah hilang, digantikan warna putih susu.
Mulutnya terbuka.
Terbuka lebar.
Terlalu lebar—rahangnya mulai sobek di sudut mulut.
KREK.
Satu jari keluar dari mulutnya.
Jari putih pucat—panjang, kurus, dengan kuku hitam tajam.
KREK.
Dua jari.
Lima jari.
Sebuah tangan.
Dua pergelangan tangan.
Keluar dari mulut Haikun yang sobek.
"AAAAKKH!" Haikun mencoba berteriak, tapi mulutnya terlalu penuh.
CRACK! CRACK! CRACK!
Tubuh Haikun sobek.
Dari dalam.
Daging robek seperti kain basah. Tulang patah dengan mudah. Darah menyembur—tapi darah itu bukan merah, melainkan hitam kental seperti minyak.
Sosok keluar dari balik tubuh Haikun yang terbelah.
Sosok anggun.
Berambut putih panjang mengalir sampai pinggang. Kulit putih bersinar—tidak seperti kulit manusia, tapi seperti giok atau porselen yang memancarkan cahaya sendiri.
Dia berdiri tegak—tanpa pakaian, memperlihatkan tubuhnya yang sempurna namun mengerikan.
Dada bidang. Bahu lebar. Pinggang ramping.
Jelas bukan wanita—meskipun wajahnya begitu cantik sampai siapapun yang melihat sekilas akan mengira dia wanita.
Dia membuka matanya.
Pupil putih indah—tidak ada iris, hanya putih murni yang berkilau seperti mutiara.
Tubuh Haikun yang terbelah tergeletak di tanah—kosong, seperti cangkang yang ditinggalkan.
Pria itu menatap mayat Haikun dengan ekspresi jijik.
"Bodoh," katanya dengan suara lembut namun dingin. "Berani sekali kau hampir membunuhnya."
Dia melangkah—kaki telanjangnya tidak menyentuh tanah, melayang beberapa sentimeter di atas.
"Harapan kami..." Dia menatap Mo Long yang berdiri kaku. "...sang Iblis Surgawi."
Tangannya meraih—mencongkel mata kelima dari kepala Haikun dengan mudah. Mata itu keluar dengan bunyi basah, masih berdenyut di telapak tangannya.
Pria itu berjalan mendekat ke Mo Long.
Dia melepas penutup kain hitam dari mata Mo Long.
"Kau tidak boleh mati," bisiknya lembut. "Akan kuberikan mata ini untuk melindungimu."
Mata kelima Haikun di tangannya berubah—menjadi samar, seperti bayangan hitam dengan cahaya merah menyala di tengahnya.
"Tapi ingat..." Pria itu tersenyum. "...semakin sering kau gunakannya, semakin dekat jiwamu menjadi iblis."
Dia membuka mata kiri Mo Long yang terpejam.
Dan memasukkan mata Haikun ke dalamnya.
AAAAAAAARRRRRGGGGHHHH!
Mo Long tersadar dari dunia ilusi!
Kedua matanya terbuka lebar—mata kanan normal, tapi mata kiri... mata kiri bersinar merah dalam kegelapan!
Urat-urat hitam menjalar dari mata kirinya—merayap di pelipis, kening, pipi. Seperti akar pohon mati yang tumbuh di wajahnya.
Rasa sakit meledak.
Seperti mata kirinya ditusuk ribuan jarum yang dibakar. Seperti otak kirinya disiram asam. Seperti tengkoraknya retak dari dalam.
"AAAAAAKH! AAAAARRRGH!"
Teriakan Mo Long menggelegar di seluruh gua—bergema, memantul, menciptakan simfoni kesakitan.
Kulit kepalanya berdenyut kuat. Setiap denyut membawa rasa sakit baru yang lebih brutal dari sebelumnya.
Di tengah rasa sakit itu, dia melihat siliuet samar.
Pria berkulit pucat bercahaya. Berdiri di depannya dengan senyum yang tidak bisa ditafsirkan.
Terdengar suara—samar, seperti dari jarak jauh, tapi menembus langsung ke otak Mo Long.
"Mari kita lihat layakkah kau menjadi Iblis Surgawi yang kami nanti."
Pandangan Mo Long mulai gelap.
Sosok pria itu perlahan menghilang—memudar seperti asap.
Tapi senyum penuh arti itu tetap ada—tercetak di kegelapan yang menelan kesadaran Mo Long.
Lalu semuanya hitam.
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁