" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Langit mendung sore itu seperti cerminan hati Riyan yang tak menentu. Di ruang keluarga yang seharusnya hangat, suasana justru menegang. Winda, yang sedang mengelus perutnya dengan senyum lembut, tampak begitu kontras dengan tatapan curiga yang perlahan mulai tumbuh dari mata suaminya.
“Aku sudah pesan susu almond buat kamu,” ujar Riyan pelan.
“Lagi-lagi susu almond? Kamu pikir aku ngidam tiap hari susu itu terus?” sentak Winda tiba-tiba, membuat Riyan terdiam.
Winda cepat-cepat meralat nada bicaranya. “Maksudku... aku cuma lagi moody, mungkin karena hormon ya. Kamu ngerti kan?”
Riyan memaksakan senyum, tapi hatinya menolak untuk kembali percaya begitu saja. Sudah beberapa kali Winda bersikap aneh. Kadang terlalu dramatis, kadang terlalu lembut seolah sedang berakting. Bahkan beberapa kali Riyan memergokinya tidak minum vitamin kehamilan yang diberikan dokter.
“Aku cuma pengin kamu jaga kesehatan, Win,” ujarnya pelan.
Winda mendekat dan memeluknya dari samping. “Aku tahu kamu sayang aku. Tapi kadang kamu terlalu banyak curiga. Aku capek ditanya-tanyain terus, Yan. Percaya aja, ya? Demi anak kita…”
Kalimat terakhir itu, seperti biasa, digunakan Winda untuk menundukkan hatinya. Tapi kali ini, Riyan tidak langsung luluh.
---
Sementara itu, di kantor pusat milik Ria yang kini resmi ia pegang kembali, Ria duduk di ruangannya sambil memandangi surat gugatan perdata yang sudah seminggu lalu datang tanpa nama penggugat yang jelas. Gugatan atas “penggelapan aset perusahaan” yang tidak pernah ia lakukan.
Julio mengetuk pintu, membawa beberapa berkas dan laptop.
“Aku sudah selidiki. Gugatan ini masuk dari firma hukum yang terafiliasi dengan seseorang bernama... Karina,” ujar Julio.
Ria mengernyit. “Karina? Aku tidak kenal.”
Julio mengangguk. “Nama samaran. Tapi setelah ditelusuri, pembayaran kuasa hukum ini masuk dari rekening atas nama... Putri.”
Ria menggenggam ujung mejanya. “Putri?!”
Julio mengangguk lagi. “Sepertinya ini gabungan rencana antara Putri dan mungkin... orang-orang di belakangnya. Aku curiga ada keterlibatan ibu Riyan juga.”
Ria menatap ke jendela dengan pandangan dingin. “Kalau mereka mau perang, aku takkan diam saja. Aku akan lawan. Aku ingin semua kebusukan ini terbongkar... satu per satu.”
---
Di tempat lain, di kediaman Bu Lila yang mewah namun penuh kepalsuan, percakapan antara ibu dan menantu kesayangannya, Putri, berlangsung dengan panas.
“Winda itu cuma beban. Lihat saja, belum apa-apa sudah manja, sok lemah, dan sekarang dia buat anakku makin jauh,” gerutu Bu Lila.
Putri menyodorkan foto-foto yang ia dapat dari orang suruhannya—foto Winda sedang belanja sendiri, tanpa terlihat sedang mual atau kesulitan seperti yang selalu ia keluhkan di rumah.
“Saya dapat ini diam-diam. Ternyata selama ini dia bohong soal ngidam dan sakit-sakitan. Saya yakin kehamilannya pun... bisa saja hanya permainan.”
Bu Lila mengepalkan tangan. “Kalau begitu kita buat dia mengaku. Tapi jangan frontal. Kita perang halus.”
Putri mengangguk. “Dan kita pastikan Riyan kembali padaku... setelah semua ini selesai.”
---
Sementara itu, Andre mengajak Ria makan malam di rooftop restoran yang romantis. Ria tampak tenang, tapi Andre tahu ada badai yang sedang ia simpan.
“Ria...” kata Andre, menggenggam tangan wanita yang kini makin dicintainya. “Kalau kamu butuh dukungan hukum, atau orang yang kamu percaya untuk selidiki lebih dalam, aku punya kenalan yang bisa bantu. Termasuk soal firma hukum yang mengajukan gugatan itu.”
Ria menatapnya, terharu. “Aku nggak pernah menyangka akan bertemu laki-laki seperti kamu setelah semua luka. Tapi aku juga tidak mau kamu terseret dalam masalahku.”
“Aku justru ingin jadi bagian dari hidupmu, termasuk luka dan perangnya,” balas Andre mantap.
Mereka saling menatap, dan senyuman Ria muncul perlahan, menghapus sedikit beban di dadanya.
---
Di rumah, malam itu, Riyan berdiri di depan kamar mandi dengan wajah gelisah. Ia baru saja memeriksa tempat sampah dan menemukan hasil test pack... kosong. Bersih. Seperti belum pernah digunakan. Padahal Winda berkali-kali bilang sudah memeriksakan kehamilannya.
“Winda,” panggilnya saat istrinya keluar dari kamar mandi. “Kamu pernah bilang kamu hamil... tapi aku belum lihat bukti medis apa pun. Kita belum ke dokter bersama. Bahkan test pack pun aku nggak pernah lihat. Kamu bisa jelaskan?”
Winda menegang, tapi segera tersenyum lemah. “Kamu curiga aku bohong? Demi apa aku pura-pura hamil?”
“Bukan curiga. Aku cuma butuh kejelasan. Karena... semakin ke sini, semuanya terasa salah.”
Mata Winda berkaca-kaca. “Aku capek, Yan. Kamu selalu tuduh aku yang nggak-nggak. Aku bawa anak kamu di perut ini, dan kamu malah interogasi?”
Riyan menatapnya lama. Ada yang tidak beres. Tapi ia belum punya bukti kuat.
Namun di dalam hati kecilnya, suara itu semakin keras: Winda mungkin tidak sedang mengandung apa pun… selain kebohongan.
Namun di balik tangis dan kelemahan yang Winda pertontonkan di depan Riyan, ada mata yang tak lagi sendu saat sendirian di kamarnya. Ia duduk di depan laptop, membuka folder tersembunyi berisi rekaman suara dan foto-foto rahasia. Beberapa file bahkan memuat percakapan antara Bu Lila dan Putri saat mereka tak sadar disadap oleh kamera kecil yang sengaja Winda pasang di ruang tamu rumah mertuanya.
“Bodoh? Lemah?” gumamnya pelan sambil tersenyum sinis. “Kalian pikir aku perempuan lugu yang bisa kalian kendalikan seenaknya?”
Ia menyentuh perutnya yang masih rata. Tidak, ia memang tidak hamil. Tapi rencana besarnya baru saja dimulai.
"Aku tahu kalian cuma butuh bayi untuk rebut warisan keluarga. Tapi aku bukan sekadar rahim sewaan,” gumamnya dingin. “Kalian pikir kalian sedang mainkan aku? Kalian bahkan tak sadar semua langkah kalian sudah aku catat.”
Ia mengirim salinan salah satu rekaman ke email pribadi dengan subject: “Jika terjadi sesuatu padaku, buka ini.”
Senyumnya melebar, penuh licik dan keyakinan.
“Aku akan pastikan kalian berdua hancur... dengan tangan kalian sendiri.”
Winda membuka chat terenkripsi di ponselnya. Nama kontaknya hanya tertulis inisial: “R”. Ia mengetik cepat:
> "Semua berjalan sesuai rencana. Target utama: Putri. Lanjutkan penggalian data rekening dan riwayat percakapannya. Fokus juga ke percakapan dia dengan Bu Lila di aplikasi pribadi mereka. Bayaran akan aku kirim besok."
Ia menyimpan ponsel, lalu menatap pantulan dirinya di cermin besar. Wajah itu masih menampilkan wanita hamil yang lembut dan rapuh. Tapi di balik mata teduh itu, ada bara dendam yang terus menyala.
"Kalau kalian pikir aku masuk ke rumah ini tanpa persiapan, kalian terlalu naif,” bisiknya. “Aku datang bukan cuma untuk menikahi Riyan. Aku datang untuk menghancurkan sistem yang selama ini meremehkan perempuan seperti aku."
Ia berdiri, meluruskan bahunya. Tak ada lagi tangis. Tak ada lagi rasa takut.
“Permainan sudah dimulai... dan kalian semua pionnya.”