Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Yang Tak Bisa Terabaikan
Siang itu, Riana berbelok menuju rumah masa kecilnya. Setelah jam kerja yang panjang, kerinduannya pada kehangatan keluarga menariknya pulang. Apartemennya terasa sunyi, dan esok hari yang bebas dari pekerjaan adalah kesempatan sempurna untuk menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Ia membayangkan obrolan hangat di ruang keluarga, masakan lezat buatan Yu Sarti, dan mungkin, sedikit usikan dari Kirana, adiknya yang selalu ceria.
Yu Sarti, pembantu setia keluarga yang sudah dianggap seperti bagian dari keluarga sendiri, menyambutnya dengan senyum hangat di ambang pintu. Kerutan di sekitar matanya semakin terlihat jelas saat ia tersenyum, pertanda usia yang semakin bertambah. "Mbak Riana, sudah lama tidak kelihatan," sapanya ramah, suaranya yang lembut menenangkan hati Riana.
"Iya, Yu. Kangen masakan Yu Sarti juga," jawab Riana sambil mencium pipi Yu Sarti. Aroma masakan Yu Sarti selalu mengingatkannya pada masa kecil yang bahagia. "Ibu sama Bapak ke mana, Yu?"
"Oh, itu, Mbak. Bapak sama Ibu pergi ke hajatan temannya. Tadi pagi berangkatnya. Katanya sih, pulangnya agak sorean."
Riana mengangguk, sedikit kecewa karena tidak bisa langsung bertemu dengan orang tuanya. "Kirana di mana, Yu?" tanyanya, merasa ada yang kurang tanpa kehadiran adiknya. Biasanya, Kirana akan menyambutnya dengan pelukan erat dan cerita-cerita lucu tentang kuliahnya.
"Mbak Kirana sedang tidur, Mbak. Dari tadi pagi kurang enak badan, muntah-muntah terus. Sudah dikasih teh hangat sama Yu Sarti, tapi masih lemes aja."
Rasa khawatir langsung menyergap hati Riana. Kirana jarang sakit, dan jika sudah sakit, biasanya ia akan sangat manja. "Ya ampun, kok nggak bilang-bilang? Harusnya tadi Yu Sarti telepon aku. Ya sudah, aku tengok Kirana dulu ya, Yu. Siapa tahu nanti perlu dibawa ke dokter."
Dengan langkah ringan namun penuh kekhawatiran, Riana menuju kamar Kirana. Pintu kamar sedikit terbuka, dan dari celah itu, ia bisa melihat Kirana terlelap di ranjangnya. Wajah adiknya tampak pucat, dan bibirnya sedikit kering. Riana mengurungkan niat untuk membangunkannya, tak ingin mengganggu istirahat adiknya. Ia memutuskan untuk duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Kirana yang damai.
Namun, matanya kemudian tertuju pada sesuatu di atas nakas. Sebuah benda panjang, tipis, dengan dua garis merah menyala. Benda itu tampak familiar, namun Riana tidak bisa langsung mengenalinya. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat di mana pernah melihat benda serupa. Jantung Riana berdegup kencang. Ia meraih benda itu, memeriksanya lebih dekat.
"Ini... tespek?" bisiknya tak percaya. Tangannya gemetar saat membaca tulisan di kemasan benda itu. Dua garis merah itu jelas menunjukkan hasil positif. "Ini pasti punya Kirana..."
Pikiran Riana berkecamuk. Apa mungkin Kirana hamil? Pertanyaan itu menghantamnya seperti gelombang tsunami. Dengan siapa? Siapa laki-laki yang telah menghamili adiknya? Pertanyaan-pertanyaan itu menyerbu benaknya, menciptakan badai di dalam hatinya. Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong.
Riana mencoba mengingat apakah Kirana pernah bercerita tentang seorang laki-laki. Selama ini, Kirana selalu terbuka padanya, menceritakan segala hal tentang kehidupan kuliahnya, teman-temannya, bahkan masalah-masalah kecil yang dihadapinya. Tapi, tidak pernah sekalipun Kirana menyebut nama seorang laki-laki yang spesial.
"Tidak mungkin," gumam Riana. "Kirana pasti bercanda. Mungkin ini tespek punya temannya, dan Kirana hanya menyimpannya."
Namun, jauh di lubuk hatinya, Riana merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang tiba-tiba muncul. Ia merasa ada rahasia besar yang disembunyikan Kirana darinya.
Tanpa sadar, Riana memasukkan tespek itu ke dalam tasnya. Ia merasa harus menyimpan benda itu sebagai bukti, meskipun ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan bukti itu. Ia keluar dari kamar Kirana dengan langkah gontai, berusaha menenangkan diri. Ribuan pertanyaan terus berputar di kepalanya. Jika benar Kirana hamil, siapa ayah dari bayi itu? Dan bagaimana bisa adiknya menyembunyikan hal sebesar ini darinya?
Riana berjalan menuju ruang keluarga, tempat di mana ia biasanya menghabiskan waktu bersama keluarganya. Namun, suasana ruang keluarga yang sepi dan sunyi justru membuatnya semakin gelisah. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Ia duduk di sofa, memeluk bantal erat-erat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin sekali bertanya langsung pada Kirana, namun ia tidak tega membangunkan adiknya yang sedang sakit. Ia juga takut jika pertanyaannya akan membuat Kirana marah dan menjauh darinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisiknya lirih.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*