" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Langit sore tampak temaram, memantulkan gurat jingga yang menggantung di cakrawala. Di teras rumah Andre, aroma kopi hitam menyatu dengan harum melati dari taman kecil di sudut halaman. Ria duduk di kursi rotan, memeluk cangkir hangat itu seolah mencari perlindungan dari dinginnya kenyataan yang sebentar lagi harus ia hadapi.
Andre duduk di sebelahnya, menatap Ria yang tampak tenang di luar, tapi jelas gelisah dari sorot matanya. Surat gugatan yang tiba pagi tadi belum sempat mereka bicarakan secara mendalam. Andre tahu, sebagai pengusaha, Ria bukan tipe perempuan yang mudah gentar. Tapi dia juga tahu, luka masa lalu yang belum sembuh bisa kembali menganga jika dipancing dengan cara yang salah.
“Aku sudah minta pengacara kantorku pelajari isi gugatan itu,” kata Andre pelan. “Kita bisa lawan, Ria. Semua tuduhan itu ngawur. Mereka cuma mau jatuhin kamu.”
Ria menarik napas dalam-dalam. “Mereka bawa-bawa nama perusahaanku. Mereka tahu aku udah balik kendali. Julio juga sudah telepon, katanya ada penyusup yang nyari dokumen internal dari divisi legal.”
Andre mengepalkan tangannya. “Ini bukan cuma soal bisnis lagi. Ini personal. Kamu harus hati-hati. Dan jangan ragu pakai aku. Aku di sini buat kamu.”
Ria tersenyum tipis. Dalam hatinya ada ketakutan yang tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun, bahkan pada Andre. Sebab musuh yang ia hadapi bukan hanya dari luar, tapi dari masa lalunya sendiri yang kembali menghantui.
---
Sementara itu, di rumah keluarga Riyan, suasana dingin menggantung. Winda duduk di ruang tamu, memegang perutnya yang mulai membuncit. Ia tampak rapuh, tapi matanya terus memerhatikan jam dinding. Riyan belum juga pulang. Sudah dua hari ini, pria itu pulang larut, bahkan semalam tidur di kantor dengan alasan lembur.
“Dia menjauh,” gumam Winda lirih, lalu tersenyum pahit. “Tapi dia lupa, aku masih punya senjata utama.”
Ia bangkit pelan, menuju dapur, menuangkan air putih, lalu kembali ke sofa. Di tangannya, ponsel terbuka menampilkan pesan yang baru saja ia kirim ke Riyan.
> “Perutku sakit banget. Aku takut kenapa-kenapa, tapi nggak ada yang jagain.”
Dua menit. Tiga menit. Tidak ada balasan.
Winda menahan emosi. Ia tahu, jika taktik emosional tak lagi mempan, maka waktunya memainkan drama yang lebih besar.
Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Riyan masuk, wajahnya letih dan cemas.
“Ada apa? Kamu kenapa nggak telepon langsung?” tanya Riyan, suaranya terdengar cemas.
Winda tersenyum puas dalam hati, tapi wajahnya dibuat pucat.
“Maaf, aku nggak mau ganggu... Aku cuma takut. Perutku tiba-tiba nyeri. Aku cuma butuh kamu di sini,” katanya lirih, memaksakan air mata yang sudah terlatih jatuh pada waktunya.
Riyan langsung menghampiri, membantu Winda duduk. “Kita ke rumah sakit aja, buat pastiin semuanya aman.”
“Nggak usah... aku udah mendingan sekarang. Aku cuma butuh pelukan kamu.”
Pelukan itu pun datang. Dan bagi Winda, itu adalah bukti bahwa ia masih punya kendali atas Riyan. Untuk saat ini.
---
Di tempat lain, di sebuah restoran mewah di tengah kota, Putri duduk berdua dengan Bu Lila. Mereka tampak serius, dengan laptop terbuka dan beberapa berkas berserakan di meja.
“Surat gugatan udah sampai ke tangan Ria. Kita tinggal tunggu reaksinya,” ujar Putri dengan senyum sinis.
“Bagus. Tapi kita belum bisa berhenti sampai si perempuan kampung itu hancur total,” sahut Bu Lila dingin. “Kamu masih punya akses ke mantan karyawan di perusahaannya?”
“Beberapa. Ada yang mau jadi saksi palsu asal dibayar. Kita bisa giring opini bahwa Ria nyalahgunakan dana perusahaan waktu Julio masih pegang kendali.”
Bu Lila mengangguk puas. “Sekalian hancurkan nama baiknya di media. Aku punya kenalan wartawan yang bisa bantu sebarkan berita negatif. Kalau perlu, kaitkan dia dengan urusan pribadi Andre. Biar semua orang lihat betapa kotor hidupnya.”
Putri mengernyit. “Andre? Maksud Tante, bawa-bawa dia juga?”
“Kenapa tidak? Andre terlalu bersih. Dia bisa jadi tameng yang bagus buat Ria. Kita harus retakkan hubungan mereka. Kalau Andre mundur, Ria jatuh sendiri.”
Putri termenung. Dalam hatinya ada kegamangan. Tapi dendamnya pada Ria sudah terlalu dalam. Ia butuh kemenangan, dan jika itu berarti harus memfitnah seseorang seperti Andre, ia akan lakukan.
---
Malam itu, Ria berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit malam. Andre sudah pulang, setelah memastikan Ria makan malam dan tidak sendirian menghadapi semuanya. Tapi dalam sunyi, Ria kembali dihantui kenangan tentang masa kecilnya.
Tentang orang tuanya yang dihancurkan oleh tuduhan palsu.
Tentang tanah milik keluarganya yang diambil dengan cara kotor.
Dan tentang janji yang ia buat waktu itu—bahwa suatu hari, ia akan berdiri di atas orang-orang yang dulu menginjak harga dirinya.
Namun sekarang, dendam itu mulai mengabur. Ada Andre. Ada Nayla. Ada kehidupan baru yang mungkin bisa ia bangun. Tapi para hantu masa lalu itu tak pernah benar-benar pergi.
Ponselnya berdering. Nama Julio tertera di layar.
“Ria, aku tahu ini bukan saat yang tepat, tapi aku harus bilang sesuatu,” suara Julio terdengar tegas. “Aku dapat informasi bahwa ada orang dalam yang sengaja membocorkan dokumen audit perusahaanmu ke pihak luar. Dan... ada indikasi Putri terlibat.”
Ria memejamkan mata. “Putri...”
“Ya. Dan dia nggak sendiri. Ada satu nama yang kamu kenal: Lila. Ibunya Riyan.”
Ria membuka mata, tatapannya berubah menjadi tajam. “Mereka masih belum puas merusak hidupku, ya?”
“Kamu harus bersiap. Aku bakal kumpulkan bukti. Tapi kamu juga harus kuat, Ria. Jangan ragu hadapi mereka.”
Ria mengangguk meski Julio tak bisa melihat. “Terima kasih, Jul. Aku akan hadapi ini. Aku nggak akan lari.”
---
Di kamar tidurnya, Winda duduk di depan cermin. Ia menyisir rambutnya pelan, memperhatikan bayangannya sendiri. Perutnya sudah mulai terlihat. Tapi hati dan pikirannya tetap sibuk menyusun langkah berikutnya.
Dia tahu, Riyan tak lagi mencintainya. Dia tahu, Andre dan Ria akan segera menikah. Tapi Winda juga tahu satu hal: dunia belum pernah benar-benar adil bagi perempuan seperti dirinya. Dan karena itu, ia harus menciptakan keadilannya sendiri, walau lewat cara kotor.
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
> “Ingat, kamu masih punya kartu as. Mau kita mainkan sekarang?”
Winda tersenyum. Ia tahu pesan itu dari Putri.
Dengan satu gerakan, ia balas pesan itu.
> “Mainkan. Biar dunia tahu, siapa Ria sebenarnya.”
Dan di malam yang tenang itu, badai sudah mulai bergerak. Tak kasat mata, tapi siap menghantam siapa saja yang tidak siap menghadapinya.
Andre berdiri di ruang kerjanya yang temaram. Lampu meja menyala redup, memantulkan cahaya ke berkas-berkas kasus yang kini mulai mengarah ke Ria. Di depan laptopnya, berbagai dokumen yang dikirim pengacaranya sudah ia baca—dan semuanya mengarah pada satu kesimpulan: ini bukan hanya gugatan biasa. Ini sabotase.
Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit malam dari jendela. Hatinya resah. Bukan karena ia ragu pada Ria, tapi karena ia tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Nama Bu Lila muncul berkali-kali dalam jaringan informasi legal yang ia miliki. Dan ia tahu, jika wanita itu sudah turun tangan, maka akan ada korban.
Andre memijat pelipisnya. Ia harus melindungi Ria. Tapi ia juga punya Nayla. Jika ia terlalu dekat dengan konflik ini, Nayla bisa ikut terancam. Ia tidak bisa mengabaikan itu.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
> “Jaga baik-baik orang yang kamu cintai. Dunia Ria tidak sebersih yang kamu kira.”
Andre menegang. Ancaman. Entah dari siapa. Tapi jelas, ini permainan yang jauh lebih besar dari yang ia perkirakan.
Ia berdiri, menatap layar ponselnya dengan mata tajam. “Kalian tidak akan menyentuh dia. Tidak selama aku masih berdiri.”
Dan di saat yang sama, di tempat lain, Ria juga berdiri memandangi bulan. Dua hati yang kini berjuang dalam diam. Terikat bukan hanya oleh cinta, tapi oleh sejarah yang kelam... dan masa depan yang masih gelap.