NovelToon NovelToon
Perjalanan Hadi

Perjalanan Hadi

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Romansa Fantasi / Pemain Terhebat / Epik Petualangan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Harem
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: bang deni

perjalanan seorang anak yatim menggapai cita cita nya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Baku Tembak

Hadi maju ke depan dan membuka pintu,

" Siapa kalian?" Tanya Hadi di tangannya obeng panjang tergenggam

Tangan Hadi yang menggenggam obeng panjang terasa dingin. Ia berdiri tepat di ambang pintu, menghalangi pandangan ke arah Rara yang meringkuk ketakutan di belakangnya. Di depannya, berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan raut wajah keras dan mata tajam, diapit oleh dua pria bertubuh besar yang tampak seperti preman bayaran.

“Mana Rara!” bentak laki-laki yang diyakini Hadi sebagai paman tiri Rara, si Jaya. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya.

“Dia tidak mau diganggu,” jawab Hadi tenang, berusaha menutupi gemuruh di dadanya. “Saya teknisi yang sedang kerja di sini.”

Jaya mendorong bahu Hadi dengan kasar. “Minggir! Gue gak peduli lo teknisi kek, tukang sampah kek! Ini urusan keluarga!”

Saat Jaya mencoba menerobos, tiba-tiba dari gang di seberang muncul sekelompok pria lain. Mereka berpostur tegap dan mengenakan jaket kulit hitam, dengan seorang pria berwajah sangar dan bekas luka di pelipisnya memimpin di depan. Pria sangar itu adalah Jarot, yang disebut-sebut Rara sebagai ‘penjaga’ di area tersebut.

“Hei, berhenti!” teriak Jarot, suaranya menggelegar. Kelompoknya langsung mengepung Jaya dan dua centengnya.

“Loe lagi!” Jarot melangkah maju, sorot matanya penuh permusuhan. “Mau apa lo di sini, Jay? Loe tahu peraturan.”

Jaya, meski terkepung, tampak tak gentar. “Gue mau lihat ponakan gue! Rara ponakan gue!”

“Jangankan lihat, napakkin kaki di sini aja lo gak pantes!” Jarot meludah ke samping. “Pergi! Loe gak diterima di sini!”

“Jangan gitu, Bang Jarot. Loe kan tahu Rara ponakan gue. Gue cuma mau lihat aja,” balas Jaya, nadanya sedikit melunak tapi tetap terselip arogansi.

“Jaya, loe gak usah banyak alasan! Pergi!” bentak Jarot, mengepalkan tinjunya.

Suasana tegang membeku. Hadi, yang kini berdiri di samping pintu Rara, menyadari bahwa ia baru saja menyaksikan interaksi yang jauh lebih rumit daripada sekadar sengketa keluarga. Rara adalah komoditas, dan Jaya adalah ancaman bagi ketertiban gelap di tempat ini.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara yang memecah ketegangan:

“Wiuuuu… Wiuuuu…”

Sirine polisi!

Jaya dan kedua temannya langsung terperanjat, wajah mereka berubah pucat. Reaksi itu bukan sekadar kaget, tapi panik yang mendalam.

“Bos, kabur dulu! Ada polisi!” seru salah satu teman Jaya.

Jaya mengumpat. Jarot, sebaliknya, menyeringai lebar. Ia melihat peluang.

“Tangkap!” teriak Jarot pada anak buahnya, menunjuk ke arah Jaya. Jarot tahu, jika Jaya—yang jelas-jelas punya masalah serius dengan hukum hingga takut pada sirine—tertangkap di sini, masalah bagi Rara dan area itu akan selesai.

Dua centeng Jaya langsung lari ke arah gang sempit di sisi kiri. Jaya, dalam keadaan terdesak, mengeluarkan sebuah benda dari balik pinggangnya. Sebuah pistol kecil!

“Minggir semua!” teriak Jaya. Ia menembakkan tembakan peringatan ke udara.

DOORR!

Suara tembakan itu memicu histeria. Orang-orang di sekitar langsung berhamburan lari. Jarot dan anak buahnya mundur, mencari perlindungan di balik tembok.

Hadi, refleks yang dipicu oleh naluri bertahan hidup, menarik Rara kuat-kuat ke dalam kamar dan membanting pintu hingga tertutup. Ia mengunci pintu itu, dadanya berdebar kencang.

“Mas! Mereka… mereka bawa pistol!” bisik Rara, suaranya tertahan.

“Tenang,kak Rara. Kita di dalam. Jangan mendekat ke jendela,” ujar Hadi, matanya terpaku pada pintu. Ia masih memegang obeng, senjata tak berarti di hadapan peluru, tapi setidaknya ada yang bisa digenggam.

Di luar, adegan yang lebih mirip film aksi daripada perkampungan remang-remang mulai terjadi.

Jaya berlari mundur, menuju jalan utama, menembak secara sporadis ke arah Jarot dan anak buahnya.

“Dor! Dor!”

Peluru menghantam dinding semen di samping pintu Rara, menimbulkan percikan debu.

“Brengsek!” umpat Jarot dari balik dinding. “Kita gak bawa senjata! Jangan biarin dia lolos!”

Anak buah Jarot mulai mengambil batu dan botol kosong, melemparkannya ke arah Jaya, berusaha memperlambat larinya.

Sementara itu, mobil patroli polisi berwarna biru putih terlihat memasuki ujung gang!

Polisi, yang memang sedang mengejar Jaya, begitu mendengar suara tembakan, langsung bereaksi. Dua petugas berseragam keluar dengan cepat, mengeluarkan pistol dari sarungnya.

“POLISI! JANGAN BERGERAK! LETAKKAN SENJATA!” teriak salah satu petugas.

Jaya tidak menggubris. Ia tahu, tertangkap oleh polisi berarti hukuman berat. Ia bukan hanya sekadar preman, tetapi seperti yang akan terungkap nanti, ia adalah buronan yang dicari karena kasus pengedaran narkotika. bila sampai tertangkap itu akan menjadi akhir hidupnya

Maka, Jaya memutuskan untuk melawan hingga titik darah penghabisan.

Ia berbalik, bersembunyi di balik tiang listrik, dan mengarahkan pistolnya ke arah polisi.

“DOOR! DOOR! DOOR!”

Jaya menembak tiga kali, mengincar petugas di depan.

Petugas polisi segera mencari perlindungan di balik mobil. Mereka membalas tembakan.

“DOR! DOR!”

Dua tembakan balasan dari polisi. Peluru mereka tidak mengenai Jaya, tetapi berhasil membuatnya tiarap.

Di dalam kamar Rara, suasana mencekam. Setiap suara tembakan membuat Rara menjerit tertahan. Ia bersembunyi di bawah kasur, sementara Hadi berdiri di belakangnya, melindungi dengan tubuhnya.

“Ya Tuhan… Ya Tuhan…” bisik Rara.

“Tahan, kak Rara. Polisi sudah datang,” Hadi berusaha menenangkan, meski suaranya sendiri bergetar.

Di luar, baku tembak berlanjut.

Jaya, yang kesal mengeluarkan satu lagi pistol dari pinggangnya

Ia berdiri dan melepaskan tembakan beruntun ke arah polisi dan kelompok Jarot.

“TRATATATATAT!!!”

Rentetan tembakan itu benar-benar memicu kepanikan. Polisi terpaksa mundur lebih jauh. Kelompok Jarot berlarian kocar-kacir. Jarot sendiri, dengan cepat, berteriak memberi perintah.

“Dia nekat! Cari perlindungan! Tunggu bantuan!”

Jaya memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari. Ia menembak sambil bergerak, menciptakan ‘zona api’ di sekitarnya. Tembakan Jaya benar-benar brutal; peluru-peluru itu menghantam bangunan dan tanah, memecahkan kaca jendela dan merobohkan pot bunga.

"Berhenti!"

" Mati saja kau"

" Dor"

" argh"

Salah satu anak buah Jarot, yang nekat mencoba menghadang, terserempet di bagian lengan dan langsung jatuh tersungkur, menjerit kesakitan.

Jaya hampir mencapai jalan utama. Kebebasan sudah di depan mata. Ia tertawa, tawa gila yang menggema di gang sempit itu.

Namun, ia lupa. Ia terlalu fokus pada polisi dan kelompok Jarot.

Tiba-tiba, dari arah berlawanan, muncul sebuah mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Mobil itu bukanlah mobil polisi biasa. Dari dalamnya, keluar tiga orang berpakaian preman, tetapi dengan gerak-gerik yang sangat terlatih. Mereka adalah anggota Satuan Narkoba dari Polresta setempat—yang memang sudah lama mengincar Jaya.

“ITU DIA! JANGAN BIARKAN DIA LEPAS!” teriak seorang pria berbadan tegap yang memimpin tim.

Jaya terkejut melihat tim yang tidak ia duga ini. Ia memutar tubuhnya, mengarahkan pistolnya ke arah mobil hitam tersebut.

“Dor"

" Dor"

Jendela mobil hitam itu pecah. Tim Narkoba segera tiarap dan membalas tembakan dengan senapan serbu mereka yang lebih modern dan akurat.

“DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!”

Suara tembakan kini lebih terkoordinasi dan mematikan. Tim Narkoba maju perlahan, memanfaatkan mobil mereka sebagai perisai.

" Dor"

Satu peluru polisi meleset, namun yang berikutnya mengenai bahu kiri Jaya.

“AAARRGGGHHH!!!”

Jaya menjerit kesakitan. Senapan SMG-nya jatuh dari tangan yang terluka. Ia terhuyung, tetapi masih mencoba mengambil pistol kecilnya lagi dengan tangan kanan.

Tim Narkoba tidak memberinya kesempatan. Mereka tahu, Jaya adalah target berbahaya.

Pimpinan tim berteriak: “Tembak kakinya!”

DOR!

" Aaaaaargh"

Satu tembakan tepat menghantam lutut kanan Jaya. Tulang retak, darah menyembur.

Jaya ambruk ke aspal dengan teriakan nyaring, berguling-guling memegangi lututnya yang hancur. Pistol di tangannya terjatuh

Tim Narkoba dan petugas patroli yang datang lebih awal segera mengepungnya. Mereka menendang senjata-senjata itu menjauh dan memborgolnya.

“Jayawinata, Anda ditahan atas dugaan pengedaran narkotika dan percobaan pembunuhan petugas. Hak Anda untuk diam!” ujar pimpinan tim Narkoba, sambil menekan luka tembak di bahu Jaya untuk menghentikan pendarahan.

Suara sirine lain mulai mendekat—bantuan sudah tiba. Kekacauan mereda, digantikan oleh suara langkah kaki polisi dan mobil ambulans.

Di dalam kamar remang-remang, Hadi menunggu hingga suara di luar benar-benar mereda. Ia menoleh ke belakang. Rara masih di bawah kasur, tubuhnya menggigil hebat.

“ kak Rara…” panggil Hadi pelan.

Rara merangkak keluar. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab karena menangis dan ketakutan yang luar biasa.

“Sudah… sudah selesai,” kata Hadi. “Pamanmu sudah tertangkap.”

Rara tidak merespons. Ia hanya menatap Hadi dengan mata kosong, lalu tiba-tiba ia ambruk, memeluk lututnya, dan menangis tersedu-sedu. Itu bukanlah tangisan takut, tapi tangisan kelegaan yang meletup-letup.

1
Yuliana Tunru
smoga ini sdh berakhor cari ibumu rara smoga mereka baik2 z ya ..kok up x jarang thorr
Alana kalista
lanjut semangat🔛🔥
Hafis Yudhistira
apa kemarin sudah up trus di hapus lagi?
Blue Angel: kemaren bab nya loncat kak🙏🙏🙏
total 1 replies
Hafis Yudhistira
perasaan aku sudah baca part ini??? apa aku dejavu ya????
Alana kalista
/Grievance/
Casudin Udin
Luar biasa
Alana kalista
lanjut author
Alana kalista
lanjut
Yuliana Tunru
yuni x yg agresif ..hati2 besok2 bisa kebablasan ingat msh kecil ya
Yuliana Tunru
q mampir bang smoga up lancar dan byk pembaca x 💪💪
Blue Angel: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!