NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:45.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Syarat dari Johan

Martin terdiam, sekarang ia mengerti mengapa dirinya merasa tidak tenang, mengapa ada sesuatu yang terus menariknya ke Kedung Wulan. Warisan dosa ayahnya, pikirnya.

Johan meneguk brandy-nya, kemudian menatap putranya dengan tatapan lelah namun tegas. 

"Sekarang kau sudah tahu alasan sebenarnya mengapa aku tidak ingin kau berada di sini, Martin. Mamamu menelepon tadi siang, memberitahu bahwa kau kembali ke Kedung Wulan. Mamamu sangat khawatir, Martin. Dia yang memintaku pulang lebih cepat dari Semarang."

"Aku berjanji tidak akan membuka Kedung Wulan untuk bisnis. Apa itu cukup?"

"Tentu saja tidak!" Johan menggebrak meja, membuat botol brandy bergetar. "Kau harus kembali ke Belanda. Secepatnya!"

Martin menatap ayahnya dengan sikap menantang. "Aku tidak akan pergi, Papa. Belum genap sebulan aku di Hindia. Aku baru saja mulai memahami tempat ini."

"Memahami apa?" bentak Johan. "Kau baru datang dan sudah hampir membuat masalah besar! Apa lagi yang ingin kau pelajari di sini?"

"Budayanya, bahasanya, cara hidupnya," jawab Martin dengan tegas. "Hindia bukan hanya tentang bisnis dan keuntungan, Papa. Ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari di sini."

Johan menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Baiklah, jika kau memang ingin belajar, kenapa tidak kau ambil program magister hukum di Universitas Leiden? Gelar sarjana hukummu sudah cukup baik. Dengan gelar magister, kau bisa menjadi pengacara terkemuka atau bahkan hakim di pengadilan tinggi."

"Tidak," tolak Martin cepat. "Aku sudah terpaksa menyelesaikan sarjana hukum sesuai harapan Papa. Tapi aku tidak mau lagi belajar hukum. Aku benci hukum!"

"Benci hukum?" Johan menatap putranya dengan sorot kesal. "Kau mendapat nilai terbaik di kelasmu! Profesor Van Vollenhoven sendiri memuji kebriliananmu!"

"Aku pintar dalam hukum karena aku terpaksa mempelajarinya," balas Martin, suaranya tetap santai. "Agar aku cepat lulus dan bisa pulang ke Hindia. Tapi itu bukan passion-ku, Papa. Yang kuinginkan adalah pertanian, irigasi, atau mungkin antropologi—mempelajari budaya setempat."

Johan tertawa sinis. "Antropologi? Mempelajari budaya primitif? Untuk apa? Agar kau bisa hidup seperti pribumi dan melupakan asal-usulmu sebagai orang Belanda?"

"Budaya di sini tidak primitif, Papa!" protes Martin. "Mereka memiliki peradaban yang sangat tua, sistem kepercayaan yang kompleks, seni yang indah—"

"Dan sistem yang korup yang telah menyebabkan kematian orang-orang tidak bersalah!" potong Johan tajam. "Seperti yang terjadi pada Ki Djoyosubroto!"

Martin terdiam sejenak, menyadari bahwa ayahnya memiliki poin yang valid. Tapi ia tidak mau mundur.

"Justru karena itulah aku harus di sini," jawab Martin akhirnya. "Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya."

"Kebenaran?" Johan bangkit dari kursinya, berjalan mengitari meja. "Kebenaran yang mana, Martin? Kebenaran bahwa Papamu adalah pembunuh? Kebenaran bahwa keluarga kita dibangun di atas darah orang tidak bersalah?"

"Jika memang begitu," jawab Martin dengan tenang, "maka aku harus memperbaikinya."

Johan berhenti tepat di hadapan putranya, menatapnya dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. "Kau tidak bisa memperbaiki masa lalu, Martin! Yang bisa kau lakukan hanya mengulangi kesalahan yang sama!"

"Atau aku bisa belajar dari kesalahan itu dan melakukan hal yang berbeda," bantah Martin.

"Dengan cara apa?" tanya Johan sarkastis. "Dengan menghabiskan waktumu bersama para pribumi? Dengan belajar bahasa dan budaya mereka? Dengan bermimpi menjadi semacam ... apa ... antropolog kampungan?"

Martin tersenyum, yang menurut Johan sangat menjengkelkan. "Papa selalu merendahkan apa yang kuinginkan."

"Karena yang kau inginkan itu tidak realistis!" bentak Johan. "Kau pewaris van der Spoel Group, Martin! Kau punya tanggung jawab pada keluarga, pada bisnis yang telah kubangun selama puluhan tahun!"

"Aku tidak pernah meminta untuk menjadi pewaris!" Martin mengedikkan bahu dengan santai. "Aku tidak pernah meminta dilahirkan dalam keluarga ini dan selalu bermimpi buruk setiap malam!"

Kata-kata itu semakin membuat Johan jengkel. Ia menatap putranya dengan mata berapi-api.

"Jadi kau menyesali menjadi anakku?"

Martin menyadari bahwa ia telah kelewatan, suaranya melembut. "Bukan itu maksudku, Papa. Tapi—"

"Tidak, katakan saja yang kau maksud," potong Johan dengan suara dingin. "Kau menyesal dilahirkan sebagai van der Spoel? Kau ingin menjadi orang lain?"

"Aku ingin menjadi diriku sendiri," jawab Martin, suaranya lebih tenang tapi tetap tegas. "Bukan duplikat dari Papa, bukan seseorang yang menjalankan bisnis tanpa passion, bukan—"

"Cukup!" Johan mengangkat tangannya. "Aku lelah berdebat denganmu, Martin. Kau tahu apa kesalahan terbesarku?"

Martin menatap ayahnya menunggu jawaban.

"Aku yang salah menjuruskanmu ke hukum," lanjut Johan dengan nada pahit. "Sekarang kau pintar sekali berdebat, pandai membalik setiap argumen, selalu punya jawaban untuk segalanya. Kau menggunakan keahlian hukummu untuk melawan papamu sendiri."

"Papa yang mengajariku untuk berpikir kritis," balas Martin. "Papa yang berkata bahwa seorang pengacara harus bisa melihat dari berbagai sudut pandang."

"Tapi tidak untuk diterapkan pada keluarga sendiri!" Johan menunjuk putranya dengan jari gemetar menahan marah. "Tidak untuk menantang otoritas orangtuamu!"

Martin menarik napas dalam, berusaha serius. "Papa, aku menghormati Papa. Tapi aku juga punya hak untuk menentukan jalan hidupku sendiri."

Johan menatap putranya lama, kemudian duduk kembali dengan berat. Ia terlihat lelah.

"Kau keras kepala Martin," gumamnya. "Dulu Johanna—juga keras kepala. Dia selalu ingin pergi ke tempat-tempat yang kularang. Dan lihat apa yang terjadi padanya."

Menyebut nama Johanna membuat suasana menjadi lebih suram. Martin merasa bersalah telah membuat ayahnya mengingat trauma lama.

"Papa," ucapnya dengan nada lebih lembut, "aku berjanji akan berhati-hati. Aku tidak akan mendekati Kedung Wulan lagi. Tapi biarkan aku tinggal di Hindia, setidaknya untuk beberapa bulan lagi."

Johan menatap putranya dengan mata yang lelah. "Berapa bulan?"

"Enam bulan," tawar Martin.

"Tiga bulan," balas Johan. "Dan kau tidak boleh mendekati tempat-tempat yang berhubungan dengan masa laluku. Tidak boleh mencari tahu lebih lanjut tentang Ki Djoyosubroto atau keluarga Pranatadirja."

Martin terdiam. Bagaimana ia bisa berjanji tidak akan mendekati keluarga Pranatadirja, sementara ia sudah terlanjur tertarik pada Sumi?

"Martin?" desak Johan. "Itu syaratku. Ambil atau tinggalkan Hindia?"

"Baik," jawab Martin akhirnya, dengan perasaan berat. "Tiga bulan."

Johan mengangguk, tampak sedikit lega. "Dan selama tiga bulan itu, kau akan bekerja di kantor pusat pabrik gula. Belajar bisnis yang sesungguhnya, bukan hanya teori."

"Setuju," angguk Martin, meski dalam hati ia tahu bahwa tiga bulan itu akan menjadi tantangan besar untuknya. Bagaimana ia akan menahan diri untuk tidak bertemu Sumi? Bagaimana ia akan melupakan janji yang telah ia buat pada perempuan itu?

"Bagus," Johan bangkit dari kursinya. "Sekarang, pergilah tidur. Besok kau mulai bekerja. Dan Martin ...."

"Ya, Papa?" Jawabnya dengan senyum.

"Jangan membuat aku menyesal telah mengizinkanmu tinggal," ujarnya dengan nada dingin.

Martin mengangguk, kemudian berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya. Di koridor yang gelap, ia berhenti sejenak, menyandarkan punggungnya ke dinding. Tiga bulan. Tiga bulan tanpa mendekati Sumi, tanpa mencari tahu kebenaran tentang Kedung Wulan.

Tapi mungkin, pikirnya, tiga bulan itu cukup untuk merencanakan sesuatu. Untuk mencari cara agar ia bisa tetap berada di Hindia, tetap dekat dengan Sumi, tanpa membangkitkan kecurigaan ayahnya.

Bagaimanapun juga, pasti ada cara untuk menyiasati perjanjian ini.

Dengan tekad baru, Martin melangkah menuju kamarnya, sudah mulai merencanakan bagaimana ia akan menghabiskan tiga bulan yang sangat berharga itu.

1
Darwati Zian
haduh haduh Thor bolak balik blm up juga 😭😭😭
Mami Eni
17:28
Tati st🍒🍒🍒
💗💗
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
wah mantan datang tapi sudah dengan jiwa dikendalikan Ki jayengrana 😔
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
aduh musuhnya tambah banyak ini,, orang terdekat yg menjadi musuh dalam selimut dan mantan suami yg sekarang jauh lebih berbahaya
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
kok nyata banget ini wejangan padre,, memang kalo sudah penyakit hati tak akan bisa di usir karena dendam itu mengakar, semoga Sumi dan Martin bisa menghadapi cobaan yg akan menghadang mereka lewat Soedarsono yg dikendalikan oleh Ki jayengrana
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
wahhh Ki jayengrana betul betul gak ada capeknya dengan misi balas dendam atas kematian bapaknya dulu, wahh Soedarsono sekarang yang dikendalikan oleh Ki jayengrana untuk menghancurkan keluarga martin
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
penyesalan memang datang nya sll terlambat Soedarsono 🤭🤭 rasakan penyesalan mu sampe ibumu menyusul bapakmu ya, karena ibumu terlalu kejam sama sumi🤭🤣🤣🤣🤣
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
asss ikut terharuuu semoga Sumi bahagia bersama martin
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
akhirnya Sumi bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ibu, semoga setelah menikah dengan Martin kamu bahagia Sumi, karena ibu mertuamu begitu perhatian dan baiknya sama kamu beda jauh sama mantan mertuamu itu🤭🤭
neng Ai💗
Sekarang Martin bebas memandang Sumi,bebas mengekspresikan apapun ,bukannya lebih tenang penikahan dari pada pacaran? (pelajaran yg bagus)
Alea 21
penyesalan selalu datang di belakang..nggeh Raden mas soedarsono...
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
waduhhh
matin jd puasa dongg...
sudarsono kau kerlambat kann wkwkwkwk
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
Raden Soedarsono bukan yang dulu datang dgn membawa cinta buat Sumi ,
ndoro ayu juga bukan Sumirna putri Pranatadirja yang dulu bisa kau injak2 harga diri nya Raden,
Mungkin kahh Raden akan menunjukkan ancamannya yg sdh dia susun
ditambah sihir Ki jayengrana makin menyala dendam Raden mas
mbok e Gemoy
kok aku yang deg degan ndoro🤭
takut sumi di sakitin sama mantan suaminya🥲
aah ternyata martin sebucin itu sama sumi
ditunggu kelanjutannya ndoro
Lilih Malihatun
ciieee ada yg kangen sama istri orang 😋😋
Anggita 2019
apakah akan terjadi perdebatan sengit?
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
semoga kutukanya gak berlanjut sampai ke keturunan mereka
FiaNasa
kebetulan ndoro kang mas datang,,karna ndoro ayu sudah dirumah,,tp ndoro kang mas Ndak boleh berbuat sesuatu sama ndoro ayu,,karna sekarang ndoro ayu sudah jadi istrinya kang martin.jadi ndoro kang mas percuma walaupun menyesal,
Darwati Zian
akhirnya up juga tiap hari bntr2 cek blm up,,, Alhamdulillah skrg udh up lg mksh Thor kl bisa up dobel tiap hari Thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!