Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Kisah
Pagi yang cerah di Kota, udara terasa sejuk dan penuh berkah. Di sebuah masjid yang megah, suasana penuh haru dan kebahagiaan menyelimuti. Hari ini adalah hari besar, hari pernikahan Rendy Wicaksana dan Misha. Seluruh masjid dihiasi dengan bunga-bunga putih dan dekorasi yang elegan, mencerminkan kesucian momen sakral ini.
Rendy, mengenakan setelan jas putih yang rapi, duduk di depan wali hakim. Wajahnya terlihat tenang namun matanya memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga. Di sebelahnya, Misha duduk dengan anggun dalam balutan kebaya putih yang memukau. Wajahnya berseri-seri, senyumnya tulus. Meskipun tak ada orang tua kandung yang mendampingi, Misha merasa lengkap. Pak Raharjo dan Bu Lastri, dengan wajah penuh haru, duduk di dekatnya. Mereka sudah menganggap Misha seperti anak sendiri.
"Ananda Rendy Wicaksana," kata wali hakim memulai prosesi. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Misha binti almarhum Abdul Qadir, yang diwakilkan oleh saya sebagai wali hakim, dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 20 gram, dibayar tunai."
Dengan suara mantap, Rendy menjawab, "Saya terima nikah dan kawinnya Misha binti almarhum Abdul Qadir dengan maskawin tersebut, tunai!"
Seketika, kata "Sah!" menggema di seluruh ruangan. Para hadirin, termasuk Pak Raharjo dan Bu Lastri, mengucap syukur. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi mereka. Bu Lastri memeluk erat Misha, membisikkan doa-doa tulus.
"Selamat, Nak," bisik Bu Lastri, suaranya bergetar. "Sekarang kamu sudah punya suami yang akan menjagamu. Ibu dan Bapak sangat bahagia."
Misha membalas pelukan Bu Lastri. "Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah menganggap saya sebagai anak sendiri," bisiknya, tak bisa menahan air mata haru.
Pak Raharjo menepuk bahu Rendy, senyum bangga terpancar di wajahnya. "Rendy, Bapak titip Misha, ya. Dia anak yang baik, dia sudah seperti anak Bapak sendiri."
Rendy mengangguk. "Pasti, Pak. Saya akan menjaga Misha dengan segenap jiwa saya," jawabnya, tulus.
Di barisan tamu, wajah-wajah familiar terlihat. Bu Susi datang dengan senyum paling lebar, bertepuk tangan penuh suka cita. Bu Endah dan Bu Nanik juga hadir, wajah mereka terlihat haru. Mereka tulus mendoakan kebahagiaan Misha. Bahkan, Hana terlihat duduk di sudut, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan Misha. Ia menyesal atas perbuatannya dulu dan kini hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Setelah akad selesai, Rendy dan Misha bersalaman dengan para tamu. Saat bersalaman dengan Pak Raharjo dan Bu Lastri, Rendy menggenggam tangan mereka erat.
"Bapak dan Ibu adalah orang tua saya sekarang," kata Rendy, matanya penuh kasih. "Terima kasih sudah menjaga dan membimbing Misha."
Pak Raharjo tersenyum. "Kamu dan Misha adalah anak-anak Bapak sekarang."
Momen itu terasa begitu berharga. Misha yang dulu sebatang kara, kini memiliki keluarga baru yang begitu menyayanginya. Rendy yang dulu sombong, kini menjadi pria yang rendah hati dan penuh cinta. Mereka adalah bukti bahwa kebaikan akan selalu menemukan jalannya.
****
Pernikahan ini bukan hanya tentang menyatukan dua insan, tapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda latar belakang. Pernikahan ini menjadi saksi bisu, bahwa masa lalu tidak bisa menghalangi kebahagiaan. Pernikahan ini adalah awal dari babak baru yang lebih cerah, di mana Misha dan Rendy akan bersama-sama membangun masa depan yang penuh cinta, kesabaran, dan keikhlasan.
Di pelukan Rendy, Misha merasa utuh. Ia telah menemukan rumahnya, tidak hanya dalam diri Rendy, tetapi juga dalam hati Pak Raharjo dan Bu Lastri. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia tahu, ia akan baik-baik saja, karena kini ia tidak lagi sendirian.
****
Setelah ijab kabul selesai dan para hadirin mengucapkan kata "sah", Misha berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia menyambut setiap tamu yang datang untuk memberikan selamat, namun hatinya menanti-nanti sosok yang selalu ada di sisinya saat ia terpuruk. Dari barisan tamu, Bu Susi melangkah maju dengan senyum tulus yang tak pernah pudar.
"Alhamdulillah, Nak. Ibu sangat bahagia untukmu," bisik Bu Susi, lalu memeluk Misha erat.
Misha tak bisa lagi menahan air mata. Ia membalas pelukan itu, air matanya membasahi bahu Bu Susi. "Bu Susi... terima kasih banyak," isaknya, suaranya parau. "Terima kasih sudah selalu ada untuk saya. Terima kasih sudah membela saya saat tidak ada orang lain yang percaya."
Bu Susi mengusap punggung Misha. "Sudah, Nak. Jangan menangis lagi. Ibu hanya melakukan apa yang benar. Allah tidak pernah tidur, Dia melihat semua. Dan hari ini, Dia membalas semua penderitaanmu dengan kebahagiaan yang tak terhingga."
Misha melepaskan pelukan Bu Susi, lalu menatapnya. "Saya tidak akan pernah bisa melupakan kebaikan Ibu."
"Ibu juga tidak akan pernah melupakanmu, Nak," jawab Bu Susi, tersenyum. "Kamu adalah anak yang kuat. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan ini."
Di belakang Bu Susi, Bu Endah dan Bu Nanik berdiri dengan wajah menunduk. Mereka maju, mendekati Misha. Misha menatap mereka, matanya memancarkan kebingungan.
"Misha... selamat, ya," kata Bu Endah, suaranya bergetar. "Semoga kamu dan Rendy bahagia."
"Dan... kami... kami minta maaf, Misha," kata Bu Nanik, air mata mengalir di pipinya. "Kami minta maaf atas semua yang sudah kami lakukan. Kami sudah termakan fitnah Bu Ratmi dan Bu RT. Kami sangat menyesal."
Hati Misha mencelos. Ia tidak menyangka, mereka akan meminta maaf. Ia tahu, mereka tulus. Misha tersenyum, lalu memeluk Bu Endah dan Bu Nanik. "Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah memaafkan kalian. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu."
Bu Endah dan Bu Nanik menangis. Mereka merasa sangat lega. Beban di hati mereka kini terangkat. "Terima kasih, Misha. Kamu wanita yang sangat berhati mulia," kata Bu Endah.
****
Rendy, yang sedari tadi mengamati, berjalan mendekati Misha. Ia menatap Misha, lalu menatap Bu Susi, Bu Endah, dan Bu Nanik.
"Terima kasih, Bapak-bapak, Ibu-ibu," kata Rendy, suaranya tulus. "Terima kasih sudah datang. Terima kasih sudah menjadi saksi atas hari bahagia kami."
Pak Raharjo, yang juga berada di dekatnya, tersenyum bangga. "Rendy, Misha, kalian sudah seperti anak kami sendiri. Kami doakan semoga kalian selalu bahagia dan langgeng sampai akhir hayat."
Misha dan Rendy mengangguk, lalu memeluk Pak Raharjo dan Bu Lastri erat. Momen itu terasa begitu sakral. Mereka tahu, mereka telah menemukan keluarga yang tulus. Keluarga yang akan selalu ada untuk mereka.
Di sudut masjid, Hana memandang Misha dan Rendy. Hatinya penuh penyesalan. Ia telah kehilangan segalanya, sementara Misha mendapatkan kebahagiaan. Ia tahu, semua ini adalah karma atas perbuatannya. Namun, ia tidak lagi merasa iri. Ia hanya bisa berdoa, semoga Misha dan Rendy bahagia.
Ia melangkah maju, menghampiri Misha dan Rendy. Rendy dan Misha terkejut melihat Hana. Hana tersenyum tipis. "Misha, Rendy... selamat, ya. Aku... aku doakan yang terbaik untuk kalian."
Misha menatap Hana, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Hana."
Hana mengangguk. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa tersenyum, lalu pergi. Ia tahu, ia harus melanjutkan hidupnya. Ia harus berjuang untuk Wina.
Pernikahan ini bukan hanya tentang menyatukan dua insan, tetapi juga tentang menyatukan hati-hati yang sempat terpisah. Pernikahan ini menjadi saksi, bahwa kebaikan dan ketulusan hati akan selalu menang.
Misha, yang kini resmi menjadi istri Rendy, memegang tangan suaminya erat. Ia menatap matanya, dan ia tahu, ia telah menemukan rumah. Ia telah menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Bukan pada harta, bukan pada ketenaran, melainkan pada hati yang tulus, dan cinta yang ikhlas.
T A M A T