NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:519
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28_Melihat langsung sang legenda.

Hentakan kasar heels yang beradu dengan lantai marmer terdengar nyaring—terlalu nyaring untuk sebuah pagi.

Jam di dinding ruang rapat baru menunjukkan 10.00 pagi.

Pintu terbuka tanpa ketukan.

Nadira masuk dengan wajah yang tidak berusaha disembunyikan dari amarah. Rambutnya tertata rapi seperti biasa, blazer pas badan, riasan sempurna—namun matanya menyala tajam, nyaris bergetar oleh emosi yang ditahan terlalu lama.

Rapat terhenti.

Di dalam ruangan itu, Lauren duduk di ujung meja panjang dengan beberapa lembar laporan terbuka di depannya. Di sisi kanan, Arga tengah memaparkan grafik target kuartal kepada dua manajer divisi. Proyektor masih menyala. Suara AC mendadak terasa terlalu keras.

Nadira melangkah maju tanpa izin.

Lalu—

BRAK.

Sebuah map tebal berisi rancangan desain dihempaskan ke atas meja rapat.

Beberapa orang tersentak. Salah satu manajer refleks menarik kursinya sedikit menjauh.

“Ini tidak masuk akal,” suara Nadira tinggi, bergetar. “Rancangan ini sudah disetujui sebelumnya. Bahkan dipuji.”

Lauren mengangkat wajahnya perlahan.

Tidak terkejut.

Tidak terganggu.

Ia hanya menutup map laporannya dengan rapi, lalu menyilangkan tangan di atas meja.

“Aku tahu,” kata Lauren tenang. “Dan aku tetap menolaknya.”

Keheningan jatuh seperti tirai berat.

Nadira menatap Lauren seolah wanita itu baru saja mengucapkan penghinaan terbesar. “Tidak ada yang pernah menolak rancanganku,” katanya, lebih rendah, lebih berbahaya. “Tidak kau. Tidak siapa pun.”

Lauren berdiri.

Heels-nya tidak menghentak. Langkahnya terukur. Sikapnya tegak—tenang dengan cara yang membuat emosi di sekitarnya terlihat semakin liar.

“Kalau begitu,” ujar Lauren, “hari ini adalah yang pertama.”

Arga menegakkan punggungnya. “Nadira, ini bukan—”

“Diam,” potong Nadira tajam tanpa menoleh. Untuk pertama kalinya, ia tidak peduli pada siapa pun selain Lauren.

“Sejak kapan kau punya hak membatalkan pekerjaanku?” lanjut Nadira. “Kau baru kembali. Kau pikir gelar dan nostalgia membuatmu berkuasa?”

Lauren menatapnya lurus. “Aku menolak karena rancangan itu lemah.”

Kata itu jatuh begitu saja. Tidak dibungkus. Tidak dilunakkan.

Nadira tertawa pendek, sinis. “Lemah?”

“Konsepnya cantik,” Lauren melanjutkan, suaranya tetap datar. “Tapi tidak relevan dengan target pasar terbaru. Visualnya memikat, tapi pesannya kosong. Kau mengulang formula lama karena itu aman.”

Beberapa kepala di ruangan itu menunduk. Mereka tahu—Lauren benar.

“Kau tidak meminta revisi,” balas Nadira cepat. “Kau langsung menolak.”

“Karena ini bukan soal revisi,” jawab Lauren. “Ini soal arah.”

Lauren membuka map yang tadi dihempaskan Nadira, membalik beberapa halaman tanpa tergesa. “Perusahaan ini tidak butuh desain yang hanya indah di mata internal. Kita butuh rancangan yang menjual. Yang bergerak. Yang berani berubah.”

Nadira mengepalkan tangan. “Kau merendahkanku.”

“Aku sedang bekerja,” Lauren membalas singkat.

Arga berdiri. “Cukup. Ini ruang rapat, bukan—”

Lauren mengangkat satu tangan, menghentikannya. Tatapannya tidak berpaling dari Nadira.

“Kalau kau ingin didengar,” lanjut Lauren, “datanglah dengan argumen. Bukan amarah.”

Nadira menatap Arga sekilas—mencari dukungan. Namun Arga terdiam. Wajahnya tegang, matanya bergeser antara dua wanita itu. Ia mengenal Nadira. Tapi ia mengenal Lauren.

Dan ia tahu: Lauren tidak pernah berbicara tanpa dasar.

“Rapat ini sedang berjalan,” kata Lauren akhirnya, suaranya tegas namun profesional. “Jika kau ingin membahas rancanganmu, kita jadwalkan ulang. Dengan data.”

Ia mendorong map itu perlahan kembali ke arah Nadira.

“Dan Nadira,” tambahnya, kali ini lebih pelan. “Tidak pernah ditolak bukan berarti selalu benar.”

Keheningan terasa menyesakkan.

Nadira menatap map itu seolah sedang menatap kekalahannya sendiri. Rahangnya mengeras. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menarik map itu dan berbalik menuju pintu.

Heels-nya kembali menghentak lantai—kali ini lebih cepat, lebih kasar.

Pintu tertutup.

Ruang rapat kembali sunyi.

Beberapa detik berlalu sebelum Lauren duduk kembali dan menoleh ke layar proyektor. “Kita lanjut,” katanya sederhana. “Target divisi pemasaran masih tertinggal tujuh persen.”

Rapat berjalan kembali, namun atmosfernya berubah.

Arga menatap Lauren dari sudut matanya.

Wanita yang duduk di seberangnya itu bukan lagi istri yang pulang larut malam dengan senyum lelah dan mata sembab.

Ia adalah Lauren Hermansyah—

perempuan yang tidak ragu berdiri,

menolak,

dan mengambil alih ruangan

tanpa harus meninggikan suara.

__

Nadira tidak kembali ke mejanya.

Langkahnya justru berbelok tajam ke arah sayap eksekutif—area yang jarang disentuh kecuali oleh jajaran manajemen. Wajahnya masih tegang, matanya menyala oleh kemarahan yang kini berubah menjadi keyakinan: ia tidak sendirian. Tidak pernah.

Pintu ruang Manajer Umum terbuka tanpa banyak basa-basi.

“Om,” ucap Nadira cepat begitu melihat pria paruh baya di balik meja besar itu. Nada suaranya berubah—lebih lembut, lebih personal. “Rancangan yang Om setujui… ditolak begitu saja.”

Manajer Umum itu—Prasetyo—mengangkat wajahnya dari layar laptop. Alisnya terangkat. “Ditolak?”

“Oleh Lauren,” jawab Nadira. “Tanpa diskusi. Tanpa revisi. Di depan semua orang.”

Prasetyo bersandar di kursinya, rahangnya mengeras. “Dia baru kembali, tapi sudah bertingkah seolah—”

“Seolah dia pemilik perusahaan?” sela Nadira, getir.

Prasetyo berdiri. Ia merapikan jasnya, menarik napas panjang. “Ikut aku.”

Mereka berjalan beriringan menuju ruang rapat yang baru saja ditinggalkan Nadira. Kali ini langkah Prasetyo lebih cepat, penuh otoritas. Nadira mengikuti setengah langkah di belakang, dagunya terangkat—percaya diri oleh hubungan darah yang selama ini selalu menjadi tamengnya.

Pintu ruang rapat terbuka.

Lauren sedang berdiri di depan layar, menjelaskan poin terakhir presentasi. Beberapa kepala menoleh bersamaan. Suasana yang tadinya fokus mendadak tegang.

“Lauren,” suara Prasetyo memotong. “Kita perlu bicara. Sekarang.”

Lauren menoleh perlahan.

Tatapan mereka bertemu.

Ia tidak terlihat terkejut. Tidak juga terganggu.

“Silakan,” jawab Lauren tenang. Ia mematikan proyektor, lalu menoleh ke peserta rapat lain. “Rapat diskors sepuluh menit.”

Tidak meminta izin.

Memberi keputusan.

Orang-orang bangkit satu per satu, keluar dengan langkah canggung. Arga sempat menatap Lauren, namun ia hanya membalas dengan anggukan singkat—profesional, dingin.

Begitu pintu tertutup, Prasetyo melangkah maju.

“Aku dengar kau menolak rancangan yang sudah disetujui manajemen,” ujarnya tajam. “Tanpa koordinasi.”

Lauren menyilangkan tangan. “Aku menolak rancangan yang tidak memenuhi standar pemasaran terbaru.”

“Itu rancangan Nadira,” balas Prasetyo. “Dan aku yang menyetujuinya.”

Nadira melangkah maju setengah langkah, berdiri di sisi Prasetyo. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya—keyakinan bahwa posisi telah berpihak padanya.

Lauren menatap mereka berdua. Lama. Hening.

Lalu ia melangkah maju.

Satu langkah.

Dua langkah.

Berhenti tepat di hadapan Prasetyo.

“Longgarkan dasimu,” ujar Lauren dingin.

Prasetyo refleks mengerjap. “Apa?”

“Dan maju,” lanjut Lauren, suaranya datar namun tajam. “Hadapi aku sebagai profesional. Bukan sebagai paman yang sedang melindungi keponakannya.”

Udara seolah membeku.

Nadira tersentak. “Jaga ucapanmu!”

Lauren menoleh ke arahnya. Sekilas saja—namun cukup untuk membuat Nadira terdiam. Tatapan itu tidak marah. Tidak emosional. Hanya… mutlak.

“Kau,” kata Lauren perlahan, “mendapat persetujuan bukan karena rancanganmu paling kuat, tapi karena tidak ada yang berani menolak.”

Ia kembali menatap Prasetyo. “Dan kau,” lanjutnya, “menyetujui tanpa membaca data pasar terakhir.”

Prasetyo mengepalkan tangan. “Aku Manajer Umum di sini.”

“Dan aku Ketua Pemasaran,” Lauren membalas tanpa meninggikan suara. “Tugasku memastikan perusahaan ini tidak berjalan mundur hanya karena relasi keluarga.”

Lauren meraih tablet di meja rapat, menggesernya ke depan Prasetyo. Grafik, angka, tren—berjejer rapi.

“Segmentasi target berubah. Brand positioning bergeser. Rancangan Nadira tidak menyesuaikan itu,” jelas Lauren. “Jika kau memaksakan rancangan ini naik, penurunan engagement akan jadi tanggung jawabmu.”

Prasetyo menatap layar itu. Rahangnya mengencang.

Nadira menggeleng. “Itu interpretasimu.”

“Itu data,” jawab Lauren singkat.

Hening kembali jatuh. Kali ini berbeda—lebih berat.

Prasetyo akhirnya menghela napas, panjang dan tertahan. Ia melonggarkan dasinya, persis seperti yang Lauren katakan.

“Apa yang kau mau?” tanyanya.

“Profesionalisme,” jawab Lauren. “Jika Nadira ingin mengajukan ulang, lakukan dengan revisi dan data. Jika tidak—rancangan itu tetap ditolak.”

Nadira menatap pamannya, menunggu. Mengharap.

Namun Prasetyo tidak menoleh padanya.

“Lakukan revisi,” katanya akhirnya, suaranya datar.

Wajah Nadira memucat. “Om—”

“Ini kantor,” potong Prasetyo. “Bukan rumah.”

Lauren melangkah mundur satu langkah, mengangguk singkat. “Terima kasih.”

Ia berbalik menuju pintu, berhenti sejenak tanpa menoleh. “Dan satu hal lagi.”

Prasetyo mengangkat kepala.

“Tentangku,” kata Lauren pelan, “tidak pernah dibesar-besarkan.”

Pintu tertutup di belakangnya.

Nadira berdiri terpaku.

Untuk pertama kalinya sejak ia masuk perusahaan itu,

ia mengerti satu hal dengan jelas:

Lauren Hermansyah bukan ancaman karena masa lalu—

melainkan karena ia tidak takut menghadapi siapa pun,

bahkan mereka yang terbiasa menang hanya karena kekuasaan.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!