Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Bab 31 -
“Pertanyaan itu sebenarnya harus kamu jawab sendiri, Meliana. Aku kan sudah jelas bilang dari awal, Aryo itu orang baik. Buktinya, dia sampai rela repot untuk membela temanku supaya bisa kembali bekerja, sekaligus mengungkap kebusukan HRD itu. Masa kamu masih belum lihat sisi baiknya?” ujar Thania, matanya menatap tajam tapi bercampur senyum nakal.
Meliana menelan ludah. Apa aku memang buta ya? batinnya.
Selepas itu, Thania mengajak Meliana jalan-jalan santai untuk melepaskan kepenatan, dan Aryo tetap mengawal mereka dari dekat. Beberapa kali Aryo menangkap tatapan curi-curi dari Meliana, membuatnya tersenyum kecil.
Hari Minggu datang, Aryo bersiap di mobilnya, siap menjemput Wirda Asisten CEO Andara Grup. Ya, Asisten Meliana.
“Rapi amat, pagi-pagi mau ke mana?” tanya Thania, yang sedang bersantai di pinggir kolam renang kondo Meliana.
Mereka sedang menikmati sore santai, tapi Aryo harus pamit sebentar. Meliana yang sedang memakai bikini buru-buru mengambil handuk, bersuara setengah ketus. “Kalau mau ke sini, kasih kode dulu dong. Jangan tiba-tiba, bikin aku kaget.”
Aryo tersenyum sambil pura-pura menutup mata dengan tangan. “Sori sori, janji gak ngintip.”
“Ke mana kamu mau pergi?” tanya Meliana lagi.
“Aku mau menjenguk ibuku sebentar,” Aryo sedikit berbohong, tak ingin memberitahu terlalu banyak.
“Oh… seharian?”
“Mungkin begitu. Dan kalian jangan kemana-mana ya selama aku pergi,” Aryo menambahkan serius. Ia masih khawatir ada pihak iseng yang mungkin mengincar Meliana atau dirinya.
“Kenapa begitu?” sahut Meliana dengan nada ketus.
“Biar lebih aman saja,” jawab Aryo singkat.
Di mobil, perjalanan menuju kafe tempat janjian dengan Wirda berlangsung tenang. Aryo menatap jalan sambil termenung.
“Ada apa ya, Wirda mau menemuiku? Aku harus bersikap hati-hati. Dia kan cantik dan mudah tersipu dengan kata-kata manisku. Takutnya jadi salah paham atau berharap lebih.”
Setengah jam kemudian, Aryo sudah sampai. Wirda belum tampak. Ia memesan minuman dan duduk menunggu, tetap waspada. Dari pengalamannya, ada setidaknya tiga pihak yang bisa mengganggu: keluarga Zola, Nagajaya, dan tentu saja Thomas Maraja beserta suruhannya.
Aryo mencoba menghubungi Gaston, tapi nomor tidak aktif. Kekhawatirannya bertambah. Gaston memang sulit diprediksi, tindakannya sering didorong emosi. Aryo terus melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Kalau saja tak ada perjanjian darah, aku takkan terlibat semua ini, batinnya. Tapi semua itu sudah terjadi, dan ia harus menjalani konsekuensinya dengan kepala tegak.
“Maaf aku terlambat, Aryo,” suara Wirda akhirnya terdengar.
Aryo menoleh dan tersenyum. Wirda tampil memukau dalam gaun motif bunga dan topi lebar. “Tidak apa-apa. Kamu cantik banget hari ini. Eh, sebenarnya setiap hari juga sih. Tapi kalau di luar kantor, wow, lebih menawan. Mau minum apa dulu?”
Wirda tersipu malu.
“Tidak perlu. Aku datang hanya untuk menjemputmu,” jawabnya.
“Menjemput? Ke mana kita pergi lagi?” Aryo bertanya penasaran.
Wirda menatapnya dengan raut sedikit bersalah. “Maaf sebelumnya, aku tidak langsung jujur. Hari ini ada acara keluarga besar di rumah. Mereka ingin aku menunjukkan pacar yang aku akui—pacar yang aku pilih sendiri. Aku sudah bilang ke orangtuaku kalau aku punya pacar, karena mereka memang ada rencana menjodohkanku dengan seseorang yang tak kusukai.”
Aryo tersenyum tipis, menebak maksudnya. “Jadi kamu ingin aku pura-pura jadi pacarmu?”
“Ya, Aryo. Kamu nggak keberatan kan?”
Aryo menimbang sebentar. Dalam waktu singkat, ia sudah jadi pacar pura-pura dua orang—Meliana dan Wirda. Tentu saja hatinya memilih satu yang pantas jadi pacar sungguhan: Meliana. “Oke, aku tidak keberatan.”
“Bagus. Sekarang kita samakan cerita. Bagaimana kita bertemu, kapan mulai pacaran, dan lain-lain,” kata Wirda sambil memulai briefing singkat.
Aryo menyimak dengan seksama. Wirda menjelaskan secara cepat, selagi mereka berjalan ke mobil masing-masing. Dalam perjalanan, mereka mampir ke supermarket. Aryo membantu membawa belanjaan, sementara Wirda menutup alibinya dengan cekatan.
Wirda terlihat gelisah. Memang, soal perjodohan ini semakin pelik. Di era modern, orang tua masih memaksakan kehendak mereka.
“Nanti kamu masuk ke rumahku setelah aku, ya?” pinta Wirda. Hari itu Aryo membawa mobil sendiri, BMW terbaru dari hasil penjualan Ferrari lamanya.
“Oke siap,” Aryo menepati. Ia menaruh botol minuman ke mobil Wirda.
“Maaf dulu ya kalau ada keributan nanti. Keluargaku agak… ‘begitu’,” kata Wirda, ragu.
“‘Begitu’?” Aryo bisa menebak. Serusuh keluarga Zola dan Maraja.
“Ya, tipe orang yang suka menghakimi, dan tidak suka dibantah.”
Aryo mengangguk pelan. Ia sudah mengantisipasi keributan. Sebagai pacar pura-pura, risiko itu pasti muncul.
“Tidak masalah, Aryo. Aku siap dengan apa pun. Aku capek kalau harus menurut semua kemauan mereka. Aku ingin hidup sesuai pilihanku sendiri. Target dan pencapaian kubuat sendiri.”
Aryo meletakkan tangan di bahu Wirda, memberi dorongan semangat. “Aku mengerti, Wirda.”
Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Wirda. Aryo terkesima melihat rumah itu luas dan megah, penuh mobil mewah, menandakan status keluarga kaya raya. Namun Wirda tetap memilih hidup sederhana, bahkan menjadi asisten CEO di Andara Grup.
Setibanya di halaman, Aryo menunggu kode dari Wirda sebelum masuk. Tak lama, ia menerima telepon, “Oke, kamu boleh masuk. Nanti aku sambut.”
Aryo masuk dengan gaya santai tapi percaya diri, kacamata hitam menempel di kerah kaos. Wirda keluar, memeluknya, dan Aryo membalas sambil mencium keningnya.
Tatapan sinis langsung menghampiri mereka. Tamu dan keluarga yang hadir jelas merendahkan Aryo.
Wirda menggandeng Aryo melewati tatapan itu. “Papa, ini Aryo. Pacarku yang kuberitakan.” Wirda tampak gugup tapi dipaksa tersenyum.
Ayah Wirda, Perdana, menatap Aryo dingin. Tatapan malasnya menilai dari atas ke bawah.
Aryo menawarkan jabatan tangan, tapi diabaikan. Beberapa tamu menertawakan sikapnya. Dari pandangan merendahkan itu, Aryo menilai hanya Wirda yang bersikap baik. Bahkan ibunya ikut belagu.
Perdana mendekat sambil memegang gelas minuman. “Hmm, jadi ini pacarmu yang kamu bangga-banggakan itu?”
“Salam kenal, Pak Perdana. Suatu kehormatan bertemu hari ini. Wirda sering bercerita tentang bapak,” jawab Aryo dengan senyum diplomatis, menawarkan jabatan tangannya lagi.
Ayahnya masih acuh, menyentil jas Aryo. “Tentunya ini kehormatan bagimu, tapi jarang kami terima tamu berpakaian seperti ini.”
“Papa!” Wirda menegur.
“Ini seleramu, Wirda? Rendahan begitu. Bahkan datang ke pesta tidak tahu cara berpakaian yang pantas. Pacar yang kamu bawa, apakah memang calon suamimu?”
Ucapan itu melukai hati Wirda. Aryo tetap tenang, menatap Pratama dengan senyum ringan.
“Tidak seperti Ferdian, dia tahu bagaimana menghormati tuan rumah,” Perdana menambahkan, mengundang Ferdian maju ke hadapan Aryo. Wirda membuang muka.
“Saya Ferdian,” perkenalan Ferdian dengan nada belagu. Jas dan kemejanya mahal, rambut kelimis ke belakang.
“Aryo Pamungkas," jawab Aryo singkat, dan Ferdian menyambut jabatan tangannya, tapi dengan nada merendahkan.
“Nah, gembel dari mana kau?” hina Ferdian sambil tersenyum sinis.
Seketika suasana memanas..
Bersambung…