sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT DARI PIAN
Motor Pian melaju dengan kecepatan sedang. Melesak jauh meninggalkan sekolah dan mulai melewati jalan raya.
Selama di perjalanan Pian terus menyanyikan
sebuah lagu.
"Naik, naik, ke motor Pian. Enak, enak sekali. Kiri-kanan, kulihat saja, banyak gedung kantoran-a-a-a. Kiri-kanan, kulihat saja, eh di belakang ada yang meluk."
"Berisik!" Pika mencekik leher Pian sampai cowok itu terbatuk-batuk; lalu tertawa.
Pian memperbaiki letak posisi kaca spion motornya agar bisa melihat wajah Pika. Buru-buru Pika memalingkan wajah.
"Lihat nih, jalannya bersih kan. Nggak ada sampah, nggak macet, nggak sumpek, nggak berisik karena klakson, dan nggak tau kenapa Pika masih benci sama kota sedamai ini."
Pian berbicara dengan volume suara yang sedikit keras, agar tak kalah dari suara kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
Motor Pian melawati tugu pesawat tempur jenis F-86 Sabre yang berada di bundaran persimpangan lampu merah jalan Sudirman.
"Kenapa pesawatnya harus dipajang di bundaran kota?" Pika bertanya.
"Nggak tau. Mungkin supaya Pian lebih mudah bawa pesawatnya pergi ke bulan. Kalau misalnya Neil Armstrong pecat Pian jadi supirnya, Pian udah punya pesawat sendiri."
Suara pukulan keras terdengar di pundak Pian sampai Pian meringis kesakitan.
"Gue serius! Dasar sableng!"
Motor Pian semakin melaju sampai menuju Sudirman ujung. Belok ke sebuah jalan kecil hingga membawa mereka ke lapangan gedung yang luas.
"Ini namanya kawasan purna MTQ. Kita bakalan masuk ke sini. Misi pertama yang harus kamu ketahui."
"Kenapa tempat kayak gini dijadikan misi?" Tanya Pika heran.
"Ya.." Pian menghela napas ketika motor berhenti di depan gedung. "Karena aku suka tempat ini. Sesuatu yang aku suka nanti, pasti kamu juga akan suka."
"Apa alasan yang bikin lo suka sama gedung ini? Dan kenapa lo yakin kalau gue bakalan suka tempat ini? Gue rasa ini Cuma gedung biasa, sama kayak gedung-gedung yang ada di Jakarta. Bahkan Jakarta punya gedung lebih gede daripada ini."
Pian mematikan mesin motornya.
"Nama gedung ini adalah Gedung Anjung Seni Idrus Tintin. Gedung ini dibuat untuk pergelaran seni. Awalnya seniman-seniman ternama Riau menggagas untuk menjadikan kawasan purna MTQ pusat kebudayaan dan kesenian Melayu Riau.
Makanya dibangun gedung megah berkesenian seperti Gedung Kesenian Jakarta TIM dan Sasono Langen Budoyo Taman Mini Indonesia Indah.
"Memang sih, banyak gedung yang lebih bagus di Jakarta. Tapi Cuma gedung ini satu-satunya yang akan membawa Pian pada sebuah mimpi."
"Mimpi?" Pika termangu. Masih duduk diam di belakang Pian. "Mimpi seperti apa?"
"Waktu pertama kali gedung ini dibangun. Pian Cuma berharap suatu hari nanti Pian bisa tampil di dalam gedung ini. Dan kamu jadi tamu penting yang duduk di salah satu kursi penonton." Mata Pian berkaca-kaca saat memerhatikan gedung tersebut. Tersirat beribu makna, seperti sebuah impian dan harapan besar. Tatapan itu membuat Pika terpaku.
"Dan mimpi kedua," Pian melanjutkan. "Gedung ini bisa membawa Pian ketemu sama sutradara, artis, produser dan kru-kru film ternama di Indonesia."
"Maksudnya?"
"Kabarnya Festival Film Indonesia 2007 mau dilangsungkan di gedung ini."
"Oh ya?"
Pian mengangguk mantap.
"Terus kalau FFI dilangsungkan di sini, lo bisa ketemu sama mereka-mereka semua? Memangnya lo mau ngapain kalau ketemu sama mereka?"
"Nih, kalau misalnya aku bisa ketemu samna Hanung Bramantyo. Aku mau teriak-teriak, dan bilang: Mas Hanung, Mas Hanung, boleh gak main di filmnya? Aku ini aktor terbaik loh."
Pika mencibir. "Mas Hanungnya jawab: Orang gila dilarang main film saya."
Pian mengerutkan dahi. "Pian jawab lagi: Tanpa orang gila, orang waras gak terkenal."
"Lah, Kok gitu?"
"Iyalah. Kalau nggak ada orang gila, kamu nggak bisa bedain mana orang yang beneran gila dan mana orang yang pura-pura gila demi bikin orang lain ketawa."
bisa bedain mana orang yang beneran gila darn mana orang yang pura-pura gila demi bikin orang lain ketawa."
Piak bungkam. Termenung. Jadi maksudnya selama ini Pian pura-pura jadi gila demi membuat semua orang tertawa?
"Tapi tenang aja Agen Pika. Orang gilanya nggak akan bisa ketemu sama Hanung Bramantyo.
Soalnya udah disuntik rabies sama Agen Pika."
Pika tertawa selama semenit. Sebelum sadar kalau Pian terus memperhatikan wajahnya. Dan Pika langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Senang bisa lihat Agen Pika ketawa."
Hening.
"Lo suka banget ya sama Seni?" Pika mengalihkan pembicaraan.
"Yang nggak suka seni, berarti orang gilak. Menurut Ki Hajar Dewantara, Seni itu timbul dari perasaan dan sifat yang indah. Sehingga seni bisa menggerakan jiwa dan perasaan manusia. Tanpa mungkin jiwa Pian nggak akan tergerak ngucapin syair-syair pujangga buat Pika. Walaupun Agen Pika menanggap semua yang Pian lakukan itu norak. Tapi, hal sekecil itu aja bisa menggertak perasaan Pika. Contoh, perasaan emosional
Pika. Agen Pika jadi cepat tua karena suka marah-marah."
"Isss!" Pika menggerutu kesal. Pian terkekeh.
"Jadi ini alasan lo suka banget sama dunia Teater?" Pian mengangguk pelan.
"Kenapa sih suka Theater?"
"Sekali lagi.." Pian mengambil telapak tangan Pika dan meletaknya di dada. "Karena jiwa. Di teater, Pian bisa jadi siapa saja dan melakukan apa saja yang Pian suka. Tanpa aturan, tanpa larangan. Semuanya bebas tanpa terikat. Yang paling penting, teater itu bisa bikin Pian jadi manusia pembohong sepanjang masa."
"Kok gitu?" Pika menjauhkan telapak tangannya.
"Pian pura-pura ketawa, pura-pura nangis, atau pra-pura bahagia saat memainkan suatu peran. Tapi justru hal seperti itu yang bikin hati Pian jadi lega." Jeda lima detik. "Asal kamu tau Agen Pika. Kita hidup di dunia ini juga berpura-pura. Karena bumi itu seperti panggung sandiwara. Kalau diibaratkan, Tuhan adalah sutradaranya.
Sekali Tuhan bilang cut sama adegan kita, maka semuanya sudah selesai."
Mereka terus berbicara panjang lebar sampai senja muncul dan matahari nyaris tenggelam. Pian membawa Pika menuju rumah masakan padang terdekat untuk berbuka puasa.
Satu hal yang baru Pian ketahui dari Pika adalah; kalau Pika nggak suka pedas. Setiap kali kepedasan wajah Pika berubah warna menjadi kemerahan. Matanya berair dan mulutnya terbuka lebar seperti menguap. Dan yang bisa Pian lakukan adalah; mengambil segelas es batu untuk Pika. Bukannya menerima,
Pika justru semakin marah.
"Tahan Agen, tahan. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang..."
"Gue nggak lahiran geblek! Ini kepedesan!" refleks, Pika menarik rambut Pian.
"Terus Pian harus gimana, Agen? Panggil dokter?"
"Semangka. Cariin gue semangka!"
Hal baru lagi yang Pian ketahui tentang Pika; kalau Pika kepedasan, obat ampuhnya adalah semangka.
Setelah acara buka puasa aneh selesai. Pian kembali membawa Pika menuju sebuah gedung yang tepat di belakang gedung Idrus Tintin.
Gedung ini lebih kecil dan tidak sebagus Gedung Idrus Tintin. Tapi di tempat inilah para seniman sering berkumpul untuk melakukan pertunjukan seni nonformal.
"Hoy, Yuang!! Ngapain kau di sini?"
Seorang laki-laki bertubuh pendek, gemuk, berkulit gelap, berkepala sedikit plontos namun tidak licin menghampiri mereka.
"Hoy Bang! Nggak ada, Cuma mau mampir aja."
"Siapa ni? Pacarmu?" Laki-lakit itu menatap Pika.
"Calon." Pian berbisik, "Namanya Harpika.
Dan Pika, ini Bang Masteven. Dia pelukis. Suka ngongkrong sama anak-anak seni di sini."
Pika termangu memerhatikan penampilan Bang Masteven dari atas kepala hingga ujung kaki. Pakaiannya terlihat kumel, wajahnya kusam.
Teman Pian yang lain ikut muncul. Laki-laki kira-kira seumuran dengan Bang Masteven tapi tinggi badannya hanya mencapai lutut Pian. Membuat Pika harus menundukan kepala demi melihat laki-laki bertubuh kurcaci tersebut.
"Ini namanya Bang Iyas. Suka main teater bareng Pian."
Dan sosok Bu Nova yang hadir di antara mereka buat Pika terkejut. Ternyata Bu Nova salah satu dari rombongan mereka yang ikut bermain teater.
"Eh ada Pika. Nak ikut main teater sama Pian kah?" tanya Bu Nova jenaka.
"Enggak Bu. Pika mau pulang aja, udah malem. Heheh," balas Pika sopan. Menyenggol sikut Pian.
"Jangan buru-buru pulang dulu lah. Duduk dulu di sini nonton kami teater. Pika belum pernah lihat Pian main teater kan?"
"Udah. Di sekolah. Setiap hari Sabtu."
Pika sering melihat Pian main teater setiap hari Sabtu di sekolah. Setiap kali ekskul mulai berjalan. Dan kesimpulan Pika saat melihat Pian bermain teater adalah; Pian totalitas gila.
"Tapi Agen Pika belum pernah lihat Bu Nova main kan? Atau Bang Iyas? Mereka ini hebat-hebat loh, para sesepuh Pian," kata Pian.
Pika hanya mampu menggerutu dalam hati. Sejujurnya Pika benar-benar ingin pulang dan ingin cepat-cepat mengakhiri perjalanan hari ini. Meskipun nggak terlalu membosankan. Tetapi tetap saja bagi Pika menyebalkan setiap kali berada di sisi Pian.
Namun Pika tidak bisa berbuat banyak selain mengiyakan ajakan halus Bu Nova. Akhirnya Pika dan Pian mengambil posisi di kursi penonton. Menyaksikan Bu Nova, Bang Iyas dan anak teater lainnya bermain di atas panggung.
Tentu saja kecuali Pian. Karena khusus malam ini, Pian hanya ingin duduk di kursi penonton. Duduk di sebelah Pika lebih tepatnya. Diam-diam memperhatikan wajah Pika dalam ruang gelap.
Hanya ada lampu sorot yang menerangi. Membuat wajah Pika terlihat berkilauan saat tersenyum atau pun tertawa ketika menonton pertunjukan.
Tak ada hari yang paling indah selain hari ini. Dan tidak ada moment yang lebih menyenangkan selain bisa melihat senyum dan tawa seseorang yang kamu suka karenamu.
***
"Hujannya masih deras. Bentar lagi kita pulang, tunggu reda dikit ya."
Hujan deras lagi-lagi mengguyur kota Pekanbaru malam ini. Pika dan Pian terpaksa harus berteduh di teras bawah tanah gedung Idrus Tintin bersama beberapa anak seni lainnya kecuali Bu Nova yang sudah pulang terlebih dahulu dijemput oleh suaminya dengan mobil.
Pian dan Pika duduk di deretan anak tangga sambil memperhatikan Napi kehujanan dengan tatapan nelangsa.
"Kasian ya si Napi." Desis Pian.
"Kenapa?" Pika bertanya.
"Kehujanan." Kemudian diiringi dengan suara gemuruh petir. "Kasian ya kamu."
"Gue? Memangnya gue kenapa?" Pika menoleh heran.
"Kedinginan," jawab Pian kalem.
"Kasian ya Pian.."
"Lah, emang lo kenapa?"
"Nggak bisa meluk kamu. Karena banyak orang." Pian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Muncul semburat di kedua pipi Pika. Entah dari mana datang keberanian ini sampai-sampai sebelah tangan Pian bergerak menyentuh telapak tangan Pika. Pelan-pelan mengaitkan ke sepuluh jari mereka, menggenggam dengan erat.
Pika terkejut luar biasa namun tidak bisa berbuat apa-apa. Suara petir dan debaran jantung belomba-lomba menyentak Pika.
"Aku kasih tau sebuah rahasia ya, Agen Pika. Sebenarnya Pian benci hujan." Pian berbisik tepat di telinga Pika. Tapi Pika sama sekali tidak bisa berkutik. Bibirnya membeku.
"Pian benci hujan karena takut bakalan khilaf meluk Pika. Gara-gara kita berdua sama-sama kedinginan dan butuh kehangatan."
Pian membuka jaket kulitnya dan menyampirkannya di pundak Pika.
"Cuma jaket ini yang bisa mewakili Pian."
Debaran jantung Pika semakin tak keruan. Malam yang panjang untuk hujan yang teramat singkat.
Akhirnya detik-detik menegangkan berlangsung cepat. Setelah hujan reda, Pian langsung mengantar Pika kembali pulang ke rumahnya.
Pian berbicara kepada Ibu dan Ayah Pika yang kebetulan ada di rumah. Meminta maaf karena tidak minta izin secara langsung saat membawa Pika pergi jalan-jalan. Dan Pian juga menyapa adik bungsu Pika, Dimas. Tapi suasana yang awalnya berlangsung baik malam ini harus kandas akibat perkataan Dimas.
"Mbak Pika, tadi ada yang datang ke rumah terus kasih bunga." Dimas memberikan satu buket bunga mawar merah pada Pika.
"Siapa, Dim?"
"Cowok. Katanya, namanya Tristan. Gue Cuma disuruh kasih bunga dan surat itu aja sama Mbak Pika,"
Pian bisa melihat dengan jelas raut wajah Pika berubah ketika nama Tristan disebut. Senyuman itu berbeda, sangat berbeda jauh ketika Pika tersenyum dengan Pian. Bahkan saat dengan Pian pun, tidak bisa dibilang senyuman. Hanya wajah kesal dan cemberut saja.
"Pik, Pian pulang dulu ya..." akhirnya Pian pamit.
"Eh jaketnya?"
"Kapan-kapan aja. Kan kita masih sering ketemu."
"Oh, yaudah kalau gitu."
"Pian punya ini buat kamu." Pian memberi Pika sepucuk surat sebelum benar-benar pergi.
Pika baru membaca selembar surat itu saat di kamar. Membaca surat dari Pian untuk yang ke sekian kalinya. Selembar surat yang berhasil membuat hati Pika bergetar dan tertegun kaget.
Selembar surat yang memaksa Pika harus berani membuat keputusan secepat kilat tentang hubungan yang terjadi di antara dia, Tristan dan juga Pian.
***
Kamu tahu mengapa aku nggak ganteng? Waktu menciptakan aku, mungkin Tuhan keliru. Kamu tahu mengapa aku nggak pintar? Mungkin tuhan nggak mau bagi-bagi anugrah terindahnya kepadaku karena Tuhan hanya ingin melihat sebuah usaha.
Kamu tahu mengapa semua orang menganggap aku ini gila? Waktu tuhan membagikan akal dengan kapasitas normal. Aku sengaja kabur. Supaya bisa bikin kamu tertawa dengan segala kekonyolanku.
Kamu tahu mengapa aku suka sama kamu? Jatuh cinta itu nggak butuh banyak alasan. Cuma perlu usaha.
Semua itu sudah cukup menjabarkan seluruh isi hatiku kan? Kalau kamu mencari cowok dengan kriteria sempurna, mungkin aku bukan salah satunya. Lagipula cowok spesies itu susah jaganya. Tapi, kalau kamu mencari cowok langka seperti aku. Kamu nggak perlu bersusah payah, cukup aku yang
jaga kamu.
Aku memang tidak mahir menmbuat kamu bahagia, paling tidak akujuga tak mahir membuatmu menjatuhkan air mata.
aku cinta sama perempuan yang selalu judes sama aku. itu bukan salah aku kan? jangan mau sama yang lain, balas saja cintaku. karena di sayang pian itu menyenangkan
di sayangg pian itu menyenangkan gaes💖