Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 30_Setelah Badai, Sebelum Terang
Pagi itu, penthouse di lantai lima puluh tidak lagi terasa seperti menara gading yang sunyi dan steril.
Sinar matahari yang menembus jendela kaca besar terasa lebih hangat, menyapu lantai marmer yang biasanya dingin dengan warna keemasan yang lembut.
Ada sebuah perubahan atmosfer yang tak kasat mata namun sangat terasa yaitu beban rahasia yang selama ini menghimpit pundak penghuninya seolah-olah menguap bersama kabut Jakarta yang menipis.
Rania terbangun bukan karena alarm ponsel atau ketukan formal Rendra, melainkan karena aroma kopi yang sangat akrab dan suara gemerisik kertas yang pelan.
Ia membuka matanya perlahan, menyadari bahwa semalam ia tidak kembali ke kamar tamu tapi iaa berada di kamar utama, di atas kasur yang luas dan untuk pertama kalinya, sisi lain kasur itu tidak kosong.
Abimana sedang duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kaus rumahan sebuah pemandangan yang sangat langka.
Ia tidak sedang menatap layar tablet atau laporan bursa saham tapi di tangannya ada sebuah map biru tua, map yang sangat dikenal Rania dan itu adalah map yang berisi perjanjian pernikahan kontrak mereka.
"Kamu sudah bangun?" suara Abimana rendah hampir seperti bisikan, namun penuh dengan kelembutan yang baru.
Rania bangkit perlahan, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Apa yang sedang kamu lakukan dengan map itu, Abi?" tanya Rania.
Abimana menoleh menatap Rania dengan binar mata yang jernih, tidak ada lagi tembok dingin di sana.
"Aku sedang membaca ulang setiap pasalnya, Pasal 1 tentang jangka waktu, Pasal 3 tentang kompensasi dan tentu saja... Pasal 7 yang sangat konyol itu." seru Abimana.
Rania mendekat, duduk di samping Abimana, ia melihat draf yang kini sudah lecek itu.
"Dunia sudah tahu isi draf ini dan Amelia berhasil membocorkannya, tapi dia gagal menghancurkan kita." kata Abimana.
"Dia memberikan kita kebebasan, Rania," ujar Abimana sambil tersenyum tipis.
"Selama ini kita terpenjara oleh kertas ini, kita takut melanggarnya karena takut kehilangan apa yang kita sepakati, tapi sekarang kertas ini tidak lagi memiliki kekuatan." ujarnya.
Dengan gerakan yang tenang namun mantap, Abimana mulai menyobek map biru itu.
Ia merobeknya menjadi potongan-potongan kecil, membiarkannya jatuh ke lantai seperti kelopak bunga yang layu.
Rania memperhatikan setiap sobekan itu dengan perasaan lega yang luar biasa, setiap sobekan adalah simbol dari berakhirnya masa-masa akting, berakhirnya ketakutan akan penghakiman dan berakhirnya jarak satu sofa di antara mereka.
"Mulai hari ini tidak ada kontrak, tidak ada Pasal 7 tapi yang ada hanya kita," ucap Abimana, ia meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat.
"Aku tahu aku bukan pria yang mudah, Rania. Hidupku penuh dengan angka dan strategi tapi kamu adalah satu-satunya hal dalam hidupku yang tidak ingin aku hitung untung-ruginya dan aku hanya ingin memilikimu."
Rania merasakan matanya panas, perjalanan dari warung cilok ke penthouse ini terasa begitu panjang dan penuh luka, namun di titik ini, ia merasa semuanya sepadan.
"Aku juga, Abi. Aku tidak butuh kompensasi apa pun lagi cukup jadilah pria yang aku kenal di balik jas mahal itu."
Sarapan pagi itu berlangsung dengan sangat lambat, tidak ada ketergesaan untuk berangkat ke kantor, meskipun Rendra sudah mengirimkan puluhan pesan tentang reaksi pasar yang mulai stabil.
Abimana bersikeras ingin menikmati waktu tenang bersama Rania dalam waktu yang lama tanpa melakukan apapun.
"Rendra bilang pasar mulai merespon positif pernyataan kita kemarin," ujar Rania sambil menyesap teh hangatnya.
"Orang-orang ternyata lebih suka kejujuran yang pahit daripada kebohongan yang manis."
"Itu karena mereka melihatmu Rania," balas Abimana, matanya tak lepas dari wajah istrinya.
"Mereka melihat integritasmu, di dunia bisnis yang penuh kepalsuan, kejujuranmu adalah komoditas yang paling mahal. Itulah sebabnya dewan direksi tidak bisa mendepakku. Mereka tahu, kehilanganmu berarti kehilangan kepercayaan publik pada S.T.G. Group."
Rania tersenyum kecil. "Ternyata penjual cilok bisa jadi aset perusahaan juga, ya?"
Abimana tertawa dengan suara tawa yang lepas dan tulus.
"Bukan aset perusahaan, mamu adalah pusat gravitasi hidupku sekarang." koreksi Abimana.
Namun di tengah kemesraan itu, Rania teringat akan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Abi, soal Amelia... apa yang akan terjadi padanya? Dia yang membocorkan dokumen itu." tanya Rania penasaran.
Ekspresi Abimana sedikit mengeras, namun tetap tenang.
"Dia telah melakukan pelanggaran hukum serius, termasuk spionase industri dan pencemaran nama baik. Tim hukumku sedang memprosesnya, tapi lebih dari itu ayahnya yaitu Tuan Kusuma, telah menarik semua dukungannya pada Amelia. Di dunia mereka, kegagalan adalah dosa yang tak termaafkan. Amelia telah kehilangan segalanya demi mencoba menghancurkanmu." ucap Abimana dengan tenang.
Rania menghela napas, ada rasa iba yang terselip di hatinya, namun ia tahu bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.
Ia memilih untuk tidak larut dalam dendam, ia ingin hari ini menjadi hari yang benar-benar baru.
Siang harinya mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat tidak biasa bagi seorang CEO kelas atas dengan mengunjungi rumah sakit tanpa pengawalan ketat, hanya untuk memberi tahu Bu Rahmi tentang status hubungan mereka yang sebenarnya.
Di dalam mobil, Abimana tampak sedikit gugup dan pemandangan itu membuat Rania merasa begitu geli.
"Kenapa? Kamu takut menghadapi Ibu?" goda Rania.
"Aku merasa seperti pencuri yang baru saja mengakui bahwa aku memang mencuri putrinya, namun kini aku ingin menjaganya selamanya," jawab Abimana jujur.
"Selama ini aku membohongi beliau dengan status kontrak kita, aku merasa bersalah." seru Abimana.
"Ibu itu orang yang sangat peka Abi, sia pasti sudah tahu," kata Rania menenangkan.
Setibanya di rumah sakit, suasana kamar Bu Rahmi terasa sejuk.
Bu Rahmi sedang membaca buku doa ketika mereka masuk, melihat Abimana dan Rania berjalan berdampingan bukan dengan jarak formal seperti biasanya, melainkan dengan tangan yang saling bertautan membuat senyum Bu Rahmi merebak.
"Ibu," panggil Rania, ia duduk di sisi tempat tidur.
Abimana berdiri di samping Rania, lalu ia melakukan sesuatu yang mengejutkan.
Ia membungkuk hormat, lalu mencium tangan Bu Rahmi dengan penuh takzim.
"Ibu... saya datang untuk meminta maaf," suara Abimana berat dan tulus.
"Selama ini, pernikahan kami dimulai dengan sebuah perjanjian yang salah. Saya egois, saya menjadikan Rania tameng untuk masalah bisnis saya." tutur Abimana.
Bu Rahmi mengusap kepala Abimana dengan lembut yang sudah dia anggap anaknya sendiri itu.
"Ibu sudah tahu, Nak Abi. Ibu sudah tahu sejak pertama kali kalian datang menjenguk. Mata kalian saat itu saling menghindari, seperti dua orang yang terpaksa berada dalam satu ruangan." ucap bu Rahmi.
Rania tertegun. "Ibu tahu? Kenapa Ibu diam saja?"
"Karena Ibu melihat perubahan di mata kalian setiap harinya," jawab Bu Rahmi tenang.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya