Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
,Frida menatap kepergian idolanya dengan ekspresi penuh galau, seakan enggan melepaskan sosok Larasati yang perlahan menghilang di kerumunan. Udara sore yang semula hangat kini terasa menggantung di antara mereka. “Ya ampun, Raina... Kenapa sih kita harus sembunyi?” bisiknya kecewa, hampir seperti anak kecil yang kehilangan kesempatan emas. “Kamu tahu nggak, tadi itu momen langka. Kita bisa minta foto, tanda tangan... bahkan mungkin selfie bareng Larasati! Aduh...!”
Raina hanya melemparkan pandangannya ke arah lain—gerakannya singkat, tapi tajam. Ada kejengahan yang jelas di wajahnya. "Se-ngefans itu sama dia?" ucapnya, nada suaranya datar, namun menyimpan semburat emosi yang tak bisa Frida tebak.
Frida mengangguk polos, tak menyadari badai yang perlahan mengumpul di dalam dada sahabatnya. “Tentu saja ngefans berat! Lihatlah dia, Rain! Dia itu... benar-benar definisi wanita sempurna. Cantik, elegan, berprestasi. Gaya bicaranya, cara dia jalan, semuanya... luar biasa!”
Raina tercekat. Diam-diam ia menarik napas dalam, namun tak bisa mengusir sesak yang mulai memenuhi dadanya. Larasati... lagi-lagi nama itu. Mata Raina menatap kosong, namun pikirannya riuh, menjerit tanpa suara. Frida—satu-satunya sahabat perempuan yang ia punya—bahkan tak bisa menyadari bahwa pujian itu menusuk. Apa semua orang begitu mudah terpukau oleh Larasati?
Gemuruh di dadanya semakin tak tertahan. Ia meremas jemarinya yang mulai dingin. Di benaknya, bayangan Adit perlahan muncul. Senyumnya. Suaranya. Dan kini, Larasati—dengan aura sempurna itu—hadir di antara mereka. Apa iya...? Mas Adit benar-benar sudah melupakannya.
“Wanita sempurna…” suara Raina nyaris pecah, namun masih jelas terdengar oleh Frida yang berdiri di sampingnya. “Tidak akan mungkin tega menghancurkan rumah tangga wanita lain…”
Frida menoleh cepat, kaget. “Merebut...? Maksudmu...? Kalian saling kenal?”
Raina tak langsung menjawab. Hanya menatap kosong ke arah jalan yang baru saja dilewati Larasati. Hening yang menggantung sejenak terasa seperti petir yang belum menggelegar.
Lalu... sebuah anggukan pelan.
Satu anggukan yang terasa seperti palu godam menghantam dada Frida.
“Dia… mantan kekasih Mas Adit,” bisik Raina. Tapi kemudian nada lirih itu berubah. Mata Raina menajam, rahangnya mengeras. “Puas?!”
Suara itu melengking dengan luka. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dikhianati kenyataan. Rasa sakit yang ia kubur dalam diam kini meledak, dan Frida—sahabatnya sendiri—telah menyiram garam ke luka yang belum sempat mengering.
Tanpa menunggu jawaban, Raina berbalik. Langkahnya cepat, penuh emosi. Bahunya bergetar menahan tangis yang sejak tadi ditahan. Setiap pujian Frida pada Larasati kini membakar dadanya seperti api—panas, membekas, dan memedihkan.
Frida hanya bisa terpaku. Matanya membelalak, mulutnya terbuka tanpa suara. Kata-kata Raina bergema di kepalanya, memukulnya tanpa ampun.
Larasati.
Mas Adit.
Mantan kekasih.
Sahabatnya.
Potongan-potongan yang awalnya tak berarti, kini menyatu seperti pisau tajam menusuk kesadarannya. Ia teringat pria yang berdiri di samping Larasati tadi—tinggi, gagah, dengan sorot mata yang tak asing. Tuan Aditya.
Ya Tuhan…
Tangannya refleks menutup mulut. Ia ingin menyangkal. Tapi semuanya begitu jelas. Terlambat.
“Bodohnya aku...” gumam Frida, nyaris tak terdengar. Rasa bersalah merayap seperti kabut gelap, membungkus tubuhnya dengan penyesalan. Sudah pasti... Raina hancur sekarang.
Frida tahu bahwa Larasati pernah memiliki kekasih bernama Aditya. Siapa yang tak tahu? Kisah asmara mereka sempat jadi gosip besar. Tapi ia tidak pernah mengira—tidak pernah membayangkan sedikit pun—bahwa Aditya itu adalah orang yang sama. Suami Raina.
Dan kini, Larasati kembali muncul. Lebih bersinar. Lebih sempurna. Dan lebih dekat dari yang seharusnya.
Langkah Raina cepat dan penuh amarah, tapi Frida tak tinggal diam. Ia berlari mengejar sahabatnya, napasnya memburu, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Rain, tunggu… please, dengar dulu!”
Raina tak menjawab. Langkahnya terus melaju, namun Frida tak menyerah. Ia tahu, ia telah menggores luka yang dalam, meski tanpa sengaja.
“Aku nggak tahu, Rain… Sumpah aku nggak tahu kalau itu mantan kekasih Aditya. Kamu juga nggak pernah cerita sebelumnya…” suara Frida mulai gemetar, antara panik dan takut kehilangan sahabatnya.
Raina berhenti. Bahunya sedikit naik turun menahan emosi yang mulai mencair.
Frida memutar tubuh sahabatnya, menatap matanya penuh penyesalan. “Kalau aku tahu, aku pasti berhenti ngefans sama dia. Atau—kalau perlu—kau mau aku labrak dia? Aku bisa tuh! Gaya petantang-petentengku siap turun gunung!” katanya, dengan nada yang sengaja dibuat lucu, sambil membusungkan dada.
Raina meliriknya sekilas. Antara ingin tertawa, tapi gengsi. Di balik matanya yang masih merah, ada secercah kehangatan yang kembali muncul. Ia sadar, Frida tidak sepenuhnya salah. Sahabatnya itu hanya jujur… dan terlalu bersemangat. Yang mungkin terlalu rapuh dan mudah tersinggung adalah dirinya sendiri.
“Apa kau punya ide gila lagi?” gumam Raina akhirnya, suaranya jauh lebih lembut.
Frida tersenyum lebar, seperti anak kecil yang mendapatkan izin bermain di tengah hujan.
“Tentu saja! Kalau soal ide, aku gudangnya,” katanya bangga. Lalu ia mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Raina. Belum sempat Raina bereaksi, Frida sudah menarik tangannya dan menyeretnya pergi.
“Frida! Kita mau ke mana?” seru Raina, nyaris tersandung karena langkah Frida yang tergesa.
“Tenang aja. Nanti juga kamu tahu,” jawab Frida misterius, senyumnya makin lebar.
Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan Makeup Artis & Styling Room.
“Nah! Ini dia tempatnya. Daripada uang suamimu numpuk di rekening dan nggak berguna, mending kau manfaatkan, itung-itung investasi masa tua."
Raina menatap ruangan itu, lalu kembali menatap Frida. “Make up artis? Yang bener aja, Frida. Aku nggak mau! Malu, ih!” Serunya sambil berbalik, hendak kabur.
Tapi Frida jauh lebih cepat. Ia merangkul bahu sahabatnya dan mendorongnya masuk dengan paksa namun penuh ketulusan. .
“Udah ah, nggak usah banyak protes. Anggap aja... ini permulaan untuk bab baru. Kita nggak bisa biarin Larasati terus bersinar sendirian. Sekarang giliran kamu bersinar—di atas panggungmu sendiri.”
Akhirnya, Raina hanya bisa pasrah. Duduk di depan cermin besar yang dikelilingi lampu-lampu terang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap bayangannya sendiri.
Cermin besar dengan lampu-lampu terang di sekelilingnya memantulkan bayangan seorang wanita yang hampir tak dikenali oleh dirinya sendiri. Raina menatap pantulan itu, terdiam. Bibirnya sedikit menganga, matanya melebar.
Dulu—dan bahkan tadi pagi—ia hanya seorang perempuan sederhana. Rambutnya selalu diikat asal, seperti tidak punya waktu untuk peduli. Ia mengenakan celana kargo dan kaos oblong favoritnya,. Sepatu sneaker menjadi ciri khasnya.Raina tak pernah peduli soal penampilan. Baginya, kenyamanan adalah segalanya.
Namun kini... semuanya berubah.
Rambut hitamnya yang semula selalu dikucir seadanya, kini tergerai indah. Lurus, namun memiliki gelombang lembut di bagian bawahnya—memberi kesan anggun tapi tidak berlebihan. Sekilas, rambut itu berkilau seperti tersentuh cahaya sore hari.
Kaos dan celana kargo telah berganti menjadi dress selutut berwarna krem lembut, membentuk tubuhnya dengan elegan tapi tetap sopan. Bahannya jatuh ringan, mengalir mengikuti setiap geraknya. Dress itu mengekspos kaki jenjangnya—bagian dari tubuhnya yang selama ini nyaris tak pernah ia perlihatkan, tersembunyi di balik celana longgar dan sikap tomboynya.
Makeup-nya tidak tebal. Justru sebaliknya—ringan, segar, dan alami. Namun entah bagaimana, efeknya luar biasa. Mata Raina tampak lebih hidup, pipinya merona alami, dan bibirnya kini dihias warna lipstik vermilion coral yang hangat namun menawan. Warna itu tidak hanya cocok dengan kulitnya, tapi juga mencerminkan sisi lembut yang selama ini terkubur dalam kesederhanaan.
Yang paling mengejutkan mungkin adalah alas kakinya. Sneaker kesayangannya—yang biasanya membuat langkahnya mantap dan cepat—telah terganti dengan heel berwarna nude, ramping dan anggun. Tingginya tidak berlebihan, tapi cukup untuk mengubah postur Raina. Membuatnya tampak tegak, percaya diri, dan... menakjubkan.
Frida berdiri di sampingnya, tersenyum puas. “Lihat dirimu, Rain. Kalau Larasati bintang, kamu itu matahari yang baru aja keluar dari balik awan.”
Raina menoleh pelan ke arah sahabatnya. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Antara malu, kagum, dan untuk pertama kalinya—percaya diri.
“Aku… kelihatan aneh, ya?” tanyanya, pelan.
Frida tertawa kecil. “Aneh? Kamu cantik banget. Dan masalahnya bukan di baju atau make-up, tapi karena akhirnya... kamu berani keluar dari bayanganmu sendiri.”
Raina tersenyum. Tak lebar, tapi tulus. Senyum yang mungkin sudah lama hilang.
Di balik tampilan barunya, ia bukan berubah jadi orang lain. Ia hanya menemukan kembali versi dirinya yang lama terkubur—kuat, menawan, dan layak diperjuangkan.