NovelToon NovelToon
Lentera Jelita

Lentera Jelita

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Romansa / Penyelamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Alfianita

Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?


Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.


“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”


“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”

Ahtar tersenyum, lalu...

“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”


Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?


#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kiasan

...🌹...

...Dunia dan semesta itu tak menjadi satu, tapi keduanya saling terhubung satu sama lain. Jauh berbeda dengan aku dan kamu, tak saling terhubung dan bahkan tak bisa bersatu sama sekali, seperti... Bintang dan bulan....

...🌹🌹🌹🌹...

"Akhtar mau meminta bantuan Abi. Ada..."

Akhtar menceritakan semua tentang Tuan Arman kepada Abi Yulian. Dan Abi Yulian jelas akan memberikan bantuan kepada Tuan Arman, karena memang sifat Abi Yulian itu baik. Baginya menolong sesama itu adalah kewajiban, meskipun orang yang pernah ditolongnya justru memberinya sebuah luka.

"Ya Allah... Kasihan sekali Tuan Arnan ini," lirih Abi Yulian.

"Apa kau akan kembali ke rumah sakit malam ini, Nak?"

"Sepertinya tidak, Abi. Akhtar mau istirahat dulu di rumah, mungkin besok pagi setelah mengantar Hafizha baru datang ke rumah sakit. Lagipula, masa cuti Akhtar belum habis."

Abi Yulian manggut-manggut, "Ya, kamu benar itu. Ya sudah, istirahat sana gih. Abi tahu, luka mu masih belum sepenuhnya sembuh."

"Iya, Abi."

Akhtar beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega. Karena akhirnya ia bisa membantu Tuan Arman pulang ke Indonesia tanpa harus mencari orang yang bisa mengawal Tuan Arman mengingat kondisinya yang kurang sehat.

Dan tak lama kemudian Abi Yulian keluar dari ruangannya. Abi Yulian berdiri sambil menatap punggung Akhtar yang sudah hampir menghilang dari pandangannya itu. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan, khawatir dan takut yang seakan beradu menjadi satu.

"Semoga isi surat itu tak akan membebani pikiranmu, Nak. Abi berharap kamu memiliki harapan baik di masa akan mendatang." Abi Yulian menghela napas berat.

...🌹🌹🌹🌹🌹...

Akhtar berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang gelap tertutup mendung. Menandakan jika hujan akan segera datang malam itu. Angin yang berhembus keras, menciptakan hawa dingin yang seakan menusuk tulang. Namun, hal itu diabaikannya saja oleh Akhtar, karena yang dibutuhkannya hanya ketenangan di malam itu tanpa membebani pikirannya dengan perasaan janggal—kepergian Zuena tanpa jejak.

"Aku berharap rasa itu menghilang, tapi ternyata aku salah besar. Perasaan itu semakin kuat saja, seakan enggan untuk pergi dari sudut sanubari." Akhtar menghela napas panjang. "Kamu di mana? Aku ingin bertemu dan meminta penjelasan yang sebenar-benarnya kalau bisa bahkan sampai ujung pangkalnya, kenapa kamu bisa menolakku." Tatapannya menatap kosong ke depan dan tangannya mengepal kuat.

Brum... Brum...

Akhtar memalingkan pandangannya ke bawah, ia melihat satu mobil telah terparkir di halaman depan rumahnya. Matanya menyipit, memperjelas penglihatannya agar ia tahu siapa yang datangmu bertamu di malam itu.

"Jam sembilan lebih dua puluh menit. Memang belum terlalu malam, tapi siapa yang bertamu?" gumamnya dalam hati.

Tak lama kemudian tiga orang keluar dari dalam mobil. Dan jelas Akhtar terbelalak lebar melihat Salah satu orang itu.

"Ya salam... Kenapa dia ikut juga? Males sekali rasanya aku harus bertemu dan menyapanya." Akhtar memutar bola matanya malas.

Akhtar menggeleng keras, ia harus menemukan ide yang bisa membuatnya tak akan bertemu dengan Humaira malam itu. Karena Akhtar yakin, Bunda Khadijah pasti akan memintanya untuk menemui perempuan itu.

"Aha... Aku tahu harus berbuat apa." Akhtar menjentikkan jari sambil tersenyum menyeringai.

Akhtar segera melakukan rencananya sebelum Bunda Khadijah datang ke kamar. Dan baru saja Akhtar menyelimuti tubuhnya sampai dada, ia mendengar suara ketukan pelan. Namun, ia mengabaikan ketukan itu agar sandiwaranya sempurna.

Ceklek.

Akhtar mendengar gagang pintu kamarnya ditekan keras, tak lama dari itu terdengar suara pintu berderit. Dan...

"Ya salam... berlagak akting pula. Bangun, bang! Ditungguin di bawah sama Bunda tuh, katanya suruh minta maaf sama mbak Humaira dan... baju gamisnya jangan lupa dibawa."

Akhtar membuka mata, tatapannya begitu tajam saat melihat wajah Hafizha yang tersenyum puas dengan kejahilannya. Biar bagaimana pun usaha Akhtar bersandiwara pasti tetap akan ketahuan juga jika di sana Hafizha, bukan Bunda Khadijah.

"Dek... bantuin Abang mau? Nanti dapat upah dari Abang," rayu Akhtar dengan memasang wajah meyakinkan.

"Tidak ada sogokan, cepat gih! Jadi laki kok nggak gentleman."

"Ish." Akhtar berdesis. "Ok, Abang akan turun. Tapi... Abang tak akan membantumu masuk ke John Jay dan Abang akan meminta Bunda untuk menyarankan Abi mendaftarkan kamu ke... Kairo." Suaranya terdengar pelan, tapi membuat bulu kuduk Hafizha meremang.

"Jangan!" seru Hafizha.

Seketika Akhtar tergelak tawa, ia tahu jahilnya pada Hafizha bisa membuat keadaan lebih baik dan aman dari ancaman hati.

"Ok, abang punya ide." Akhtar mendekatkan bibirnya di telinga Hafizha, lalu berbisik sesuatu yang menjadi ide cemerlangnya.

Setelah berbisik Akhtar mundur dari samping Hafizha, "Sudah paham, kan?" tanyanya memastikan.

Hafizha mengacungkan jempolnya. Dan sebelum keluar dari kamar ya, Akhtar memberikan bingkisan yang sudah dibungkus rapi. Tidak lupa ada memo kecil yang diselipkan di dalam paper bag coklat itu.

...🌹🌹🌹🌹🌹...

Akhtar bernapas lega setelah yakin rencananya berhasil. Dan sebelum memutuskan untuk minum obat yang memiliki efek kantuk ia menyambar handphonenya yang ada di atas kasur.

Akhtar menatap layar handphonenya, mencari kontak yang bertuliskan nama yang diyakini sama dengan nama cucu Tuan Arman. Setelah ketemu nama itu, Akhtar menekan tombol panggil.

"Halo, Bang!" sapa Adelard dari setelah mengucap salam sambil memperlihatkan gambarnya di layar.

"Kenapa langsung diterima panggilan pertama dari abang, hmm? Sedangkan panggilan dari kakek kamu sendiri saja... diabaikan." Terdengar lembut dan santun, tapi di dalam ucapannya membuat Adelard merasa tersindir.

"Bagaimana bang Akhtar bisa tahu?" tanya Adelard dengan alis bertaut.

Akhtar tertawa, yang diyakininya ternyata benar. Adelard ang dikenalnya adalah orang yang sama dengan cucu Tuan Arman. Tapi, Akhtar merasa ada yang aneh dengan sikap Adelard. Bahkan Akhtar melihat dari balik layar handphonenya ada beberapa orang yang terlihat asing.

Mata Akhtar menyipit, mempertajam penglihatannya. "Kamu... ada di markas?" tebak Akhtar tak yakin.

"Iya. Ada bang Kei juga. Gue... merasa orang paling bodoh saat ini, Bang. Gue ngerasa... benar-benar orang yang nggak bisa berpikir jernih. Ingin sekali gue tonjok muka bokap gue sendiri yang benar-benar memiliki muka tebal." Adelard memalingkan wajahnya dari layar.

Adelard tidak mau kemarahannya dilihat oleh Akhtar, karena sangat terlalu beringas jika emosinya sudah meletup. Bahkan rasanya laki-laki remaja itu ingin naik pitam saat ingatannya kembali tentang sikap papanya.

"Ya salam... Masih saja emosian? Bang kan, sudah bilang untuk memperbanyak istighfar. Lagipula buat apa melakukan hal yang bisa merugikan kamu sendiri," ucap Akhtar menasihati Adelard.

"Aku tak akan rugi jika dia tiada. Buat apa memiliki bokap yang tak memiliki akal jernih, tebal muka, tak berperasaan dan... terlalu naif." Tatapan itu tajam, bak mata elang yang siap menerkam mangsanya.

"Memangnya apa yang terjadi?" Akhirnya Akhtar pun penasaran. "Cerita sama abang, siapa tahu abang bisa bantu."

"Asal bang Akhtar tahu. Bokap gue menikahi pacar bang Kei dengan alasan hutang."

Deg.

Akhtar terdiam sejenak, ia tertegun mendengar ucapan Adelard. Akhtar tak habis pikir jika masih ada manusia yang memiliki sifat egois dan tak memiliki hati seperti papanya Adelard. Akhtar menarik napas berat, ia tahu bagaimana perasaan Adelard dan juga Kei saat ini. Rasa marah, kecewa, dan bahkan lebih dar itu pasti sangat memenuhi hati dan pikiran keduanya. Namun, Akhtar tak mau jika keduanya terlalu lama memendam rasa itu.

"Coba berikan handphone kamu sama abangmu. Bang Akhtar mau bicara sebentar."

Tanpa tanya Adelard bergerak, mencari keberadaan abangnya. Namun, saat melihat abangnya Adelard semakin terlihat buruk, karena tak bisa menjaga sang abang. Perdebatan antara keduanya sempat terjadi, hal itu pun bisa di dengar Akhtar.

"Aku akan matikan panggilan ini jika kalian masih berdebat."

Tut... Tut... Tut...

Akhtar memutuskan panggilan itu secara sepihak. Akhtar tidak mau omongannya yang panjang lebar akan sia-sia jika keduanya masih dikuasai amarah dan kecewa. Karena bagi Akhtar itu akan percuma.

Akhtar menghela napas panjang, lalu beranjak dari bibir kaur dan mendekati lemari. Akhtar mengambil kaos oblong dan celana kolornya yang akan dijadikan baju tidurnya malam itu.

"Surat?" gumamnya lirih saat meraba saku kemejanya.

Akhtar mengambil surat itu dan membukanya perlahan.

...Dear... Akhtar Farzan Atmajaya....

...Hai... Apa kabar? Mungkin ini adalah pertanyaan bodoh dari seseorang yang tak memiliki hati. Dan seakan semuanya terlihat baik-baik saja meskipun aku tahu kamu... Terluka. ...

...Sebelumnya aku minta maaf, karena telah membuatmu begitu terluka. Tapi apalah daya diri ini jika... Semesta memang tak memberi ijin untuk aku mengenalmu lebih jauh. ...

...Kita memang dua jiwa yang ditakdirkan untuk bertemu, tapi tidak ditakdirkan untuk melangkah bersama. Bagiku pertemuan kita ini adalah hadiah dari semesta. Meski kebersamaan bukan bagian dari ceritanya, tapi bagiku kamu... seperti hujan yang hadir di musim kemarau. Singkat tapi... berarti....

...Aku pun tahu... Jika kamu hadir bukan untuk tinggal, tapi hanya untuk mengajarkan sesuatu yang lebih indah dari sekedar pertemuan. ...

...Kita tak pernah bisa berjalan di jalan yang sama dan kita tidak akan pernah disatukan dalam tujuan yang sama. ...

...Mungkin aku terlalu naif dan munafik, yang terlalu menjadikanmu sebagai mimpi yang ingin ku pegang erat, tapi nyatanya hal itu akan tetap sebagai mimpi. Karena aku tahu ada batas yang tidak bisa aku hapus....

...Dunia dan semesta itu tak menjadi satu, tapi keduanya saling terhubung satu sama lain. Jauh berbeda dengan aku dan kamu, tak saling terhubung dan bahkan tak bisa bersatu sama sekali, seperti... Bintang dan bulan....

...Dan setelah kamu membaca surat ini... Tolong hapus perasaan kamu ke aku. Karena aku akan benar-benar hilang dari hadapanan kamu atau bahkan dari... Bumi ini. ...

...Terima kasih karena sudah memiliki rasa yang begitu indah, membuat ku merasa sangat tersanjung karena menjadi wanita yang kau pilih. ...

...Salam dariku... ZJ...

Deg.

Air mata telah luruh begitu saja.

Bersambung...

1
Althaf_Nur11
Memberikan apresiasi itu penting loh! Bahkan sangat berarti..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!