Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 4
Pintu utama terbuka sangat pelan, seperti dia harap rumah masih tertidur.
Tapi begitu dia melangkah masuk—
“Abang…”
Suara itu membuatnya berhenti.
Najla berdiri di ujung lorong, masih dengan hoodie kebesaran dan rambut setengah acak. Matanya lelah, tapi menyala kuat.
Arlen menutup pintu dan bersandar sebentar.
“Kenapa belum tidur?”
Najla tidak menjawab pertanyaan itu. Ia justru melangkah lebih dekat, mengamati wajah abangnya.
“Itu darah siapa?”
Arlen menyeka lehernya dengan punggung tangan.
“Bukan darah Abang.”
“Tapi bisa aja suatu hari itu darah abang.”
Kalimat Najla jatuh lebih berat dari tembakan mana pun.
Arlen menghela napas, mencoba lewat, tapi Najla menghalangi dengan tubuh kecilnya.
“Naj…”
“Kenapa abang selalu ngomong kayak besok itu gak pasti?”
Arlen membeku.
Najla melanjutkan, suaranya pecah halus:
“Kayak abang siap kalau abang tiba-tiba hilang.”
Sunyi langsung menelan ruangan.
Dari arah belakang, Regar yang tadinya pura-pura tidur di sofa hanya bisa menutup mata, sadar ini bukan percakapan yang bisa disela.
Arlen akhirnya menunduk, menatap Najla tepat di mata.
“Karena dunia yang Abang masukin… emang gak janjiin hari esok, Naj.”
Najla menggeleng, air matanya turun, tapi suaranya tetap stabil.
“Tapi abang sendiri yang janji ke gw.”
“Waktu mama sama papa gak ada… abang bilang, ‘Naj, selama abang hidup, lo gak sendirian.’”
Arlen terdiam.
Itu kalimatnya sendiri.
Sumpah yang dia bawa seperti luka dan tameng sekaligus.
Najla menarik napas, lalu berkata lirih:
“Jadi kalau abang bilang besok gak pasti… sama aja abang mau langgar janji ke gw.”
Dan untuk pertama kalinya malam itu, topeng Arlen retak.
Dia mengalihkan wajah, rahangnya menegang.
“Abang cuma mau lo aman.”
Najla tersenyum miris.
“Gw gak butuh aman, Bang.”
“Gw butuh abang ada.”
Rusak.
Pertahanannya benar-benar runtuh.
Arlen mendengus pelan, bukan karena emosi—tapi karena dia kalah debat sama adiknya sendiri.
“Lo keras kepala banget.”
“Turunan siapa emangnya?” balas Najla cepat.
Regar yang di sofa hampir tersedak udara sendiri mendengarnya.
Hening beberapa detik… lalu terdengar tawa kecil.
Bukan tawa bahagia, tapi tawa pasrah.
Arlen mengusap wajahnya sendiri.
“Yaudah, sini.”
Najla mengerutkan alis. “Sini apanya?”
“Sini. Deket.”
Najla melangkah satu dua langkah.
Tiba-tiba—Arlen menaruh tangannya di atas kepala Najla, mengacak rambutnya dengan gerakan yang dulu dia lakukan saat Najla masih kecil.
Najla membeku.
Arlen bicara tanpa menatapnya:
“Abang gak bisa janji besok selalu baik.”
“Tapi Abang bisa janji…”
Ia menunduk sedikit, matanya serius tapi lembut.
“Abang gak akan pergi dengan sengaja ninggalin lo.”
Itu bukan janji besar.
Itu janji paling manusia yang dia mampu kasih.
Mata Najla menggenang lagi, tapi kali ini bukan karena takut.
“Pegang janji itu, Bang.”
“Abang pegang.”
“Beneran?”
“Beneran.”
Najla mengangguk, lalu karena dia Najla—gak dramatis kelamaan—dia langsung berkata:
“Yaudah, mandi. Bau darah.”
Regar langsung batuk buat nutup tawanya.
Darren yang baru bangun cuma geleng-geleng sambil nyengir.
Arlen menatap adiknya, kali ini dengan alis terangkat.
“Lo nyuruh abang mandi?”
Najla menunjuk kamar mandi dengan wajah polos.
“Iya. Kamar gw di sebelah situ. Kalau ada pocong lewat, abang duluan yang wangi dong.”
Semua hening.
Lalu—
“Pffft—”bDarren terbahak.
“Astaga…” Regar geleng-geleng.
Arlen sendiri cuma memejam pasrah sambil bergumam:
“Kalah gw sama bocil ini.”
Najla nyengir menang.
Tapi… sebelum Arlen benar-benar melangkah ke kamar mandi, dia menoleh sekali lagi dan berkata, suaranya rendah:
“Makasih udah nunggu Abang pulang.”
Najla tersenyum kecil.
“Selalu, Bang.”
Dan untuk pertama kalinya malam itu… rumah itu terasa hangat.
pagi hari nya
Arlen tidur hanya dua jam, lalu bangun dengan mode prajurit lagi. Ia turun ke dapur saat matahari belum sepenuhnya naik.
Di kursi makan, sudah ada Najla dengan roti dan susu. Terlihat normal—terlalu normal.
“Bang, sarapan.”
Arlen duduk, curiga.
“Lo jarang bangun pagi kalau bukan mau minta sesuatu.”
“Ih, gw perhatian dikit dicurigain.” Najla pura-pura tersinggung.
Arlen meneguk air, matanya menyipit.
“Mau tanya apa?”
Najla mengaduk susu.
“Kalau gw nanya… abang jawab jujur gak?”
“Tergantung pertanyaannya.”
Najla menatapnya lurus.
*l“The Arselion Family itu apa, Bang?”
Sendok di tangan Arlen berhenti. Denting kecil terdengar saat logam menyentuh piring.
“Denger dari siapa?”
Najla mengangkat bahu.
“Kelihatannya nama itu bukan nama geng RT sebelah.”
Arlen menutup mata, lalu menghela napas panjang.
“Lo gak perlu dekat-dekat sama hal itu.”
“Dan jangan sebut nama itu sembarangan.”
Najla mengangkat alis.
“Berarti memang ada.”
Belum sempat Arlen menjawab—
TIBA-TIBA.
DING DONG.
Bel rumah berbunyi.
Regar bangkit lebih dulu, tangan sudah di pinggang tempat pist0l biasanya terselip.
“Siapa pagi-pagi gini?”
Kamera pintu menampilkan seorang pria berkemeja putih, rambut hitam disisir rapi, wajah tenang, tapi matanya setajam silet.
Najla menunduk ke layar.
“Dia… tamu atau musuh?”
Arlen berdiri perlahan.
“Buka pintunya.”
“Bang, serius?” Regar menahan.
“Buka.” Arlen mengulangi, nada final.
## Pintu terbuka.
Pria itu tersenyum tipis.
“Lama tidak bertemu, Len.”
Arlen bersedekap.
“Ngapain lo ke sini, Kai?”
Regar dan Darren langsung saling pandang.
"Kai."
Nama yang hanya disebut di dokumen lama keluarga.
Kai melangkah masuk tanpa diminta, seperti orang yang sudah hafal lorong rumah itu.
“The Council udah mulai gerak.” katanya tanpa basa-basi.
Suasana langsung berubah berat.
Najla mendekat, alis berkerut.
“Council apaan? DPR versi gelap?”
Darren langsung keselek udara.
Regar menutup muka.
Kai hampir tersenyum… tapi menahan.
“Len, adik lo nyentrik jugahmenan.”
“Fokus.” potong Arlen.
Kai mengeluarkan sesuatu dari saku: amplop hitam dengan cap Arselion yang retak.
Najla mengenali simbol itu dari badge yang pernah dilempar musuh ke lantai rumah.
“Itu simbol… yang kemarin ada di pekarangan, kan?”gumam Najla.
Kai meletakkan amplop di meja.
“Ini undangan.”*
“Tapi bukan undangan damai.”
Darren menunduk.
“Pemanggilan eksekusi?”
Kai diam.
“Iya.”
Najla membeku.
Arlen justru tersenyum kecil—senyum yang tidak ada hangatnya.
“Mereka mau mulai lewat jalur itu, berarti udah kepepet.”
Kai menatapnya serius.
“Len… mereka gak cuma mau lo.”
Lalu matanya bergeser ke Najla.
“Mereka mau *garis darah terakhir* keluarga Arselion.”
Najla menunjuk dirinya sendiri, nyaris ketawa.
“Gw? Garis darah? Maksudnya abang ada kasta bangsawan gelap atau gimana?”
Regar berbisik, “Naj, tolong sekali ini jangan nyablak dulu…”
Najla gak peduli.
“Gw beneran mau tau! Ini keluarga apa organisasi sinetron laga?”
Kai menghela napas.
“Adikmu… kunci.”*
Najla langsung nunjuk Arlen.
“Tuh kan, Bang! Gw bilang apa? Ini semua tentang kita!”
Arlen berdiri, kursinya bergeser.
“Naj pergi ke kamar.”
“Lagi? Kamar? Lo mau rapat sistem closed door mulu?”
Arlen mendekat, menekan jarinya ke meja pelan—tapi tekanannya terasa seperti ultimatum.
“Naj.”
Najla balas menatap, napasnya naik turun.
“Abang gak bisa terus lindungin gw kalau gw lapar info begini terus.”
Semua hening.
Lalu Arlen berkata pelan, tajam, final:
“Bukan info yang bunuh orang, Naj.”
“Rasa penasaran yang datang di waktu salah.”
Kalimat itu menusuk lebih dalam dari teriakan.
Najla mundur setengah langkah.
“…Fine.” katanya lirih.
“Tapi nanti abang jelasin. Tanpa potong bagian penting.”
Arlen menatapnya, lama.
“Nanti.”
Najla berjalan ke kamar, tapi berhenti di ambang lorong dan berkata tanpa menoleh:
“Janji jangan jadi yang ngilang duluan.”
Lalu pintu kamar tertutup.
Klik.
Sunyi.
Kai menarik kursi, duduk.
“Lo sadar dia gak akan diam lama kan?”
Arlen menatap pintu kamar Najla, lalu berkata:
“Ya.”
“Makanya sebelum dia masuk sendiri ke neraka…”
“…gw harus pastiin neraka ini duluan takut sama dia.”