Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Mereka baru saja keluar dari galeri saat langkah seseorang terdengar mendekat dari arah taman kecil di samping bangunan. Dara menoleh dan tersenyum lebar, "Martin!" cowok itu mendekat dengan langkah santai tapi jelas tergesa. Dia terlihat heran dan seperti menyimpan sesuatu yang lain. matanya yang melihat Dara langsung berpindah ke Nathaniel.
"Kalian udah kenal?" tanyanya menitipkan mata ke arah Mereka bergantian. Nathaniel mengangkat kedua tangannya, "Chill bro, cuma ngobrol ringan. Dia penasaran sama lukisan kehilangan itu."
Martin mencibir tipis selalu mendesah pelan, "Padahal aku yang mau ngenalin kamu ke Dara tapi ya udah, udah ketemu duluan ternyata."
Dara tersenyum melihat ekspresi sepupunya, "Kita cuma kebetulan ketemu Mart, Lucy tadi diminta buat bantu volunteer, jadi aku jalan sendiri." Martin mengerti. "Karena udah di sini, gimana kalau kita cobain bubble tea?" tanya Martin dengan senyum penuh arti. darah tiba-tiba teringat perkataan Lucy, "Yang tempatnya di perpustakaan barat?"
Martin mengangguk, "Mumpung masih sore, dan tempatnya nggak terlalu rame hari ini." Nathaniel menyikut Martin pelan, "Bilang aja kamu yang pengen minum tapi modus ngajak Dara." seperti tertangkap basah karena mencuri, Martin menahan tawa sambil mengangkat alis. "Nggak salah sih."
Dara tertawa kecil sama perasaannya menghangat seperti masuk ke lingkaran pertemanan yang hangat dan ringan.
"Yaudah aku ikut, biar ku yang traktir. Anggap aja sebagai kompensasi karena udah ditemenin ke galeri" katanya, berjalan duluan dan menyenggol lengan Martin.
Sementara Martin dan Nathaniel mengikuti dari belakang. "Dia cepat akrab juga ya?" gumam Nathan pelan. Martin tersenyum samar, memandangi punggung Dara di depan mereka. "Dari dulu emang begitu, jangan buru-buru pdkt." Nathan tertawa pelan, "Tenang aja, aku cuma bantu teman baru buat adaptasi, bukan buat ngajak dia pacaran."
Mereka bertiga pun berjalan melewati jalan setapak meninggalkan galeri kampus menuju cafe kecil di samping perpustakaan.
Suasana kampus mulai sepi dan sorot jingga yang hangat menembus kaca jendela cafe itu menambah suasana semakin menenangkan.
Dara mengaduk pelan bubble tea nya, sementara Martin sudah menyisakan setengah gelas dan Nathaniel memainkan sedotan dengan jemarinya.
"Jadi lo ambil jurusan apa Dara?" tanya Nathaniel memiringkan kepalanya menatap Dara, suaranya penuh ketertarikan.
"Child development," Dara melihat kedua pria itu bergantian. "aku suka banget sama anak-anak apalagi interaksi sama mereka. Aku pengen belajar tentang bagaimana tumbuh kembang mereka, bahkan dari sisi psikologi. Biar suatu saat bisa bantu mereka mengembangkan diri sesuai potensi mereka."
Nathaniel mengangguk ekspresinya berubah serius sambil menegakkan badan. "Itu jurusan yang mulia, apalagi kalau lo beneran niat masuk ke dunia pendidikan anak atau terapi." Dara tertawa, sedikit menunduk. "Karena anak-anak itu jujur, kalau suka ya bilang suka kalau nggak ya ngambek."
"Relate sih," Nathaniel meminum lagi bubble tea nya. "aku pernah jadi volunteer di tempat pengembangan anak-anak autis. Aku pikir bakal sulit, tapi ternyata aku belajar banyak dari mereka." Dara terlihat tertarik dengan ucapan Nathan. "Serius?! emang kamu jurusan apa?"
"Psychology, tapi fokus ke neuro development, jadi kadang ikut program yang ada kaitannya sama terapi anak juga." jawab Nathan. Martin yang sejak tadi hanya menyimak, mendengus kecil. "Pantesan nyambung ya obrolan kalian."
Nathan mengangkat bahunya, " Ya kan ngobrol aja Mart." Dara tersenyum, meminum bubble tea yang mulai habis. Dia belajar hal baru dan bertemu dengan teman baru. Ia merasa lebih segar dan siap untuk terus tumbuh setelah luka batin yang ia terima menjadi motivasinya untuk bangkit.
(Indonesia)
Daniel diam, menatap keluar jendela mobilnya. Ingatan mengenai bukti-bukti yang ia temukan berdasarkan petunjuk dari kakeknya masih muncul dengan jelas.
Lalu mobil itu berhenti di rumah pria paruh baya. Daniel turun dan mengetuk pintu berwarna putih gading yang masih terawat. tak lama muncullah sosok pria berambut putih dengan badannya yang tinggi tegak, memakai kemeja polos pembuka pintu. Ia terkejut namun masih bisa mengendalikan ekspresinya walaupun sorot matanya dipenuhi banyak pertanyaan.
"Mas Daniel?" tata Suryo pelan, suaranya datar. Dia menjadi tenang saat mengetahui tamunya. "Boleh saya masuk pak?" tanya Daniel to the point. Suryo mengangguk lalu memberi jalan Daniel. Daniel duduk di ruang tamu yang hangat aroma buku tua dan kopi memenuhi udara. Suryo membawa dua cangkir teh dan duduk di depan Daniel.
"Saya tidak akan lama pak, namun saya harap bapak mau jujur. saya tahu bapak sudah lama bekerja dan pensiun namun tetap loyal kepada kakek saya," Daniel menatap serius ke arah Suryo. "Bapak pasti menyadari ada yang tidak beres selama ini." lanjutnya.
Suryo menunduk, kedua tangannya menggenggam, bergetar.
"Alasan saya ke sini karena saya ingin tahu kenapa bapak diam setelah mengetahui masalah itu. Mengapa setelah saya lulus sekolah banyak data transaksi yang menyimpang?"
Suryo menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca. "Itu semua Karena saya takut mas. Karena saya loyal. Saya pikir waktu itu bisa saja masih terkendali, jadi saya memilih diam." Suara Daniel meninggi, ia berusaha mengontrol emosinya. "Siapa yang bapak lindungi?!" Suryo menatap Daniel, lama, lalu bersuara. "Arvin," jawabnya akhirnya. "adik Bu Rena dan satu lagi... Dharma." Daniel menajamkan telinganya, "Ayah mertuaku."
Sebelumnya ia sudah membaca dari bukti yang ia temukan di ruang kerja Abraham namun Daniel ingin memastikan lagi.
"Saya dulu melihat sendiri, bagaimana Arvin memalsukan tanda tangan saya saat membeli tanah untuk pribadi. Saya sudah menasehati saat dana beasiswa dengan gamblang masuk ke rekening fiktif milik Dharma, mas. Saya pikir... pak Abraham sudah tahu, dan saya belum punya keberanian untuk melaporkan saat itu karena juga mendapat ancaman akan di pecat.
Daniel bersandar di kursi, menutup kedua matanya. "Mas Daniel, Saya tahu saya salah karena diam, namun sekarang saya tidak akan diam lagi." Suryo bersuara mantap. "Jika mas Daniel mau, saya bersedia menjadi saksi. Semua bukti masih saya simpan karena saya punya salinannya dan berada di ruang belakang." Daniel hanya mengangguk pelan. Pikirannya bercabang, kini ia tahu musuhnya dengan jelas.
Saat Daniel akan menindak lanjuti, ponselnya bergetar. Nama Rani muncul di layar, jantung Daniel berpacu cepat.
"Hallo Rani"
"Mas Daniel, maaf mengganggu. Pak Abraham..." suaranya terdengar panik, "Beliau drop, mas. mendadak sesak, terus pingsan. sekarang lagi di tangani di medis."
Daniel langsung berdiri, wajahnya pucat. "Saya ke sana sekarang!" ia menutup telepon tanpa pamit, Suryo hanya menatap dengan cemas.
"Pak, saya harus ke rumah sakit. Tapi tolong, salinan dokumennya, simpan dengan rapi. Saya akan kembali." tanpa menunggu jawaban, Daniel melangkah cepat menuju mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Berbagai kemungkinan menghantuinya. Ia masih harus mendengar banyak dari kakeknya, namun takdir seolah mempersingkat waktunya.
***
Tinggalin jejaknya yukkk
kira-kira Daniel bisa gak ya mengungkap semuanya?