"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Narasi Liar
Belum selesai menata hatinya yang berantakan, belum selesai dia menyusun kepingan yang bercerai-berai. Udara pagi menyapanya saat Binar membuka jendela, terdengar suara gesekan sapu dengan tanah tak jauh dari kamarnya. Nampak Pak Mamat sedang menyapu dedaunan kering yang jatuh semalaman.
Binar menatap nanar pesan yang dia lihat di ponselnya, sebuah foto yang memperlihatkan Ibunya tengah berbaring. Hal yang paling dia takutkan akhirnya terjadi. Dunianya terasa mengecil, tanpa dia sadari, jemarinya menggenggam erat ponselnya.
Binar masih beruntung mendapatkan tiket terbang hari ini juga.
Taksi turun tepat di depan rumah sakit di mana Ibunya dirawat disana. Binar segera turun setelah membayar, tidak banyak yang dia bawa. Hanya tas selempang dan juga tas ransel. Langkahnya lebih cepat, rasanya sudah tidak sabar bertemu dengan belahan jiwanya. Binar menyusuri lorong sebelum sampai di tempat tujuan.
Langkahnya melambat saat melihat Ayahnya duduk menunduk, dari kejauhan, Binar bisa merasakan bagaimana kemelut laki-laki itu. Binar berjalan mendekat dengan langkah yang tak lagi cepat. Binar berhenti tepat di depan ayahnya, laki-laki itu mendongak, lalu berdiri dan memeluk sosok yang ada di hadapannya itu.
"Bagaimana keadaan Ibuk, Yah?" Binar nampak tegar, mampu menutupi kemelut yang ada di hatinya.
"Duduklah," suara lembut laki-laki itu masih sama, Binar menatap laki-laki itu, matanya masih teduh seperti dulu. Tangan ayahnya mengelus rambut Binar yang terkuncir dengan rapi. "Kamu baik-baik saja kan?" tanya Ayahnya. Dengan pertanyaan seperti ini, seperti pertanyaan keramat. Air matany langsung meleleh, setegarnya dia pada dirinya, pertahanannya runtuh juga. Binar mengangguk, tapi tidak dengan air matanya yang mengatakan dia sedang tidak baik-baik saja.
Flashback
"Saya mendengar kalau besan sedang sakit," Ratih duduk di ruang tamu sederhana ini, ya besan yang dulu melarang Tama menikahi Binar dengan alasan tidak setara.
"Alhamdulillah sudah sembuh, tinggal pemulihan," jawab sang besan yang merasa tersanjung disambangi oleh orang tua Tama. "Terima kasih sudah mau berkunjung ke rumah," imbuhnya dengan lembut. Ya, Ibu Binar memang lembut, dan selalu merasa segan. Apalagi jika bertemu dengan besannya itu.
"Ada yang ingin saya sampaikan," nampak mimik wajah serius Ratih.
"Ya," jawab lawan bicaranya dengan sopan, badannya masih terasa lemas, kondisinya belum benar-benar membaik.
"Saya tidak tahu alasan mendasar yang membuat Ibu NDewi dan juga suami dulu tidak menyetujui pernikahan Tama dan Binar."
"Maksud Bu Ratih?" Dewi belum paham kemana arah pembicaraan ini.
"Apakah Bu Dewi sudah sangat hafal dengan tabiat Binar sehingga anda tidak menyetujui pernikahan ini dulu?"
"Mohon maaf Bu Ratih, apa maksud dari ini semua." Dewi semakin bingung.
"Saya tidak tahu, anda pura-pura tidak tahu atau memang sengaja menutupi," Ratih membuka tasnya, mengeluarkan ponselnya dan memutarkan video yang dia simpan kala itu. Di mana video tersebut memperlihatkan Binar sedang berbincang berduaan dengan Aksa di mall, saat dia memergoki mereka berdua. Tidak ada adegan aneh atau intim lainnya, hanya sekedar berbicara.
"Sungguh membuat saya terperangah dengan tabiat putri anda sekarang, benar adanya jika kasta itu berlaku, rasanya benar anda jika dulu tidak menyetujui pernikahan antara anak kita, andai saat itu saya juga melakukannya, maka anak saya akan selamat,"
"Kenapa dengan nak Aksa? bukankah mereka baik-baik saja?"
"Bu Dewi jangan sok polos ya, sejak pernikahan Tama dan dia, keluarga saya penuh dengan kesialan, dimulai dari perusahaan bangkrut, suami saya kolaps dan meninggal, Tama harus banting tulang, sementara wnaita itu, malah berduaan dengan laki-laki lain, anda sudah melihatnya kan?" Ratih menarik ponselnya, wajahnya penuh dengan rasa kesal. Dewi memegang dadanya. Dia berharap apa yang dia dengar bukan hal yang sebenarnya.
"Saya yakin Binar tidak seperti itu, Bu" Dewi kekeh dan sama sekali tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Ratih.
Senyum sinis menghiasi wajah Ratih, "Silahkan untuk tidak percaya, tapi inilah kenyatannya. Saya menyesal sudah pernah membela dia dan memintanya menjadi menantu saya,"
Dada Dewi semakin sakit, dadanya terasa sesak.
"Saya tidak mau ini terus berlanjut, rasanya tidak elok memiliki menantu yang hanya bisa selingkuh, sungguh tidak enak dipandang mata. Hasil didikan Bu Dewi yang membuatnya seperti ini. Tolong ajari anak anda bagaimana seharusnya dia bersikap," Ratih berdiri dan meninggalkan Dewi begitu saja. Wanita itu menatap kepergian Ratih dengan tatapan kabur, pandangannya tak lagi jernih, dadanya semakin sesak. Dan akhirnya dia tergeletak di ruang tamu hingga beberapa saat sebelum suaminya melihatnya.
Flashback Off
Binar masih berada di pelukan ayahnya, laki-laki itu mengelus punggung anaknya dengan lembut tanpa mengeluarkan kalimat apapun. Itulah hal yang selalu dilakukannya saat Binar merasa ada yang berat, tanpa bertanya pun dia mengetahui seberat apa beban anaknya itu.
Perlahan Binar menarik diri, wajahnya sembab. Sisa air mata masih sangat jelas terlihat. Binar mengusap dengan punggung tangannya. Ayahnya mengambilkan minum dan menyodorkannya untuk Binar, agar semakin tenang. Binar duduk di kursi dan meminumnya.
"Bagaimana kabar Ibu, Yah?" tanya Binar setelah sedikit tenang.
"Ibumu masih belum sadar," jawab sang ayah sambil melihat tulisan ICU yang ada di dekatnya. Binar memejamkan mata, mengangguk kecil dan menyalahkan dirinya.
"Yah, aku minta maaf,"
Tidak ada kalimat jawaban dari laki-laki itu, tangan kanannya kembali mendarat di punggung anak perempuannya itu lalu mengelus dengan lembut, kembali menenangkan Binar.
"Aku sudah gagal," Binar menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dia benar-benar tidak berdaya di dekat ayahnya,"
"Kamu tidak gagal, kamu sedang dipertemukan dengan kebaikan. Ayah tidak bisa bilang sabar untukmu, karena pasti berat, hanya saja ayah akan memastikan akan tetap berada di sisi kamu," laki-laki itu menatapnya dengan tatapan teduh, tapi tidak dengan hatinya. Entah apa yang bergejolak di dalam sana. Tidak pernah terlihat secara nyata luka yang dirasakannya.
Binar tidak menceritakan apa yang terjadi padanya, hanya saja naluri ayahnya terlalu kental untuknya. Seoah tahu apa yang terjadi padanya.
"Kamu kuat kan?" tanya Ayahnya lagi sambil melihat Binar yang kembali meneteskan air mata, baru kali ini dia benar-benar merasa tidak berdaya. Itulah, salah satu alasan kenapa dia masih belum siap bertemu dengan kedua orang tuanya saat ini. Karena akan membuat pertahanan hatinya runtuh.
Beberapa saat mereka terdiam, hanya terdengar isakan lirih Binar. Hatinya benar-benar tak berdaya, dia kembali memeluk ayahnya erat. Seolah dekapan itu yang bisa menenangkannya. Dia pulang, dengan membawa beban berat untuk dirinya, terlebih untuk kedua orang tuanya. Dia pulang hanya untuk memberi tahu tentang kegagalan rumah tangganya.