Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Informasi Sesat
Koridor rumah sakit menuju ruang konsultasi milik Sabil terasa lengang untuk pikirannya yang sedang berisik dan getaran di dadanya yang masih menyebut sebuah nama, Hania. Ia seakan berjalan dalam dunianya sendiri, bibirnya masih menyunggingkan senyum manis saat melewati koridor itu. Di tangan kanannya menenteng lunch box, di tangan kirinya menenteng jas dokter dan tas kerjanya.
"Pagi dok, ceria sekali pagi ini, seperti orang yang sedang jatuh cinta," sapa perawat yang berjaga di depan poli.
"Pagi sus, berapa pasien yang daftar online dan offline hari ini?" Ia berhenti di depan meja jaga perawat sambil melihat jurnal pertumbuhan pasien di tablet poli psikiatri.
"Hari ini pasien yang daftar untuk konsultasi dengan dokter ada 120 orang. Pasien pendaftaran online 80 orang, offline 40 orang. Tapi hari ini anda janji dengan beberapa orang pasien VVIP, karena anda telah reschedule jadwal minggu lalu."
"Huft banyak sekali, usahakan jadwal pasien VVIP jangan sampai sore, saya banyak keperluan."
"Baik dokter. Pasien VVIP sudah ada yang hadir dua orang dok, apa mau langsung dimulai?"
"Beri saya waktu lima menit untuk menghabiskan bekal istimewa ini." Ia mengangkat kotak bekal dengan wajah bangga. "Setelah itu panggil pasien pendaftaran online lima orang baru pasien VVIP."
"Baik dok."
Sabil melenggang masuk ke ruangannya, menghidupkan PC untuk memeriksa email dan laporan pasien, menyalakan fitur laporan BP*S untuk pasien yang menggunakan jaminan kesehatan pemerintah. Tangannya secara otomatis membuka semua tabel laporan sambil membuka kotak bekal yang ia letakkan di atas meja kerjanya.
"Ehmm... Kenapa puding ini rasanya enak sekali!" gumam Sabil. "Hania, kamu selalu memiliki kejutan untukku."
Lima menit telah berlalu. Perawat bertugas di meja resepsionis sudah meminta ijin untuk memanggil pasien pertama. Pelayanan kesehatan dimulai, Sabil memfokuskan pikirannya pada diagnosa pasien, tabel dan laporan. Puluhan pasien telah tertangani, hingga pasien VVIP ke lima hadir.
"Dok, pasien VVIP tinggal satu lagi. Dijadwalkan sekarang atau setelah istirahat, dok?" tanya perawat.
Sabil mengangkat pergelangan tangannya, waktu istirahat masih tiga puluh menit lagi. "Sekarang saja sus," jawabnya.
"Tuan Danuarta Segara," panggil perawat.
Lelaki itu masuk ke ruang konsultasi. Mata mereka bertemu. Kecanggungan menyelimuti ruang yang seharusnya hangat, untuk menjadi tempat pasien mengeluhkan permasalahannya.
"Silahkan duduk tuan Danuarta," sambut Sabil memecah kecanggungan, rahangnya ia kunci dengan kuat hingga tulang rahangnya menonjol.
"Terima kasih dokter... Sabil," balasnya sambil membaca nametag di dada Sabil.
Ada senyum tipis yang terlalu samar di bibir Danu, sehingga Sabil tidak menyadarinya. Sebenarnya hari itu Danu ingin konsultasi mengenai depresi dan ketergantungannya pada obat terlarang. Namun, saat mengetahui psikiater yang ia temui adalah lelaki yang bersama Hania malam itu, sifat manipulatif nya memercikkan api semangat untuk mengacaukan pikiran Sabil dan menjauhkan Hania dari orang lain.
Dia ingin melihat Hania hancur dan tidak memiliki siapapun yang bisa melindunginya, agar ia bisa kembali memanipulasi gadis itu dengan kata-kata cinta untuk mengusai harta Hania.
Mereka duduk berhadapan, posisi punggung Sabil tegak memberikan perhatian penuh pada pasien. Sementara, Danu duduk santai bersandar pada sofa yang empuk dengan wajah sendu dan tertunduk lesu. Sebagai Aktor drama stripping, Danu terbiasa memainkan mimik wajah dan beragam peran tanpa kesulitan.
"Ini janji pertama kita Tuan Danu, apa yang anda rasakan?" tanya Sabil berusaha bersikap profesional.
Drama dimulai oleh Danu.
"Sebelumnya saya pasien dokter Ernst, tapi saya perlu second opinion dari anda dokter Sabil. Saya... Korban penghianat kekasih saya, sampai sekarang saya masih merasakan kemarahan yang mengendap di dada saya, dok." Danu memukul dadanya dengan wajah merah, matanya memeras airmata sekuat tenaga agar terlihat benar-benar terpukul.
"Dia berulang-kali berselingkuh dengan lelaki yang bukan dari makhluk seperti kita. Mereka... Berhubungan layaknya suami istri setiap malam. Dia menghancurkan harapan dan masa depan saya, dok."
Sebelah tangan Sabil yang ada dibawah meja mengepal dengan kuat. Tapi ia berusaha bersikap tenang dan profesional. Ia terus menunjukan gestur peduli dan berempati mendengarkan cerita Danu.
"Anda melihatnya sendiri, mereka melakukannya?"
"Tentu saja dok, setiap jam sembilan malam saat suara gamelan berbunyi di rumah tunangan saya, lelaki itu hadir dan memasuki kamar tunangan saya. Mereka bercumbu seperti sepasang Lovebird yang saling merindukan dan bergantung satu sama lain, setiap malam."
Ia mengatakan kalimat 'setiap malam' dengan penuh penekanan.
"Saya terluka, saya marah. Dan kemarahan itu masih membakar diri saya sampai sekarang. Pengkhianatan nya membuat kepercayaan diri saya runtuh, saya tidak lagi berharap sebuah pernikahan karena takut pengkhianatan itu kembali terjadi dalam hidup saya."
Sabil mendengus perlahan. Sesi konsultasi kali ini sangat menguras emosi. Ia tahu siapa tunangan yang diceritakan Danu.
"Dia sangat dingin pada saya, tidak mau disentuh. Tidak bisa menjaga perasaan dan kemesraannya pada saya. Dia ingin menikah dengan saya, hanya untuk menutupi pernikahan gaibnya dengan makhluk itu."
Danu memasang wajah seolah terluka saat menceritakannya hingga bahunya bergetar, namun dibalik sikap pura-pura rapuhnya ada kemenangan yang ingin ia rayakan saat Sabil mengernyitkan keningnya juga meremas jemarinya sendiri.
"Pernikahan apa yang anda maksud?" tanya Sabil mulai terpancing.
Hati Danu bersorak. Inilah saatnya ia masuk mempengaruhi Sabil dengan lebih dalam. Menyuntikan racun di dalam pikiran lelaki berjas putih itu.
"Pernikahan terlarang, pernikahan dua dunia yang berbeda. Ia tega menumbalkan keluarganya untuk kekayaan dan cinta kasih mereka. Suami gaib Hania, bisa berubah wujud jadi apapun dan bisa merasuki tubuh siapapun yang dia inginkan untuk 'menyatu' dengan Hania."
Sabil mulai jengah dengan semua yang Danu ungkapkan, sayangnya kata-kata 'menumbalkan' dan 'menyatu' menjadi dua buah kata yang tertinggal di benak Sabil. Kata-kata yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Danu berhasil mempengaruhi dan meracuni pikiran Sabil.
Sabil menarik tubuhnya ke belakang, bersandar pada sandaran kursi kerjanya, berusaha rileks dengan sesi konseling pasien yang mempengaruhi emosinya.
"Apa yang anda rasakan setelah pengkhianatan itu?" tanya Sabil, pertanyaan standar yang secara otomatis keluar dari bibirnya.
"Saya merasakan ketakutan dok, saya merasa dikejar-kejar untuk dijadikan tumbal berikutnya. Dia... Sudah mengunci hidup saya dengan umpan yang telah lama dia berikan. Saya memang gila harta, dan dia manfaatkan itu untuk menjebak saya," dustanya lagi.
"Saya sering mendengar suara-suara asing di telinga saya untuk membunuhnya. Saya memang ingin membunuhnya!" Danu mengakhiri ceritanya dengan wajah penuh dendam, untuk meyakinkan bahwa cerita dustanya adalah sebuah kebenaran.
Pulpen di tangan Sabil terlepas sendiri dari jarinya. Ia tersentak dengan kalimat terakhir Danu disertai wajah penuh dendam pada Hania.
Sebagai tenaga professional, ia tidak bisa menyangkal semua cerita Danu, tidak boleh menghakiminya, juga tidak berhak membela Hania di depan pasiennya. Yang bisa ia lakukan hanya mengarahkan pasien agar bisa mengelola emosi, meredam kemarahan yang berlebihan dengan melakukan sesuatu yang positif, berusaha mengendalikan diri dan melepaskan semua ketakutan dan kecemasan yang tidak perlu.
Sesi konsultasi ditutup dengan pemberian resep agar kecemasan yang dirasakan Danu lebih bisa terkontrol dengan obat-obatan rileksasi otak yang menyebabkan efek mengantuk, agar ia bisa lebih banyak istirahat dari ketegangan.
Danu berpamitan, di depan Sabil dia tersenyum ramah dan memuji sesi konseling yang dia rasakan hari itu sangat bermanfaat baginya. Akan tetapi setelah kakinya keluar dari ruangan, wajahnya yang tadi sendu dan teduh, kini berubah menjadi kaku, sorot matanya tajam lurus ke depan. Ia meremas resep yang Sabil berikan lalu membuangnya ke dalam tong sampah.
Di balik pintu, di dalam ruang kerja Sabil... Lelaki itu duduk termenung, membaca ulang poin yang tadi sempat ia catat.
"Pernikahan gaib dengan jin yang bernama Prabu Kamandaka, Hania sudah melakukan kewajiban sebagai seorang istri pada suami gaibnya, tumbal dan mahluk gaib itu bisa masuk ke tubuh siapapun," tuturnya membaca hasil rangkuman di luar diagnosa medis
Sabil mengusap wajahnya dengan kasar, "mengapa aku begitu terpengaruh dengan ucapannya, semua itu di luar nalar. Hania tidak mungkin melakukannya." gumamnya
Ia berusaha berdiri pada keyakinan bahwa semua itu hanya lah halusinasi dan kecemasan berlebihan dari seseorang yang sedang mengalami depresi berat seperti Danu.
Namun, dua kata yang sudah tersimpan di memori otaknya, seperti virus yang mengendap perlahan menggerogoti keyakinannya pada Hania.
Ia melirik kotak bekal yang ada di pojok ruangan. "Baru saja aku memujimu, sekarang aku hampir saja meragukan mu, Hania" gumamnya. Nada suaranya goyah, keyakinan tidak sepenuhnya berdiri tegak menghalau pikiran negatif yang terlanjur hadir tanpa permisi.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?