Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Malam itu, Yudha sudah tertidur pulas. Wajahnya terlihat tenang di bawah cahaya lampu tidur yang redup, napasnya teratur, seolah semua beban hari itu telah ia lepaskan.
Puri duduk di sisi ranjang, menatap wajah suaminya dalam diam.
Ada keraguan di matanya, tapi juga ada sesuatu yang mulai tumbuh perasaan aman, nyaman, dan... mungkin perlahan, cinta yang ia sendiri belum bisa definisikan.
Dengan hati-hati, Puri mendekat, lalu berbaring pelan di samping Yudha.
Tangannya gemetar ringan saat ia menyentuh lengan suaminya dan perlahan memeluk tubuhnya dari samping.
Suara detak jantung Yudha terdengar jelas tenang, hangat, dan stabil. Puri menutup matanya sejenak, mencoba menyelaraskan napasnya dengan ritme itu.
Tangannya kemudian bermain di dada bidang Yudha, menyusuri garis napasnya dengan lembut, tanpa maksud apa pun selain mencari rasa aman... dan mungkin, memberi sedikit keberanian untuk mencintai.
Yudha menggeliat ringan, lalu secara refleks meraih tangan Puri dan menggenggamnya tanpa membuka mata.
“Aku masih mimpi ya?” bisiknya lirih dalam setengah sadar.
Puri tersenyum kecil, suaranya pelan, “Nggak... ini aku, Mas.”
Yudha hanya mengeratkan genggamannya, dan malam itu pun berjalan dalam diam yang hangat diam dua hati yang mulai bertemu dalam cinta yang perlahan, tapi nyata.
Yudha bangkit perlahan dari tempat tidurnya, matanya menatap wajah Puri yang kini duduk dengan tenang, tapi sorot matanya penuh kesungguhan.
"Ayo, Mas..." ucap Puri lirih, tapi tegas, sambil menggenggam tangan Yudha.
Yudha terdiam sesaat, menatap dalam-dalam mata istrinya yang dulu selalu diliputi keraguan.
Kini, ada cahaya baru di sana keyakinan, keberanian, dan ketulusan.
"Apa kamu yakin... sudah siap untuk melayani suamimu ini?" tanya Yudha pelan, hampir seperti bisikan.
Puri menganggukkan kepalanya tanpa ragu. "Aku siap... bukan karena terpaksa, tapi karena aku mulai ingin jadi istri yang sebenarnya buat kamu."
Yudha menarik napas dalam, penuh rasa syukur dan haru. Perlahan, ia menggenggam tangan Puri lebih erat, lalu membawanya dalam pelukan yang hangat dan penuh makna.
Malam itu, tanpa kata-kata berlebihan, mereka saling menerima sepenuhnya bukan sekadar sebagai suami istri di atas kertas, tapi sebagai dua hati yang akhirnya memilih untuk saling membuka dan saling menyembuhkan.
"Terima kasih, sayang..." bisik Yudha lembut di telinga Puri, yang kini telah tertidur pulas dalam pelukannya. Wajah Puri tampak damai, napasnya tenang, dan lengannya masih melingkar lemah di tubuh suaminya.
Yudha memeluk istrinya lebih erat, seolah tak ingin melepaskan.
Ada kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya bukan hanya karena kedekatan fisik, tapi karena akhirnya ia merasa benar-benar dicintai dan dibutuhkan.
Malam itu, dalam diam dan keheningan, Yudha mengukir doa dalam hatinya,
“Semoga aku bisa menjadi rumah yang utuh untukmu, Pur... tempatmu pulang dan tempatmu merasa cukup.”
Dan di luar jendela, bulan tampak bulat sempurna, menyaksikan kisah dua hati yang akhirnya menemukan jalan pulang.
Sementara itu, di rumah Karan, suasana mencekam menyelimuti ruang tamu yang kini dipenuhi suara pertengkaran hebat.
"Aku ini istrimu, Karan! Aku punya hak yang harus kamu penuhi!" teriak Amora, matanya berkaca-kaca karena emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Karan berdiri dengan wajah lelah, kepalanya tertunduk.
"Aku tahu... Tapi aku nggak bisa, Amora. Aku nggak bisa berpura-pura. Aku hanya bisa... melakukan itu dengan Puri."
Kata-kata itu menghantam Amora seperti petir di siang bolong.
Tanpa pikir panjang, Amora menampar pipi Karan dengan keras. Suara tamparan bergema di ruangan yang kini hening seketika.
Air mata mengalir di pipi Amora, tapi suaranya tetap tegas.
"Besok kita ke pengadilan agama. Aku mau kita cerai."
Karan memejamkan matanya sejenak, meresapi luka yang ia ciptakan sendiri. Lalu ia membuka mata, dan tanpa berkata apa pun lagi, mengangguk pelan.
Tanpa membawa apapun, Karan keluar dari rumah, membiarkan pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Hujan mulai turun rintik-rintik, seperti ikut meratapi kisah yang tak pernah sempat tumbuh menjadi cinta.
Di dalam hatinya, Karan hanya bisa berbisik, "Maaf, Amora... tapi hatiku sudah tertinggal terlalu jauh di belakang bersama Puri."
Dalam gelapnya malam dan suara hujan yang menghantam kaca depan mobil, Karan melajukan mobilnya tanpa arah pasti, hanya mengikuti dorongan hatinya yang resah.
Ia membawa dirinya menjauh dari rumah, dari kegagalan, dari pernikahan yang tak pernah ia inginkan.
Mobil berhenti di sebuah tempat sunyi, di pinggir danau yang biasa ia kunjungi saat ingin menenangkan diri.
Karan mematikan mesin, tapi membiarkan lampu kabin menyala samar. Kepalanya ia sandarkan di kemudi, dadanya terasa sesak.
"Pur... kamu di mana sekarang?" bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan rindu.
"Aku kangen, Pur...."
Ia menatap ponselnya yang kosong dari pesan. Tak ada kabar dari Puri. Tak ada jejak tentang anak yang mereka ciptakan bersama dalam dosa, tapi juga dalam cinta yang tulus.
"Bagaimana keadaan anak kita, Pur? Kamu baik-baik aja? Kandungan kamu gimana? Tolong jawab, meski cuma satu kalimat."
Karan menutup matanya, membiarkan satu tetes air mata jatuh di pipi.
Dalam heningnya malam itu, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jarum jam di dashboard dan suara hatinya yang terus memanggil:
“Maafkan aku... aku ingin memperbaiki semuanya.”
Karan masuk ke rumah dengan langkah cepat, wajahnya tegas dan tak seperti biasanya.
Ia langsung menuju kamarnya, membuka lemari dan mulai memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
“Kamu mau ke mana?” tanya Mama Karan, yang terkejut melihat putranya pulang dengan gelagat ingin pergi jauh.
Karan berhenti sejenak, menoleh ke arah mamanya dengan tatapan dingin.
“Aku mau pergi. Aku nggak bisa terus seperti ini. Aku mau cari Puri.”
Mata Mama Karan membelalak. “Jangan bilang kamu masih mau kembali sama perempuan itu!” serunya dengan nada tinggi.
“Dia sudah nggak tinggal di sana! Mama sudah pastikan dia nggak akan betah di situ!”
Karan menyipitkan mata, curiga. “Maksud Mama?”
Mama Karan terdiam sejenak, namun karena emosi yang memuncak, ia keceplosan.
“Mama... Mama cuma minta orang buat kasih pelajaran. Biar dia takut. Cuma suruh lempar batu ke jendelanya! Dan... ya, minta tetangga sekitarnya untuk ikut bikin dia nggak nyaman.”
Deg.
Dunia Karan seperti runtuh seketika. Matanya merah, rahangnya mengeras.
“Mama... Mama menyuruh orang untuk meneror perempuan yang sedang hamil, yang sedang bawa cucu Mama sendiri?”
Mama Karan mulai gelagapan. “Mama cuma ingin kamu sadar! Dia bukan untukmu, Karan! Dia bukan dari agama kita, dia...”
“Cukup, Ma!” potong Karan tajam.
“Cinta itu nggak kenal agama kalau kita saling menghormati. Tapi yang Mama lakukan itu bukan kasih sayang, itu kebencian.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Karan menyeret kopernya keluar. Kali ini, ia tidak hanya pergi dari rumah... tapi juga dari semua ikatan yang membuatnya kehilangan orang yang ia cintai.
Dalam hatinya ia bersumpah:
"Aku akan temukan kamu, Pur... dan aku akan minta maaf untuk semuanya."