Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
"Devan, TENDANGAN-NYA GERAK LAGI!”
Nina berseru pelan dari ranjang sambil memegang perutnya. Devan yang sedang duduk di lantai sambil merangkai rak kecil langsung meloncat panik.
“Astagaaaa… kontraksi ya?! Harusnya masih minggu depan! Gue telepon bidan sekarang!”
“Devann! Ini bukan kontraksi. Dia cuma nendang—mungkin lapar, kayak Bapaknya.”
Devan menghentikan langkahnya, menoleh dengan dahi berkerut. “Tapi kamu ngeluh-ngeluh, terus mukamu tegang banget!”
“Karena kamu barusan megang tang aku pake tangan yang ada sekrup! Rasanya kayak dijepit tang ya jelas sakit, bang!”
“Oh… itu,” Devan menggaruk kepala sambil nyengir malu. “Maaf, aku kira lagi kontraksi beneran.”
Nina menghela napas panjang, lalu tertawa pelan. Devan memang sekarang lebih protektif dari sebelumnya. Bahkan saat ia hanya bilang “haus”, Devan langsung lari ke dapur buat bikin smoothies dari tiga jenis buah plus madu dan chia seed. Sekarang setiap hari Nina serasa dilayani seperti ratu.
Devan menghampirinya dan berlutut di samping ranjang, tangannya membelai perut besar Nina yang mulai benar-benar menunjukkan bentuk kehidupan.
“Anak kita tendangannya makin kencang ya… Apa dia tahu bentar lagi keluar dunia?”
“Bisa jadi. Tapi aku masih takut, Van. Ini pengalaman pertama…”
Devan mengangkat kepala Nina dan menciumnya lembut di dahi.
“Kita jalani sama-sama, sayang. Kamu kuat. Kamu ibu hebat,” bisiknya.
Siang itu, rumah mereka lebih ramai dari biasanya. Bundanya Devan datang membawa rendang dan sambal goreng kentang lengkap dengan kerupuk udang yang renyah. Dan seperti biasa, kedatangannya juga membawa rombongan: ibu-ibu komplek yang semua excited ingin menyentuh perut Nina.
“Udah mirip bulannya ya, ya Allah… ini calon cucu pertama saya!” seru Bunda sambil memeluk Nina erat.
“Lho, Bu… cucu? Memangnya udah dianggap mantu sungguhan?” celetuk salah satu ibu-ibu, disambut gelak tawa.
Bunda tersipu. “Ya gimana, mereka sah menikah, saling sayang… ya saya anggap mantu, dong. Apalagi Nina ini sabar banget ngadepin si Raka, kan?”
Nina tertawa malu. “Sabar itu wajib, Bu… kalau enggak, Devan bisa dikutuk jadi batu tiap hari…”
Malam itu, sekitar pukul 2 dini hari, Nina terbangun karena merasakan perutnya sedikit kencang. Ia bangun, duduk perlahan di pinggir ranjang sambil memegangi perut. Tapi belum sempat membuka mulut, Devan langsung terbangun dari tidurnya.
“KENAPA? SAKIT? KONTRAKSI? TUNGGU, GUE TELEPON BU BIDAN!”
“Van, enggak—”
Tapi Devan udah berdiri dengan satu kaki pakai sandal dan satu lagi masih nyeker. Ponselnya di tangan, dan dalam 10 detik sudah menyambungkan panggilan ke Bu Erna, sang bidan kampung mereka.
“Halo, Bu? Ini aku, Devan! Kayaknya istri saya mau lahiran!”
Dari speaker terdengar suara parau ibu bidan yang baru bangun tidur, “Loh, Mas Devan… sekarang jam dua. Lahirannya masih minggu depan.”
“Iya, Bu, tapi dia bangun mendadak, terus dia megang perut—itu artinya dia kesakitan, kan?!”
“Mas, itu bisa juga karena mau pipis.”
Devan melirik Nina yang sedang menahan tawa, satu tangan memegangi mulut.
“Sayang… kamu… pipis ya?”
Nina mengangguk sambil menahan geli. “Iya, pipis. Tapi terima kasih sudah siap jadi suami siaga.”
Devan langsung menutup telepon, lalu menatap istrinya dengan wajah polos seperti kucing ketumpahan air.
“Maaf ya, Bu Erna…”
Keesokan harinya, Devan sibuk menyiapkan playlist lagu klasik untuk diputar di kamar bayi. Ia juga membeli boneka beruang, kelambu kecil, dan menggambar lukisan dinding sendiri meski hasilnya mirip cacing keriting daripada awan.
“Nina, coba lihat! Ini gambar burung merpati!”
Nina menoleh dan tertawa keras. “Itu kayak upil raksasa, Van.”
“Eh, nggak boleh ngomong upil, kamu udah mau jadi Ibu…”
“Ibu juga manusia biasa ya, bukan peri Disney.”
Mereka tertawa. Momen-momen kecil itu yang membuat pernikahan mereka terasa seperti rumah. Tak sempurna, tapi sangat hidup.
Malamnya, Nina duduk di depan kaca, menyisir rambut sambil memandangi pantulan dirinya. Perutnya makin besar. Wajahnya terlihat sedikit lelah tapi bahagia.
Devan menghampirinya, berdiri di belakang dan ikut menyisir rambutnya dengan lembut. “Kamu cantik banget.”
“Bohong. Mukaku udah kayak bantal penyok.”
“Justru itu bantal paling nyaman buat aku…”
Nina tersenyum dan menarik tangan Devan ke perutnya. Si bayi bergerak lagi, perlahan, seperti menjawab sapaan ayahnya.
“Selamat malam, anakku. Ayah sayang kamu,” bisik Devan.
Malam itu mereka tidur dalam diam yang penuh arti. Devan memeluk Nina dari belakang, tangannya tak lepas dari perutnya. Di dalam sana, ada kehidupan kecil yang kelak akan mereka sambut bersama-sama.