"Aku nggak punya pilihan lain." ucap adel
"Jadi kamu memang sengaja menjebakku?" tanya bima dengan nada meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Tiga hari telah berlalu, tetapi Adel masih belum menemukan Bima. Padahal, Dia telah mencari kesana kemari, bertanya kepada orang-orang, dan memeriksa setiap tempat yang mungkin pernah Bima kunjungi. Tapi, tidak ada kabar tentang keberadaan Bima, membuatnya sedih dan frustasi. Perjuangannya beberapa hari ini tidak membuahkan hasil sama sekali, benar-benar usaha yang mengkhianati hasil.
Adel merasa kegalauan dan kesedihan yang mendalam. Dia tidak bisa tidur, tidak bisa makan, dan tidak bisa berpikir jernih. Hanya tiga hal yang terus berputar di pikirannya, yaitu bima. Dimanakah pria itu berada? Sedang apa sekarang? Mengapa pergi menjauh darinya, sejak malam itu?
Dia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Bima adalah ayah angkatnya, tapi bagi Adel, Bima adalah lebih dari itu. Bima adalah cinta, kasih sayang, dan perlindungan baginya.
Adel berjalan mondar-mandir di rumah, merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berakhir. Dia berhenti di depan foto Bima, dan menatapnya dengan mata yang berlinang air mata.
"Kemana kamu, mas bima, kenapa kamu tega meninggalkan aku sendiri, sayang?" Adel bertanya dengan suara yang terputus-putus. "Ka-kamu jahat mas, tega sekali kamu membuat aku sakit hati? Apa salahku, padahal aku cuman mengungkapkan perasaanku saja? Apa itu kesalahan ku? Fatal ya? Hiks..." Ia terisak kecil, menumpahkan kesedihannya didalam sebuah tangisan.
Adel merasa seperti sedang menghadapi kehilangan yang tidak terbayangkan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau ke mana harus pergi. Yang dia tahu hanya satu hal, dia harus menemukan Bima. Apapun yang terjadi.
Ia menyemangati dirinya sendiri, dengan langkah buru-buru namun mantap, ia segera pergi mencari bima. Suasana diluar kini sudah malam, hembusan angin menerpa kencang, menusuk kulitnya membuat Adel menggigil kedinginan, wanita itu kembali kedalam rumah, mengambil jaketnya dan memakaikannya.
Disepanjang perjalanan Adel berkunjung kerumah Bastian seperti biasanya, menanyai informasi, apakah ayahnya sudah ditemukan? Dan lagi lagi, Bastian mengatakan belum menemukan informasi apapun, sengaja menutupi kebenaran ini, agar Adel tak bisa menguak informasi tentang bima dan berharap untuk menyerah saja.
Adel menghela nafas lirih, selalu saja seperti itu jawaban yang diberikan oleh Bastian. Dengan wajah murung, ia mengayunkan langkahnya setelah berpamitan dengan Bastian.
Didalam mobil, Adel menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia terus berpikir tanpa henti, harus mencari kemana lagi? Seluruh tempat yang pernah bisa sengahi telah ditelusuri. Namun hasilnya tetap nihil. Usaha dan doa telah dipanjatkan, tetap saja......
"Argghhh!!!" Adel memukul setir mobilnya, pusing memikirkan semua ini. Otaknya mendadak buntu tak tahu lagi harus melakukan apa lagi, ia tampak stres malam ini.
Ia merogoh ponselnya, menghubungi Sinta dan Novi, ingin mengajaknya kesebuah tempat, merehatkan isi kepalanya yang hampir pecah, dan mencari ketenangan sesaat jika dia sedang kacau balau begini.
"Mau gak?" Tanya Adel disaat panggilan terhubung.
"Gas aja del! Lo siap-siap aja! Biar kita jemput, eh bentar, bentar,"
"Apa?"
"Lu udah izin pergi belum sama bokap Lo?"
"Dia gak ada dirumah!"
"Oh, yaudah!" Kata Sinta, paham, tak mau bertanya lebih lanjut lagi.
"Langsung otw aja! Ya!" Kata Adel, hendak memutuskan hubungannya, namun Sinta tiba-tiba menyeletuk. Mengurungkan niatnya barusan.
"Tumben Lo ngajak kita gini? Gak kayak biasanya" tanya Novi merasa janggal. Biasanya Adel selalu menolaknya ketika diajak pergi kesebuah club setiap malam oleh keduanya.
"Lagi pengen aja! Udah jangan kebanyakan nanya! Gue banting juga lama-lama nih!" Kesal Adel, emosi sendiri.
Klik!
Adel membanting ponselnya kedashbord, mengusap wajahnya berulang kali, berteriak-teriak didalam mobil. Suara teriakannya menggelegar, menghempaskan segala barang yang terletak didashbord hingga berserakan. Kemudian ia menginjak gasnya dan bergegas pergi dengan hati yang penuh emosi.
Sesampainya di klub, Adel turun dari mobil dan segera melangkah masuk. Matanya menelusuri keramaian, mencari Sinta dan Novi yang sebelumnya sudah mengabari bahwa mereka ada di area VIP dekat bar. Dengan langkah cepat, ia menyelinap di antara pengunjung, menikmati dentuman musik yang menggema di seluruh ruangan. Sesampainya di sana, ia menemukan keduanya sedang duduk di sofa mewah, minuman di tangan, tersenyum saat melihatnya datang.
"Sini del!" Racau Sinta, matanya tampak sayu, menyodorkan segelas minuman memabukkan itu kepadanya.
"Udah mabok aja Lo, lagi nge-fly ya? Keknya tinggi banget ini efeknya!" Kata Adel terkekeh kecil, segera menyesap minumannya.
"HM! Emang!" Kata Novi, memegang kepalanya, pusing tujuh keliling.
Adel meneguk minumannya perlahan, namun rasa hangat yang mengalir di tenggorokannya justru membuat kepalanya terasa semakin berat. Pandangannya sedikit kabur, dan suara bising di sekitarnya mulai terdengar samar. Ia mengerjapkan mata, mencoba tetap fokus, tapi pusing itu semakin kuat, membuat tubuhnya terasa limbung.
"Eh, Adel Lo disini juga?" Tanya seseorang berdiri tepat dihadapannya, dengan tubuh yang mulai linglung, siapa lagi kalau bukan Jessica dan Azizi.
Adel mendongak menatap keduanya, tak menjawab pertanyaan dari dua orang itu. Kembali ia meneguk minuman yang dituangkan oleh Novi.
Sementara di ujung sana, ada 3 laki-laki yang memerhatikan Adel dengan senyum yang sulit ditebak. Ketiga laki-laki itu bergerak, menghampiri mereka.
"Hey! Cantik!" Sapa ketiga laki-laki itu, satu dari mereka merangkul pundak Azizi dengan lancangnya.
"Lo jangan kurang ajar ya!" Sentak Azizi, menghempaskan tangan pria itu.
"Jangan galak-galak dong, sayang!" Laki-laki itu mencolek dagu Azizi, menggodanya.
"Siapa nama kamu cantik?" Tanya temannya kepada Adel, sengaja mengalihkan. Sontak menghentikan pertikaian antara Azizi dan laki-laki itu. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, kedua laki-laki itu mengondol Azizi dan Jessica yang sedang tinggi-tingginya. Kedalam sebuah ruangan, dieksekusi.
Itu sudah hal lumrah dan sering terjadi setiap malam. Azizi dan Jessica memang tidak virgin lagi, tubuh mereka terlalu sering dijamah oleh para laki-laki disini. Bukan cuman satu laki-laki saja, kadang Azizi bermain beramai-ramai dengan para laki-laki dalam satu kamar, istilah kasarnya g4ngb4ng. Bahkan yang lebih parahnya lagi, 5-10 lelaki selalu melayani nafsunya, setiap malam. Hanya Azizi saja, Tidak dengan Jess.
Parah? Tentu saja parah. Azizi sudah melakukan rutinitas tersebut dari 2 tahun lalu, sejak dirinya masih duduk dibangku kelas satu SMA.
Sungguh, fantasi wanita itu sangatlah l1ar dan mempunyai nafsu tinggi, cewek b1nal.
Itulah sisi gelap tempat ini, berbuat maksiat adalah makanan mereka sehari-hari. Bagi orang-orang sini, kesenangan lebih berarti dibandingkan dampak yang akan terjadi suatu saat nanti.
"Hey, mengapa diam saja?" Tanya laki-laki itu, duduk disebelahnya. Terus menerus menggoda Adel dengan gerakannya.
"Jangan kurang ajar Lo!" Sentak, Novi tak suka dengan laki-laki itu yang terus-menerus menggoda sahabatnya.
Walaupun Novi dan Sinta sering mabok, namun keduanya tidak pernah melakukan hubungan itu, sekedar bersenang-senang saja, tidak lebih.
"Lo siapa? Berani banget Lo kurang ajar sama gue!" Laki-laki itu tak terima dan mencengkram rahangnya.
"Lepasin temen gue! Set4n!" Adel memukulinya bertubi-tubi hingga cengkraman itu terlepas.
Novi meringis, mengusap rahangnya yang berdenyut-denyut. Tak mau lama-lama disini, ia menarik Sinta dan Adel, ingin membawanya pergi. Belum sempat melangkah, laki-laki itu menahan Adel, tanpa sadar tangannya terlepas dari tarikan Novi yang terus berjalan bersama Sinta dengan langkah kelimpungan.
"Lepasin!" Teriaknya memberontak.
Laki-laki itu menyeringai, mana mungkin dirinya akan melepaskan mangsa secantik ini, tangannya mencengkram kuat pergelangan Adel, menariknya secara paksa tanpa memberikan kesempatan Adel untuk melawan. Adel terhuyung, kepalanya masih terasa berat. Membuatnya sulit menjaga keseimbangan, tidak ada cara selain berteriak-teriak.
"Tolong! Tolong!" Teriaknya mulai kewalahan.
Seorang pria tiba-tiba muncul dan dengan sigap mencengkeram tangan laki-laki itu, memaksanya melepaskan Adel. Tatapan tajamnya penuh amarah, sementara rahangnya mengeras menahan emosi. "Lepaskan dia," suaranya terdengar dingin namun penuh ancaman. Laki-laki itu terkejut, ragu sejenak sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya. Adel, yang masih limbung, merasakan tangan kuat yang menopangnya, memberikan rasa aman di tengah kepanikannya.
"Tu-tuan Alex!" Ucap laki-laki itu terbata-bata.
Bugh!
Bugh!
Alex tanpa ragu melayangkan tinjunya tepat ke wajah laki-laki itu, membuatnya terhuyung ke belakang dengan ringisan kesakitan. Dentuman musik klub seakan tenggelam oleh ketegangan yang tercipta. Laki-laki itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah, menatap Alex dengan tatapan marah, tapi Alex tak gentar. Ia berdiri kokoh di depan Adel, sorot matanya tajam penuh peringatan.
"Kalo Lo berani Sentuh dia lagi, siap-siap aja, gue akan bertindak lebih dari ini" suaranya dingin, membuat lawannya berpikir dua kali sebelum bertindak.
Pria itu buru-buru bangkit, kabur, meninggalkan Alex dan Adel dsini.
"Kamu baik-baik aj-" ucapannya terhenti, Alex kaget melihat Adel. Keduanya saling beradu pandang lama, ada desiran aneh yang menyelimuti hatinya.
"Makasih tuan!" Ucap Adel merasa risih, Alex tersadar dan mengganguk, kemudian pergi meninggalkannya seorang diri.
Adel menghela nafas panjang, merasa aneh dengan sikap Alex. "Bodo amat, yang penting dia nolongin! Walaupun gelagatnya mencurigakan." Gumamnya, pelan, hendak berjalan.
Tiba-tiba datang para laki-laki hidung belang, mendekatinya, mengitari Adel yang mengerutkan keningnya.
"Siapa kalian? Minggir!" Adel mengibaskan tangannya, raut wajahnya ketakutan.
Para laki-laki hidung belang itu tak mengatakan apa pun, hanya menyeringai licik, lalu bergerak mendekat, bersiap membopong tubuh Adel yang masih lemas. Namun, gerakan mereka tiba-tiba terhenti.
Sebuah tangan kuat mencengkeram bahu salah satu dari mereka, menahan dengan paksa. Alex berdiri di sana dengan tatapan penuh kemarahan, matanya berkilat tajam.
"Jangan coba-coba," suaranya rendah namun sarat ancaman. Dalam sekejap, suasana yang semula riuh terasa mencekam, dan laki-laki itu mulai menyadari bahwa mereka telah memilih lawan yang salah.
"Tu-tuan Leon!" Ucap kelima laki-laki itu, keringat dingin.
"Pergilah, sebelum aku habisi!" Ucap Leon, suaranya dingin, mengancam.
Dengan langkah lunglai mereka berlarian kesana kemari, wajah mereka tampak panik, sekaligus syok. Menghadapi Leon itu, ibaratnya seperti mencari mati.
"Kamu.... Ehh..... Kamu kan....." Mata Leon terbelalak dengan mulut mengganga, terkejut.
Adel tak kalah terkejutnya, sama seperti Leon. Keheningan meliputi keduanya.
Leon berdehem memecahkan keheningan, sejenak. "Kenapa kamu bisa ada disini?" Tanyanya, penasaran.
"Tuan kenapa bisa ada disini?" Tanya Adel Balik, suaranya tercekat.
Leon menghela nafas panjang, kesal dengan Adel yang malah bertanya balik, tak mau banyak omong, ia segera merogoh ponselnya dan mengetikkan sesuatu disana.
"Ayah kamu sebentar lagi datang, ikut saya! Jangan kemana-mana! Tempat ini bahaya untuk kamu!" Titah Leon, berjalan terlebih dahulu, Adel terdiam, menelan ludah susah payah, mengikutinya dari belakang dengan hati yang mulai gelisah. bagaimana tanggapan bima saat tahu dirinya tengah bermain kesini?
Mata Leon menyusuri kerumunan, mencari-cari seseorang di tengah riuhnya musik dan cahaya lampu yang berpendar. Rahangnya mengeras, kesabarannya semakin menipis seiring waktu berlalu. Ia melangkah cepat, matanya tajam meneliti setiap sudut ruangan, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada sosok yang dicarinya, siapa lagi kalau bukan arhan. Pria itu dikelilingi 3 wanita berpakaian kurang bahan, ketiga wanita itu gencar menggodanya.
"Sial!" Umpat Leon pelan, mempercepat langkahnya, tak terima arhan disentuh-sentuh oleh wanita kurang ajar itu. Berani sekali mereka mengambil kesempatan disaat arhan sedang mabuk.
"Minggir j4lang!" Bentak Leon, mendorong ketiga wanita itu hingga tersungkur kelantai.
"Baj1ngan! Siapa ka, tu-tuan Le-leon!" Ketiga wanita kompak membekap mulutnya, matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran Leon disini.
Adel mengerutkan keningnya, pandangannya berkunang-kunang, mencoba menelisik penampilan pria itu. seketika ia membekap mulutnya, syok berat melihat arhan disini.
"Pergilah! J4lang! Sebelum aku b*n*h kalian bertiga disini!" Ancam Leon, menodongkan pist*lnya, ketiga wanita itu bangkit dan pergi dengan wajah ketakutan.
"Tu-tuan kenapa anda bisa disini? Apa yang terjadi?" Tanya Leon berbisik ditelinganya, cemas.
"Hahahah! Hehehehe!" Arhan terkekeh tidak jelas, menepuk-nepuk pundak Leon.
Leon hanya geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan situasi di depannya. Saat seseorang bertanya, bukannya menjawab, ia malah tertawa kecil, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Dengan satu tangan, ia memapah Arhan yang sedang mabuk berat, tubuh pria itu nyaris tak bisa berdiri sendiri.
"Gila! Sampai nge-fly gini!" Gumam Leon pelan. Arhan hanya meracau tidak jelas, sedangkan, Leon menghela nafas berat, bersiap membawanya keluar.
Adel yang dibelakangnya terus mengikuti, walaupun pandangannya tak jelas, ia bisa mengamati gerak-gerik arhan.
Setibanya diluar, Leon membuka pintu mobilnya dan memasukkan arhan kedalam sana, setelahnya. Ia berdiri disamping Adel, menemani dan menjaganya.
Bruk!
Adel terhuyung, berujung ambruk, kesadarannya mulai hilang namun ia tidak pingsan.
"Astaga!" Leon membantunya untuk berdiri dengan tangan Tremor. Wajar ia tak terbiasa menyentuh wanita, apalagi mabok, Leon tidak pernah menyentuh minuman tersebut seumur hidupnya.
Tak lama, sebuah mobil berhenti disebuah klub. Pintu terbuka, dan seorang pria turun, dengan langkah tegas, berjalan, dia bima.
Pria itu berkacak pinggang, menatap Adel dengan tatapan tajam.
"Adel kenapa kamu seperti ini!" Suaranya datar, wajahnya dibuat setenang mungkin, tapi jelas mengandung kemarahan. Adel hanya terkekeh pelan, kepalanya terhuyung, tak menyadari bahwa badai besar siap menghantamnya.
"Kurang ajar sekali kamu del! Siapa yang mengajari kamu berbuat seperti ini?" Tanya bima, terpancing emosi, kemarahannya seolah tak terkendali.
"Dia mabok! Sebaiknya anda tidak usah bertanya!" Ucap Leon melerainya, melirik kearahnya. "Bawalah dia pergi! Marahi saja jika sudah sadar! Jangan biasakan dia seperti ini, anda harus tegas sebagai seorang ayah!" Kata Leon.
"Makasih tuan! Untung ada anda jika tidak...." Bima membungkuk hormat, beruntung Leon menghubunginya tadi.
Bagi orang seperti Leon, yang berkuasa dan memiliki koneksi luas, mendapatkan informasi semacam itu adalah hal yang mudah. Dalam hitungan menit, ia bisa mengetahui siapa saja yang ada di klub, bahkan mengawasi pergerakan mereka tanpa perlu repot. Dan ketika ia melihat situasi Adel memburuk, tanpa ragu ia langsung menghubungi Bima.
Leon mengalihkan tubuh Adel, perlahan namun pasti, bima meraihnya, menggendongnya dan memasukkannya kedalam mobil.
Didalam mobil bima memasang seat belt Adel, memastikan anaknya itu aman.
Bima memacu mobilnya, membelah kensunyian, disepanjang perjalan Adel terus meracau tidak jelas.
"Ayah!" Panggilnya dengan suara serak.
Bima menoleh sekilas, kemudian beralih memandang lurus kedepan. Ia masih kesal dengan sikap Adel, tak menyangka jika anak gadisnya itu berkunjung ketempat terlarang, sebagai seorang ayah ia merasa gagal dalam mendidiknya.
"A-ayah aku kangen ayah! Hiks......" Isak tangis terdengar ditelinganya. Suara itu bergetar, seperti ada kesedihan yang begitu dalam lewat kalimat yang diucapkan.
"Kenapa ayah jahat?! Kenapa ayah meninggalkan aku setelah aku mengungkapkan perasaan aku? Hiks...."