“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Tengah malam ini dimana rumah sakit sunyi dan hanya suara mesin dan dengungan AC yang terdengar seperti bisikan malaikat penjaga.
ICU dipenuhi cahaya remang yang lembut dan tenang, tapi penuh ketegangan.
Di dalam ruangan, Risa menggerakkan jari tangannya pelan. Kelopak matanya bergetar… dan perlahan terbuka.
Pandangannya buram dan semua terasa asing. Ruangan putih, bau antiseptik yang menyengat, bunyi ritmik alat monitor detak jantung.
“Hhh…” Risa mencoba bersuara, tapi tenggorokannya kering.
Perawat yang sedang mencatat data pasien menoleh, dan saat melihat mata Risa yang terbuka, ia langsung menekan tombol darurat.
“Dokter! Pasien sadar!”
Beberapa detik kemudian, lampu indikator di luar ruang ICU menyala merah.
Tim medis datang tergesa-gesa—dokter, dua perawat, membawa peralatan, menyesuaikan oksigen dan mengecek monitor.
Di luar ruangan, Stefanus yang duduk dengan mata letih menepuk pundak Aditya, yang tertidur di bangku panjang dengan tubuh membungkuk dan wajah sembab.
“Dit… bangun. Dia sadar.”
Aditya langsung membuka matanya saat mendengar perkataan dari Stefanus.
“Sadar?” gumamnya, seakan tak percaya.
Ia berdiri, hampir terhuyung, dan langsung menempelkan wajahnya ke kaca ruang ICU.
Di dalam, Risa menoleh pelan ke arah jendela dan melihat suaminya yang berdiri di sana
Aditya meneteskan air matanya saat melihat istrinya yang sudah sadar.
“Sayang, aku di sini.” ucap Aditya.
Di dalam ruangan, Risa mencoba tersenyum. Matanya perlahan menyusuri sekeliling dan saat menyadari tempat itu adalah rumah sakit, napasnyya tercekat.
“Dimana anakku?" tanya Risa.
Dokter meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di perut Risa.
“Anda sudah sangat kuat, Bu Risa. Maaf untuk calon anak anda yang tidak bisa kami selamatkan."
Risa menganggukkan kepalanya sambil menangis sesenggukan.
Di balik kaca, Aditya masih menata Stefanus yang berdiri diam di sebelahnya, seperti penjaga tidak berseragam.
“Aku tidak bisa melindunginya, Stef…” suara Aditya serak.
“Tapi kamu bisa mencintainya dan itu akan menyembuhkan,” jawab Stefanus pelan.
Dokter akhirnya keluar dari ruangan, membuka masker dan berkata kepada Aditya.
"Istri Anda sadar. Tapi emosinya masih rapuh. Jangan berikan tekanan dulu.”
"Aku hanya ingin dia tahu… dia tidak sendirian.” ucap Aditya
Pagi itu belum benar-benar terang saat seorang perawat perlahan mendorong tempat tidur Risa menuju ruang pemulihan.
Wajah Risa masih pucat, tubuhnya lemah, namun matanya kini tak lagi tertutup.
Ia memandangi langit-langit rumah sakit yang dilalui, hampa, seakan pikirannya tertinggal di suatu tempat yang jauh dari sini.
Sesampainya di ruang pemulihan, sinar matahari menerobos perlahan dari balik tirai jendela menyinari wajahnya yang basah oleh air mata.
Ia masih mengenakan pakaian rumah sakit semalam yang berkerut, berdebu, dan masih menyisakan bau asap.
Dengan langkah pelan, ia duduk di sisi ranjang. Tangannya gemetar saat menggenggam jemari Risa yang lemah.
Risa memandang wajah suaminya dan air matanya kembali mengalir, seperti sungai yang tak mampu lagi dibendung hujan.
“A-aku bertemu dengan anak kita, Mas,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
“Dia tampan… seperti kamu.”
Aditya membeku dan hatinya seperti dicengkeram. Sesak.
Urat lehernya menegang menahan tangis yang sudah nyaris pecah.
“Dia tersenyum dan dia melambaikan tangan, tapi dia pergi.”
Risa menutup wajahnya dengan tangan dan suaranya pecah.
“Aku nggak bisa jagain dia… aku… aku gagal.”
Aditya tak tahan. Ia menarik tubuh istrinya ke pelukannya.
Mencium ubun-ubun nya dan memeluk erat
takut kehilangan lagi.
“Bukan kamu yang gagal…” suaranya serak.
“Aku yang gagal. Aku suamimu tapi aku nggak bisa lindungi kamu.”
Risa menggenggam kaus Aditya di dadanya, kuat-kuat.
“Aku… minta maaf, Ris… semua ini karena aku.”
“Jangan bilang gitu…” Risa menggeleng pelan.
“Kita disakiti dan bukan karena salah siapa, Mas. Kita cuma… belum beruntung.”
“Tapi aku janji mulai sekarang aku akan menjaga kamu".
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi dimana sinar matahari menembus kaca jendela ruang konseling yang sederhana namun hangat.
Sebuah kursi empuk, karpet cokelat tua, dan aroma teh chamomile memenuhi ruangan yang sunyi.
Di sanalah Risa duduk dan di tubuhnya masih terasa lemas dengan dibalut selimut tipis. Namun wajahnya mulai menampakkan secercah keberanian.
Di sisi kirinya, Aditya duduk tak bersuara dengan tangannya menggenggam tangan Risa era seolah menjadi jangkar bagi wanita yang telah melalui badai paling ganas dalam hidupnya.
Di depannya, Stefanus duduk bersandar, menatap dengan penuh empati dan kehati-hatian.
Seorang psikiater perempuan berusia empat puluhan dengan senyum yang lembut mencatat hal-hal penting di buku kecilnya.
“Risa, kamu hanya cerita sejauh yang kamu mampu,” ucap sang psikiater dengan suara menenangkan.
Risa menarik napas pelan dan matanya masih menyimpan gurat trauma.
Ia menundukkan kepalanya sambil mengamati jemari tangannya yang saling mencengkeram.
“Dia, Elyas...” suaranya lirih.
“Dia tertawa dan menyiksa itu hiburan baginya.”
Aditya menunduk dan rahangnya mengeras Sementara Stefanus mengepalkan tangan di pangkuannya.
Tapi keduanya tidak berkata apa pun karena ini waktunya Risa untuk bersuara.
“Waktu dia menutup mulutku, aku langsung tahu… itu bukan penculikan biasa.”
“Dia bukan cuma ingin balas dendam dan dia ingin menghancurkan aku, semuanya.”
Risa memejamkan matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun.
Tangannya gemetar saat teringat kembali kilas adegan itu.
“Saat dia menginjak perutku…"
“Aku dengar suara retakan di dalam diriku. Bukan cuma di tubuhku, tapi juga di hatiku seperti ada yang hancur.”
Air mata mengalir dari sudut matanya yang tertutup dan Aditya menarik tubuhnya pelan ke dalam pelukan.
Ia mencium pelipis istrinya, menahan isak di dadanya sendiri.
“Maaf, aku nggak bisa ada di sana.”
“Kamu datang, Mas. Kamu menyelamatkan aku dan itu cukup.”
Risa mencoba tersenyum, meski tak ada kebahagiaan di baliknya hanya luka yang perlahan mengering.
Psikiater mencatat sesuatu lalu menatap Risa dengan lembut.
“Kamu masih di sini, Risa. Kamu selamat. Dan itu berarti kamu kuat.”
“Aku ingin sembuh, aku ingin hidup bukan cuma untukku, tapi juga untuk anak kita uang pernah ada dan akan datang lagi nanti.”
Setelah sesi yang melelahkan dengan psikiater, Risa kembali dibaringkan di ranjang pemulihan.
Udara di ruangan itu tenang hanya terdengar dengungan halus mesin pemantau detak jantung dan napasnya yang perlahan stabil.
Stefanus dan sang psikiater pamit dengan senyuman hangat, meninggalkan sepasang suami istri yang kini saling bertatapan dalam diam.
Aditya berdiri di dekat pintu dan menatap wajah istrinya lama, sangat lama seolah mencoba menghafal setiap garis luka, setiap jejak kelelahan, dan setiap kekuatan yang terpancar dari mata Risa.
Ia menarik napas dalam, menutup pintu perlahan hingga terdengar bunyi klik yang lembut.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending