Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : IKAEDA' SELF ACCEPTANCE
Beberapa bulan setelah kepergiannya, Ikaeda Indra melakukan perjalanan panjang yang mengubah hidupnya di bawah bimbingan Araya Yuki Yamada. Sosok wanita yang penuh teka-teki dan memiliki kekuatan yang luar biasa ini mengambil Ikaeda sebagai murid, membawanya melintasi berbagai lanskap yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Meskipun perjalanan ini memberikannya perspektif baru tentang luasnya dunia, gelar "Death Prince" tetap melekat padanya, sebuah bayangan yang terus mengikuti langkahnya.
Sifat pesimis Ikaeda dan kecenderungannya untuk menyalahkan diri sendiri belum sepenuhnya hilang. Setiap kali menghadapi kesulitan atau melakukan kesalahan, bisikan keraguan dan rasa tidak pantas kembali menghantuinya. Ia masih sering merendahkan dirinya sendiri, merasa bahwa kegelapan yang ada di dalam dirinya akan selalu menjadi penghalang untuk meraih kebahagiaan atau kedamaian.
Namun, selama perjalanan ini, Araya menunjukkan sisi dirinya yang belum pernah Ikaeda lihat sebelumnya. Di balik aura dingin dan tatapan tajamnya, Araya memperlakukannya dengan kehangatan dan perhatian yang mengingatkannya pada sosok seorang ibu. Ia memberikan Ikaeda pelatihan yang keras namun penuh kasih sayang, mendorongnya untuk melampaui batas kemampuannya sambil meyakinkannya akan potensi yang tersembunyi di dalam dirinya.
"Kau memiliki kekuatan yang besar, Ikaeda," ujar Araya suatu malam di bawah langit bertabur bintang. "Jangan biarkan kegelapan masa lalumu membutakanmu."
Ikaeda hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa tidak yakin dengan kata-kata Araya. "Tapi, aku..."
"Tidak ada 'tapi'," sela Araya dengan tegas namun lembut. "Kau adalah 'Death Prince', ya, tapi itu hanyalah sebuah gelar. Itu tidak mendefinisikan siapa dirimu sebenarnya."
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Ikaeda dan Araya semakin dekat. Mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan kesedihan. Ikaeda mulai merasa nyaman berada di dekat Araya, merasakan perlindungan dan dukungan yang selama ini ia rindukan. Araya dengan sabar mendengarkan keluh kesahnya, memberikan nasihat yang bijaksana, dan perlahan-lahan membantunya untuk melihat dirinya sendiri dalam cahaya yang berbeda.
"Kau tahu, Araya-sama," kata Ikaeda suatu hari saat mereka beristirahat di sebuah kedai sederhana. "Jika... misalnya saja... kau adalah ibuku..."
Araya yang sedang meneguk minumannya tiba-tiba tersedak, matanya membulat karena terkejut. Ia terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya bisa menjawab.
"Kenapa kau mengatakan itu, Ikaeda?" tanya Araya, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang mulai menghiasi bibirnya.
"Kau tahu, Araya-sama," kata Ikaeda suatu hari saat mereka beristirahat di sebuah kedai sederhana. "Jika... semisalnya saja... kau adalah ibuku..."
Araya yang sedang meneguk minumannya tiba-tiba tersedak, matanya membulat karena terkejut. Ia terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya bisa menjawab.
"Kenapa kau mengatakan itu, Ikaeda?" tanya Araya, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang mulai menghiasi bibirnya.
Ikaeda menundukkan kepalanya lagi, wajahnya sedikit memerah. "Entahlah... aku hanya merasa... jika aku memiliki seorang ibu sepertimu... aku pasti akan sangat bahagia."
Hati Araya menghangat mendengar pengakuan Ikaeda. Ia merasa senang melihat bahwa semua yang telah ia lakukan selama ini perlahan mulai membuahkan hasil. Ikaeda, sang "Death Prince" yang pesimis, mulai merasakan kehangatan kasih sayang seorang ibu, meskipun ia belum sepenuhnya menyadarinya. Perjalanan mereka masih panjang, namun Araya yakin, suatu hari nanti, Ikaeda akan benar-benar memahami alasan mengapa ia memilih jalan ini untuknya.
Mendengar ucapan Ikaeda, Araya terdiam sejenak, sorot matanya melembut. Tidak ada sanggahan atau koreksi seperti yang mungkin diharapkan Ikaeda. Justru, ada kehangatan yang terpancar dari tatapan wanita yang selama ini selalu terlihat dingin dan tegas itu. Dalam hati Araya, sebuah kebahagiaan yang tak terhingga mulai bersemi. Ia telah menunggu momen ini, saat putranya, tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya, mulai merasakan ikatan batin yang kuat di antara mereka.
"Kenapa kau mengatakan itu, Ikaeda?" tanya Araya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, menyembunyikan getar haru di dalamnya. Ia senang mendengar kata-kata itu, sebuah indikasi bahwa benih-benih kasih sayang seorang anak kepada ibunya mulai tumbuh di hati Ikaeda, meskipun tanpa pengetahuan eksplisit tentang hubungan darah mereka.
Ikaeda mengangkat kepalanya sedikit, menatap Araya dengan keraguan bercampur harapan. "Aku... aku tidak tahu pasti. Hanya saja... bersamamu... aku merasa berbeda. Ada rasa nyaman dan aman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Jika seorang ibu... akan seperti ini... maka aku akan sangat bahagia memilikinya."
Araya mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengusap kepala Ikaeda, sebuah gestur yang jarang ia lakukan. Sentuhan itu terasa hangat dan tulus, menyalurkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. "Ikaeda," ucap Araya dengan suara yang penuh kelembutan, "rasa nyaman dan aman yang kau rasakan itu... itu adalah hal yang baik. Jangan pernah meragukannya."
"Kau adalah sosok yang kuat dan memiliki potensi yang luar biasa," lanjut Araya, tatapannya penuh keyakinan. "Kegelapan masa lalumu tidak akan pernah bisa menahan cahaya yang ada di dalam dirimu. Percayalah pada dirimu sendiri, Ikaeda. Percayalah pada kekuatan yang kau miliki."
Ikaeda menatap Araya, merasakan ketenangan yang merasuk ke dalam hatinya mendengar kata-kata itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin... mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk selalu hidup dalam kegelapan. Mungkin, ada secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik.
"Kau tidak perlu merasa bersalah atas masa lalumu," kata Araya lagi, seolah bisa membaca pikiran Ikaeda. "Semua orang melakukan kesalahan. Yang terpenting adalah belajar darinya dan terus melangkah maju. Aku akan selalu ada di sisimu, Ikaeda. Ingatlah itu."
Mendengar kata-kata Araya, beban berat di hati Ikaeda terasa sedikit terangkat. Meskipun ia belum sepenuhnya memahami mengapa Araya begitu peduli padanya, ia merasakan ketulusan dalam setiap ucapan wanita itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ikaeda merasakan secercah harapan dan keyakinan pada dirinya sendiri. Perjalanan mereka masih panjang, namun di bawah bimbingan Araya, "Death Prince" itu mulai melihat kemungkinan adanya cahaya di ujung terowongan yang gelap.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di sebuah kuil kuno yang tersembunyi di antara pegunungan yang menjulang tinggi, Araya dan Evelia akhirnya memutuskan bahwa inilah saat yang tepat untuk mengungkap kebenaran yang selama ini mereka simpan rapat. Ikaeda, yang merasa ada ikatan yang kuat namun tak bernama dengan Araya, menatap kedua wanita itu dengan penuh tanya. Suasana di dalam kuil terasa sakral dan penuh misteri, seolah alam semesta pun ikut menahan napas menanti pengungkapan ini.
Araya mengambil langkah maju, tatapannya lembut namun penuh ketegasan. "Ikaeda," ucapnya, suaranya bergetar halus, "ada sesuatu yang sangat penting yang harus kau ketahui tentang dirimu... tentang kita." Evelia berdiri di samping Araya, memberikan dukungan diam-diam, sorot matanya penuh kasih sayang kepada pemuda yang telah mereka lindungi selama ini.
Saat Araya mulai menuturkan kisah masa lalu yang kelam namun penuh harapan, tentang pengorbanan dan cinta yang melahirkan Ikaeda, pemuda itu terdiam membatu. Setiap kata yang keluar dari bibir Araya terasa seperti petir yang menyambar benaknya. Kebenaran yang selama ini tersembunyi akhirnya terungkap: Araya Yuki Yamada, wanita yang selama ini menjadi mentor dan pelindungnya, adalah ibu kandungnya.
Keterkejutan Ikaeda bercampur aduk dengan berbagai macam emosi yang membuncah di dalam dadanya. Ada rasa tidak percaya yang kuat, seolah-olah ia sedang bermimpi. Ada kebingungan yang membuatnya merasa kehilangan pijakan. Dan yang paling kuat, adalah luapan emosi yang selama ini ia tekan: kerinduan yang tak bernama, rasa aman yang ia rasakan di dekat Araya, semuanya kini menemukan penjelasannya.
"Ibu?" bisik Ikaeda lirih, suaranya tercekat. Ia menatap Araya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. Kemudian, rentetan pertanyaan mulai membanjiri benaknya, keluar satu per satu dengan nada penuh emosi. "Kenapa? Kenapa kalian menyembunyikan ini dariku selama ini? Siapa ayahku? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mengapa aku... mengapa aku seorang 'Death Prince'?" Setiap pertanyaan terlontar dengan nada yang semakin meninggi, mencerminkan gejolak batin yang sedang ia alami.
Rentetan pertanyaan Ikaeda terus menyerbu Araya dan Evelia, mencerminkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Nada suaranya bergetar antara keterkejutan, kebingungan, dan rasa terluka karena kebenaran yang baru terungkap. Ia menatap Araya dengan intens, mencari jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya tanpa ia sadari.
Araya, meskipun memahami gejolak emosi putranya, mempertahankan ketenangannya. Ia telah lama mempersiapkan diri untuk momen ini, mengetahui bahwa pengungkapan kebenaran pasti akan menimbulkan reaksi yang kuat dari Ikaeda. Dengan lembut, Araya mengulurkan tangannya dan mengelus kepala Ikaeda, sebuah sentuhan yang penuh kasih sayang dan berusaha menyalurkan ketenangan kepada putranya yang sedang dilanda kebingungan.
"Tenanglah, Ikaeda," ucap Araya dengan suara lembut namun penuh otoritas. "Aku mengerti betapa sulitnya menerima semua ini. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, tapi dengarkan aku terlebih dahulu." Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ada alasan yang sangat kuat mengapa aku menyembunyikan kebenaran ini darimu selama ini. Itu semua kulakukan demi keselamatanmu, Ikaeda."
Evelia menambahkan dengan nada lembut namun tegas, "Sejak kau lahir, ada kekuatan gelap yang mengincar garis keturunanmu. Jika mereka mengetahui siapa dirimu sebenarnya sejak awal, hidupmu akan berada dalam bahaya yang sangat besar. Menyembunyikan identitasmu adalah satu-satunya cara untuk melindungimu, untuk memberimu kesempatan untuk tumbuh dan menjadi kuat sebelum menghadapi kenyataan yang sebenarnya."
Ikaeda, meskipun mulai sedikit tenang oleh sentuhan dan penjelasan Araya, masih menyimpan banyak pertanyaan yang mengganjal di benaknya. "Lalu... gelar 'Death Prince' ini... kenapa aku memilikinya?" tanyanya, menatap Evelia dan Araya bergantian dengan tatapan bingung. "Aku tidak pernah merasa... seperti seorang pangeran kematian."
Araya menghela napas pelan, menatap putranya dengan sorot mata yang penuh makna. "Itu adalah konsekuensi dari garis keturunanmu, Ikaeda," jawabnya dengan hati-hati. "Kau mewarisi dua sisi kekuatan yang sangat bertolak belakang. Sisi gelapmu... adalah Yamada Indra. Kekuatan itu terhubung dengan masa lalu keluarga kita, dengan kegelapan dan potensi kehancuran yang besar."
Araya melanjutkan, "Namun, di dalam dirimu juga mengalir sisi terang, yang kau kenal sebagai Ikaeda Indra. Sisi ini mewakili harapan, kebaikan, dan kemampuan untuk mengendalikan kegelapan di dalam dirimu. Gelar 'Death Prince' diberikan bukan karena kau adalah pangeran kematian yang sebenarnya, melainkan sebagai pengingat akan potensi kekuatan gelap yang ada dalam dirimu, kekuatan yang harus kau pelajari untuk dikendalikan agar tidak menghancurkanmu atau orang-orang di sekitarmu."
"Jangan terlalu memikirkannya saat ini, Ikaeda," sela Evelia dengan senyum lembut. "Kekuatan seperti itu tidak bisa dipahami dalam semalam. Seiring berjalannya waktu, dengan latihan dan pengendalian diri, kau akan mulai memahami kedua sisi dirimu dan bagaimana cara menyeimbangkannya."
Araya mengangguk setuju dengan perkataan Evelia, lalu menatap Ikaeda dengan tatapan penuh kasih sayang. "Dan mulai sekarang, Ikaeda... kau boleh memanggilku Ibu. Itu adalah kenyataan yang seharusnya kau ketahui sejak lama." Ada kelegaan dan kebahagiaan yang terpancar jelas dari wajah Araya saat mengucapkan kata-kata itu.
Evelia tersenyum hangat menatap Ikaeda. "Tentu saja, kau juga boleh berhenti memanggilku Ibu, Ikaeda. Aku mengerti jika ini semua terasa membingungkan."
Namun, Ikaeda menggelengkan kepalanya perlahan, menatap Evelia dengan tatapan tulus. "Tidak, Ibu Evelia," jawabnya dengan suara yang lebih mantap dari sebelumnya. "Kau juga sudah seperti ibuku selama ini. Aku ingin tetap memanggilmu Ibu." Air mata haru terlihat menggenang di pelupuk mata Ikaeda, mencerminkan rasa terima kasih dan kasih sayang yang mendalam kepada kedua wanita yang kini menjadi keluarganya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah pengungkapan besar di kuil kuno, ikatan antara Ikaeda, Araya, dan Evelia terasa semakin nyata dan hangat. Kini, saat mereka berjalan menyusuri jalan berbatu di kota yang ramai, Ikaeda tidak lagi merasakan beban yang sama. Ia berjalan di tengah-tengah kedua wanita yang sangat mencintainya-Araya, ibu kandungnya yang berambut merah menyala, dan Evelia, ibu angkatnya yang berambut perak-menuju rumah yang kini terasa seperti pelabuhan sejatinya. Di sepanjang jalan, Ikaeda sesekali menundukkan wajahnya, sedikit malu dengan perlakuan hangat yang ia terima, namun pada saat yang sama, ia merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan.
...
...
Araya, yang berdiri menjulang tinggi dengan mantel putihnya, tersenyum geli melihat tingkah putranya. Tangannya yang elegan terangkat dan mengelus puncak kepala Ikaeda dengan sayang, membuat pemuda itu semakin merona. "Lihatlah dirimu, Ikaeda," goda Araya, suaranya dipenuhi nada kehangatan yang jarang ia tunjukkan. "Seorang 'Death Prince' yang perkasa, tapi wajahmu memerah hanya karena sentuhan ibumu. Kau masih harus banyak belajar tentang menerima kasih sayang, Nak."
Evelia, yang berjalan dengan anggun dalam balutan pakaian hitam-emasnya, terkekeh pelan. "Araya benar, Nak," ujar Evelia dengan senyum lembut. "Tidak ada yang perlu kau malu-malukan. Aku sangat senang melihatmu mulai merasa nyaman dengan dirimu sendiri, dan tentu saja, dengan kami. Ini adalah awal yang baru untuk kita semua." Ikaeda mengangkat kepalanya, menatap kedua wanita itu dengan mata yang kini tidak lagi dipenuhi keraguan. Meskipun gelar 'Death Prince' masih melekat, ia tahu bahwa kegelapan yang selama ini ia takuti tidak lagi menguasai dirinya sepenuhnya.
"Aku... aku hanya belum terbiasa," jawab Ikaeda, memeluk dirinya sendiri, mencoba menyembunyikan rasa malu namun gagal menutupi binar di matanya. "Tapi... aku menyukainya. Aku menyukai perasaan ini. Terima kasih, Ibu, Ibu Evelia." Mendengar kata-kata tulus itu, senyum Araya dan Evelia semakin lebar. Mereka melanjutkan langkah, meninggalkan hiruk pikuk alun-alun, menuju rumah di mana ketiganya akan mulai membangun kembali masa depan mereka, selangkah demi selangkah, di bawah sinar mentari senja yang hangat. Ikaeda tahu, perjalanannya masih panjang, tetapi kini ia tidak sendirian; ia memiliki keluarga yang menjadi cahaya penuntunnya.